"Tuhan mengutus kita ke dalam dunia
bawa pelita kepada yang gelap
meski dihina serta dilanda duka
harus melayani dengan sepenuh
Reff:
Dengan senang, dengan senang
marilah kita melayani umat-Nya
dengan senang, dengan senang
berarti kita memuliakan nama-Nya."
(PKJ 185:1)
Nyanyian PKJ 185 ini sempat Hit, ngetop. Betapa tidak, syair karya Arnoldus Isaak Apituley begitu mantap menjiwai teladan Kristus. Apalagi jika diiringi dengan musik riang gembira. Tanpa terasa tubuh ikut bergoyang. Jujur, saya pun kepingin goyang kalau mendengar nyanyian ini dilantunkan dengan bit yang gembira. Namun, ketika saya mencoba menelisik dalam, koq bulu kuduk jadi merinding. Ya, tentu saja pujian ini bukan horror. Tetapi nurani integritas diri yang terusik. Benarkah Tuhan mengutus kita? Benarkah kita ini adalah terang yang disiapkan untuk menerangi kegelapan dunia? Nah, ini yang paling menohok: Benarkah ketika dihina dan dilanda duka akan tetap melayani dengan sepenuh hati? Benarkah hati kita sungguh-sungguh senang dalam kondisi dihina dan ditolak? Benarkah dalam keadaan sedemikian itu kita masih memuliakan nama Tuhan?
Ah, jangan-jangan lagu ini hanya hiburan saja, seperti lagu-lagu lainya. Seperti lagu di pub dan karaoke yang tidak ada kena mengenanya dengan kehidupan kita. Hanya rasa yang sedang dimanjakan sesaat. Buktinya? Ya, baru saja dicuekin, tidak ditanggapi atau ditegur, baru saja kelupaan tidak diucapkan terima kasih atau kelewat tidak disebut dalam doa ketika berulang tahun sudah baper dan tersinggung. Belum juga dihina, belum juga ditolak, belum juga menderita dan teraniaya, kita sudah mutung dan memilih hengkang dalam pelayanan dan keanggotaan jemaat. Ya, itulah sebabnya saya suka merinding menyanyikan lagu ini. Ngeri, hanya bisa mengucap, hanya bisa bernyanyi, nyatanya tidak bisa melakoni dengan sepenuh hati!
Sampai kapan kita bisa konsisten dengan apa yang diucapkan, dinyanyikan dengan kenyataan yang sebenarnya? Ya, jelas sampai ada kemauan mewujudkannya secara nyata. Tidak mudah, iya betul. Sangat-sangat tidak mudah! Namun, bukan berarti mustahil untuk melakukannya. Masalahnya klasik, bukan bisa atau tidak, melainkan mau atau tidak. Sebab, kita percaya bahwa Tuhan pasti telah memberikan kepada kita dalam segala keterbatasan kita kapasitas untuk melakukan firman-Nya dengan baik. Ia telah memberikan teladan melalui Kristus. Kristus ketika pewartaan kabar baik, pelayanan, kasih karunia, dan mukjizat-mukjizat-Nya ditolak, Ia tetap melayani dengan sepenuh. Tidak hanya itu, Ia telah memberikan semuanya namun semuanya ditolak dan akhirnya Ia disalibkan. Namun, di atas kayu salib itu tetap terpancar kasih dan pengampunan-Nya.
Pada tahap awal pelayanan-Nya, Yesus dipenuhi dengan kuasa Roh Kudus. Tentu saja ia ingin saudara dan teman sekampung-Nya, Nazaret mendapatkan dan sekaligus mengalami kabar gembira itu. Ia telah menyatakan diri sebagai orang yang ditentukan membawa tahun rahmat Tuhan telah datang! Melalui Dia kasih Allah sepenuh-penuhnya terjadi bagi umat manusia. Sayang, teman dan kerabat sekampung itu meski pada awalnya takjub, namun pada akhirnya menolak!
Penolakan itu bukan pada isi ajaran atau pewartaan Yesus, melainkan pada asal-usul-Nya. Mereka menolak lantaran tahu bahwa Yesus anak seorang tukang kayu. Yusuf!
Menghadapi penolakan itu, Yesus mengutip pepatah tentang tabib, yang memang populer dengan berbagai versi pada zaman itu. Tabib dapat mengatasi dan menyembuhkan penyakit orang lain, tetapi tidak dapat berbuat serupa untuk dirinya sendiri. Jadi, inilah kekurangan dari seorang tabib. Dengan mengutip pepatah tabib, Yesus mau menanggapi penolakan yang dilontarkan terhadap diri-Nya, “Anda dapat menyatakan diri sebagai orang yang diurapi Allah dan dibimbing oleh Roh-Nya. Anda memandang diri Anda sebagai Mesias. Bila Anda bertahan terhadap klaim Anda itu, maka sekarang harap buktikan di hadapan kami, supaya kami dapat percaya dan memberi kesaksian tentang Anda. Lakukanlah keajaiban seperti yang di Kapernaum itu. Kalau Anda tidak mampu melakukannya, maka Anda tidak berbeda dengan tabib yang tidak dapat membuktikan keampuhan ilmunya dengan menyembuhkan dirinya sendiri!” Jadi, Yesus memahami penolakan terhadap dirinya itu dengan tuntutan pembuktian mukjizat dari orang-orang yang menolak-Nya.
Jelas, sejak awal Yesus tidak tergoda untuk pembuktian semacam itu. Bukankah hal serupa telah Iblis lakukan untuk mencobai diri-Nya. Dasar Yesus melakukan mukjizat bukanlah tuntutan dan perintah orang lain. Ibu-Nya sendiri dalam krisis anggur pernikahan di Kana, tidak dapat mengatur-Nya melakukan mukjizat. Mukjizat sepenuhnya adalah hak prerogatif Tuhan yang dikaitkan dengan belarasa terhadap orang yang menderita. Jadi, bukan memenuhi tuntutan!
Hal serupa dengan cerita tabib adalah pepatah kuno , “tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya” (Lukas 4:24). Kata dihargai atau diperkenan ini berhubungan dengan tahun perkenanan Tuhan dalam ayat 19. Tuhan tidak mungkin berkenan kepada orang-orang Nazaret yang menolak Yesus yang baru saja memaklumkan zaman rahmat baru bagi mereka. Dengan mengungkapkan pepatah kuno ini, Yesus menempatkan diri pada posisi nabi. Mengapa Ia tidak mau memenuhi tuntutan orang-orang Nazaret? Jelas, sama seperti para nabi sebelumnya, ia pun telah ditolak! Kemudian sekilas Yesus menyebut Elia dan Elisa. Mereka mengalami hal serupa dan akhirnya orang-orang bukan umat pilihan itulah yang mendapatkan kasih karunia Allah: Janda di Sarfat dan Naaman, panglima pasukan Ben-Hadad raja Damsyik!
Orang-orang Nazaret semakin emosional. Argumen-argumen yang disampaikan Yesus, meskipun benar, mereka menganggapnya sebagai serangan terhadap mereka. Mereka memaknai ucapan-ucapan Yesus itu merupakan kecaman, itulah sebabnya mereka menggiring Yesus ke tepi tebing gunung untuk menghempaskan-Nya. Bangsa Yahudi mempraktikkan ini terhadap orang yang mau dirajam. Mereka mendorong ke tempat yang lebih rendah dan kemudian merajamnya dengan batu. Mengerikan!
Namun, Yesus menyikapinya dengan tenang. Ia lewat dari tengah-tengah mereka begitu saja. Tak satu pun di antara mereka yang bisa menyentuh-Nya. Apa yang terjadi sebenarnya dengan adegan ini? Apakah mata mereka dibutakan sehingga tidak dapat lagi mengenali Yesus? Atau Yesus menampakkan kuasa mandra guna sehingga walau mereka bisa melihat tetapi tidak dapat menyentuh-Nya? Lukas enggan menceritakan detail kisah ini. Namun yang ingin disampaikan Lukas adalah bahwa perlawanan terhadap pelayanan dan pewartaan Yesus sudah terjadi sedari awal Ia tampil di hadapan umum. Maka, janganlah heran kalau sampai saat ini pun perlawanan terhadap para pengikut Yesus akan selalu ada. Jangan heran kalau Anda dan saya semakin dekat dengan Kristus dan terpanggil mewartakan dan meneruskan kasih dan pelayanan-Nya, Anda dan saya akan menemui masalah: penolakan!
Sedari awal Yesus ditolak. Namun, kisah ini belum waktunya para penentang Yesus itu memenangkan pertarungan. Yesus yang tidak dapat disentuh oleh mereka yang ingin melenyapkan-Nya pada saat itu dapat dimaknai bahwa dalam bahaya apa pun, Yesus tetap meneruskan karya-Nya. Yesus tidak tergoda untuk membalasnya dengan mendatangkan kuasa-Nya menghalau dan menghukum mereka. Yesus tidak berambisi juga untuk terus mendemonstrasikan mukjizat-Nya agar diakui dan disembah orang-orang Nazaret itu. Namun, Dia terus menapaki jalan penolakan itu dengan tetap mengasihi dan memberkati mereka. Ia tidak lelah mencintai! Ia seperti syair lagu karya Arnoldus Isaak Apituley.
Sekarang, saya mau mengajak kita menyanyikan PKJ 185 itu dengan penghayatan baru. Penghayatan seperti Yesus menghayati panggilan Bapa-Nya!
Jakarta, 27 Januari 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar