“Aku Tuhan semesta. Jeritanmu Kudengar. Kau di dunia yang gelap
‘Ku s’lamatkan. Akulah Pencipta t’rang;
malam jadi benderang. Siapakah utusan-Ku membawa t’rang?
Reff:
Ini aku, utus aku! Kudengar Engkau memanggilku.
Utus aku; tuntun aku;
‘Ku prihatin akan umat-Mu”
“Here I Am, Lord” juga dikenal dengan “I, the Lord of Sea and Sky” adalah nyanyian gereja yang ditulis oleh komposer musik liturgi Katolik Amerika: Daniel Schutte pada tahun 1979 dan diterbitkan pada 1981. Syair ini didasarkan pada Yesaya 6:8 dan 1Samuel 3:4. Schutte menulis lagu ini pada usia 31 tahun ketika ia belajar teologi di seminari Jesuit Berkeley. Ketika itu, dirinya diminta menulis dalam waktu singkat sebuah syair untuk penahbisan seorang diakon. Sejak saat itu himne Here I Am Lord menjadi populer, tidak hanya dinyanyikan umat Katolik, tetapi juga populer di kalangan Protestan. Di kalangan gereja-gereja Protestan, lagu ini populer dengan judul “Aku Tuhan Semesta” PKJ. 177.
Nyanyian “Aku Tuhan Semesta”, menjadi salah satu nyanyian pavorit untuk pengutusan. Ya, betapa tidak syair yang berdasarkan perenungan Yesaya 6:8 dan 1Samuel 3:4 ini memang pas. Konteks kedua ayat ini adalah tentang panggilan. Yesaya 6:8 bercerita tentang pemanggilan Yesaya dan 1 Samuel 3:4 tentang Samuel kecil yang dipanggil Allah menjadi utusan-Nya. Keduanya menjawab positif akan panggilan itu!
Tentu saja untuk menjawab “ya” pada panggilan TUHAN tidak selalu mudah. Ada pergumulan untuk tiba pada kalimat “Ini aku, utus aku! Kudengar Engkau memanggilku!” Yesaya misalnya, dalam bacaan pertama kita hari ini. Ketika berhadapan dengan Allah yang kudus, dirinya menjadi orang celaka. Mengapa? Ia bersama-sama dengan bangsanya adalah orang berdosa; najis bibir. Barangkali suasana seperti ini yang melingkupi perasaan kita juga mana kala Tuhan memanggil kita untuk sebuah pekerjaan di ladang-Nya. Entah menjadi anggota panitia, pengurus komisi, penatua atau bahkan panggilan sebagai hamba Tuhan. Pendeta! Kita mengatakan, “Ah, Tuhan saya tidak layak, tidak pantas! Bukakah ladang Tuhan itu hanya untuk pekerja-pekerja yang saleh, baik, hidup benar, jujur, dan bersih dalam segala hal. Sedangkan saya, masih sibuk dengan urusan duniawi. Banyak cacat cela dan dosa, nanti jadi batu sandungan!”
Lalu. Apakah Tuhan diam saja? Ternyata tidak! Salah seorang Serafim, makhluk surgawi itu terbang menghampiri Yesaya di tangannya ada bara, yang diambilnya dengan sepit dari atas mezbah. Serafim itu menyentuhkannya kepada mulut Yesaya serta berkata, “Lihat, ini telah menyentuh bibirmu, maka kesalahanmu telah dihapus dan dosamu telah diampuni.” (Yesaya 6:7). Saya tidak dapat membayangkan bara yang diambil dengan sepit itu ketika menyentuh bibir bagaimana rasanya? Untunglah Alkitab tidak mendramatisir adegan ini. Jelas Allah sangat mengerti siapa manusia yang diajak-Nya terlibat dalam misi-Nya. Bukan seperti Serafim, Kerubim atau para Malaikat. Manusia adalah makhluk yang punya kehendak dan makhluk yang rentan terhadap dosa. Namun, Allah punya solusi: mengampuni dan menguduskan. Kini, hanya tinggal jawaban dari manusia itu sendiri!
Kisah pemanggilan Yesaya ini sepertinya sejajar dengan kisah pemanggilan murid-murid Tuhan Yesus yang pertama. Dibandingkan dengan kisah pemanggilan murid-murid Yesus dalam Injil Markus, tampaknya Lukas menempatkan peristiwa pemanggilan ini sedikit lebih ke belakang. Markus menampilkan kisah pemanggilan ini di awal catatan Injilnya, yakni ketika awal Yesus berkarya di Galilea. Mungkin orang heran, setidaknya saya: mengapa para murid itu begitu cepat mengikut Yesus. Mereka meninggalkan begitu saja pekerjaan serta ayah mereka lalu mengikut Yesus. Dalam Injil Markus itu, belum ada pernyataan atau tindakan apa pun dari Yesus yang menjadi alasan kuat untuk mereka mengikuti-Nya. Yang ada hanya sebuah ajakan, “Mari, ikutilah Aku!”
Dengan penundaan kisah panggilan ini, Lukas mengisi kekosongan itu. Para murid dengan segera meninggalkan segala sesuatu untuk mengikut Yesus karena mereka sudah mengenal. Simon sudah mengenal Yesus karena ia telah menerima Yesus di rumahnya. Yesus telah menyembuhkan ibu mertuanya dan juga orang-orang sekotanya yang sakit dan kerasukan setan. Sekarang di danau ini, Simon mengalami kebesaran Yesus. Ia yang sepanjang malam menebarkan jala dan tidak menangkap apa-apa tunduk kepada perintah Yesus untuk menebarkan jala mereka kembali. Ketaatan kepada sabda Yesus itu ternyata membuahkan hasil tangkapan yang luar biasa hingga jala mereka koyak disebabkan banyaknya ikan.
Apakah kekaguman Petrus berhenti hanya pada tangkapan ikan yang berlimpah itu? Tidak! Bukan hasil yang melimpah itu yang dipikirkan Petrus. Buah dari ketaatan itu ternyata menyadarkan Simon akan siapa Yesus dan siapa dirinya. Semula Simon mengenal Yesus sebagai guru (Lukas 5:5), tetapi kini ia mengenali-Nya sebagai Tuhan (Lukas 5:8). Dan, ia pun kini mengenali dirinya sebagai orang yang berdosa (Lukas 5:8). Sama seperti Yesaya berhadapan dengan kekudusan Allah, ia merasa berdosa dan najis, demikian juga Simon merasa diri berdosa di hadapan Yesus. Simon merasa tidak layak, tidak pantas untuk menjadi murid Yesus.
Namun, ketidakpantasan Simon itu tidak lantas menghentikan kehendak Yesus untuk memanggilnya, “Jangan takut, mulai sekarang engkau akan menjadi penjala manusia.” Tidak berapa lama lagi juga Yesus akan menyatakan maksud kedatangan-Nya, “Aku datang bukan untuk memanggil orang benar tetapi orang berdosa supaya mereka bertobat” (Lukas 5:23).
Pemanggilan Yesus ini menarik untuk kita cermati. Yesus menyatakan diri-Nya datang untuk orang-orang miskin, para tawanan, orang-orang tertindas, orabng-orang berdosa. Tema ini akan terus mengiring sepanjang perjalanan kehidupan Yesus dan Yesus melibatkan orang-orang tertentu dalam karya-Nya.
Dalam kisah Injil tentang pemanggilan yang dibacakan hari ini, memang hanya satu nama disebut dari beberapa orang yang dipanggil oleh Yesus dan kemudian mengikuti-Nya. Nama satu-satunya itu ialah Simon. Dari teksnya sendiri kita bisa mengerti bahwa yang dipanggil itu tidak hanya Simon karena pada akhir kisah dikatakan, “mereka pun meninggalkan segala sesuatu, lalu mengikut Yesus” (Lukas 5:11). Murid-murid inilah yang akan berada bersama dengan Yesus selama karya-Nya. Mereka jugalah yang kelak akan meneruskan karya Yesus selanjutnya sampai ke ujung dunia. Mereka dipanggil untuk menjadi penjala manusia. Kisah penangkapan ikan itu menjadi gambaran pemanggilan para murid, Kesulitan akan mereka hadapi. Mereka bekerja keras dan tidak memperoleh hasil apa-apa. Hanya karena bimbingan Yesus, mereka akhirnya memperoleh banyak ikan. Itulah pemuridan; ikut dalam perjuangan Yesus. Perjuangan itu tidak akan berlalu tanpa hasil.
Hanya ada dua pilihan ketika kita diperhadapkan pada panggilan Tuhan: menerima dan menolak. Tentu saja ada banyak alasan untuk menolak panggilan Tuhan dan alasan itu sepertinya terlihat pantas dan sah-sah saja. Saya orang berdosa, saya tidak layak, nanti jadi batu sandungan dan seterusnya. Bercermin dari kisah-kisah pemanggilan Tuhan terhadap manusia untuk terlibat dalam pekerjaan-Nya, bukankah Tuhan juga lebih tahu siapa kita? Bukankah Ia juga punya solusi untuk menjawab ketidaklayakkan kita? Jelas, Tuhan juga menginginkan kita menggumuli panggilan itu, namun pada akhirnya Ia menghendaki jawaban, “Ini aku, utus aku, kudengar Engkau memanggilku!”
Jakarta, 3 Februari 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar