Jumat, 12 Maret 2021

DITARIK OLEH ANUGERAH-NYA

Ketika melayani di Jepang, Corrie ten Boom tiba di gereja pada ibadah malam dengan perasaan mengasihani diri sendiri. Ia sangat lelah dan perutnya tidak biasa diisi dengan makanan asing. Betapa ia merindukan kembali makanan Eropa yang lezat di tanah airnya, Belanda. Ia membayangkan sebuah meja di mana ia tidak perlu duduk bersila di lantai, dan tempat tidur yang lembut ketimbang tikar keras yang dipakai orang Jepang untuk tidur.

 

Pada kebaktian malam itu ia melihat seorang pria yang sedikit bungkuk di kursi roda. Wajahnya memancarkan ekspresi paling bahagia yang bisa ia bayangkan. Setelah ibadah, penerjemahnya memperkenalkan orang itu kepadanya. Ketika Corrie bertanya tentang beberapa paket kecil yang dibungkus kertas cokelat dan diikat dengan tali di pangkuannya, ia tersenyum lebar. Dengan hati-hati ia membuka salah satu bungkusan paket itu untuk menunjukkan isinya. Dengan antusias ia menjelaskan: “Ini adalah Injil Yohanes, ditulis dalam huruf Braille. Saya baru saja menyelesaikannya!” Selanjutnya ia menjelaskan bahwa ini kelimabelas kalinya ia telah menulis Injil Yohanes dalam huruf Braille. Ia juga menulis kita lain dari Injil serta beberapa bagian Alkitab yang lebih pendek untuk orang buta.

 

“Bagaimana kamu sampai melakukan hal ini?” tanya Corry

 

Pria itu melanjutkan dengan menceritakan tentang “Wanita Alkitab” (untuk menyebut seorang wanita yang selalu membagikan salinan Alkitab dan buku-buku Kristen) di Jepang yang melakukan perjalanan dari desa ke desa, membawa salinan Alkitab, buku-buku Kristen, dan pamflet untuk mereka yang haus akan Firman Tuhan. “Wanita Alkitab kami sakit berat akibat tuberculosis,” jelasnya, “ namun demikian ia tetap bepergian setiap minggu sampai ke enam belas desa, meskipun ia akan segera meninggal. Ketika mendengar kabar itu, saya bertanya kepada Tuhan, apa yang bisa saya lakukan untuk membantunya meskipun kaki saya lumpuh, dan saya tidak bisa keluar dari kursi roda ini, dalam banyak hal saya lebih sehat daripada dirinya. Tuhan menunjukkan kepada saya bahwa melalui tangan yang gemetar dan kaki saya yang lumpuh, saya bisa menjadi tangannya, dan ia menjadi kaki saya. Saya menulis halaman-halaman Braille dan ia mengambil Alkitab berkeliling ke desa-desa serta memberikan itu semua kepada orang-orang buta, yang ketinggalan begitu banyak karena mereka tidak dapat melihat.”

 

Malam itu Corrie meninggalkan gereja dengan hati penuh malu. “Inilah aku”, ia kemudian membeberkan, “dengan kedua kaki yang sehat untuk bepergian ke seluruh dunia, dua paru-paru yang sehat, dan dua mata yang bagus, mengeluh karena tidak suka makanannya!” Selanjutnya ia bergumam, “Orang-orang yang berharga ini telah menemukan obat mujarab untuk sikap mengasihani diri sendiri - pelayanan kepada orang lain … Obat penyembuh terbaik yang saya tahu untuk sikap mengasihani diri sendiri adalah membantu orang lain yang kondisinya lebih buruk dari Anda.” (Ten Boom, Jesus Is Victor, hlm.438,9).

 

Benar, kebanyakan orang sadar atau tidak terjebak untuk mengasihani diri sendiri. Akibatnya, kita memperjuangkan kenyamanan sendiri. Kita ditarik oleh nafsu dan ambisi yang berpangkal pada ego. Tepatlah seperti yang diperingatkan oleh rasul Yakobus, “Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya.” (Yak.1:14) Tarikan-tarikan yang kuat itu adalah keinginan atau nafsu. Inilah yang bisa diartikan dalam perkataan Yesus sebagai orang yang “mencintai nyawanya”. Orang-orang yang mempertahankan diri dan kepentingannya sendiri di dunia ini dengan tangan tertutup. Hal ini berbeda dengan orang yang “tidak mencintai” (harfiah: membenci nyawanya), hal ini bukan berarti kurang menerima diri, tetapi merelakan diri tanpa takut kehilangan hidupnya yang fana demi kebenaran, sama seperti yang dilakukan oleh Yesus sendiri. Bukan ambisi menjadi mulia yang Ia perjuangkan, melainkan menyalurkan kasih Bapa kepada semua orang, meskipun Ia harus menderita, sengsara dan mati!

 

Yesus melihat dari sisi lain tentang penderitaan dan kematiaan itu. Injil Yohanes bahkan dengan tegas mencatat bahwa jalan itu - via dolorosa - merupakan jalan Yesus ditinggikan. Yesus menyatakan kematian-Nya sebagai kematian butir gandum yang memang harus jatuh dan mati untuk menghasilkan buah lebih banyak. Dalam pemikiran Yahudi bahkan dunia moderen, kematian adalah tanda kehancuran dan bukan tanda kemuliaan. Akan tetapi, Yesus mengatakan bahwa butir gandum tidak akan menjadi banyak kalau ia tidak lebih dahulu mati. Kematian Yesus merupakan syarat tak terhindarkan bagi pemuliaan-Nya sebagai Anak Manusia. Tanpa kematian itu, Yesus tidak akan memasuki kemuliaan-Nya. Dampak kematian itu jugalah yang merupakan benih yang menghasilkan buah keselamatan dan anugerah Allah yang melimpah. 

 

Pertanyaannya kemudian, “Bukankah kemuliaan Yesus sudah tampak nyata dalam apa yang dikerjakan-Nya? Apa yang dikisahkan dalam Injil sampai saat ini telah menyatakan kemuliaan Yesus itu. Kemuliaan Yesus telah tampak dalam seluruh karya-Nya sebagai Sang Firman yang telah menjadi manusia. Mengapa dikatakan bahwa saat kemuliaan itu baru tiba dalam kematiaan-Nya itu? Jawabnya adalah, “Karena kemuliaan yang tampak dalam sabda dan karya Yesus tidak bisa menandingi kemuliaan yang nyata di dalam kematian dan kebangkitan-Nya. Segala kemuliaan yang telah diperoleh Yesus merupakan sebuah persiapan kepada kemuliaan yang jauh lebih besar yang diterima oleh Yesus. Yesus mempunyai kuasa untuk membangkitkan Lazarus. Pekerjaan itu memberikan kemuliaan bagi Yesus. Namun demikian, kemuliaan Yesus tampil secara penuh ketika Ia sendiri bangkit dari kematian-Nya. Lagi pula Kata Yesus, “Dan Aku, apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku.” (Yohanes 12:32). Peristiwa pemuliaan Yesus di kayu salib akan menarik semua orang datang kepada-Nya. Hukuman salib yang terkutuk itu justru menjadi penyingkapan cinta kasih Allah yang sangat agung.

 

Keagungan cinta kasih melalui jalan salib ini mestinya menjadi daya Tarik adi kuat untuk kita beralih dari keinginan “mencintai nyawa”, yakni memperjuangkan kepentingan sendiri kepada sikap antusias menerima anugerah-Nya itu. Maka setiap orang - mudah-mudah kita termasuk di dalamnya - yang telah melihat, tertarik, merasakan dan mengalami, anugerah cinta kasih-Nya akan menampakkan sikap hidup yang berbeda. Ya, berbeda dari yang tadinya memenuhi ambisi nafsu sendiri menjadi orang yang punya keberanian untuk “melepaskan nyawanya”, menanggalakan kepentingan sendiri, memikul salib dan menyangkal diri. 

 

Orang-orang seperti pria bungkuk di kursi roda yang masih melihat kebaikan Tuhan dan antusias menggunakan sisa hidupnya untuk melayani Tuhan, Wanita Alkitab, yang dengan sakit tuberculosisnya masih berjalan berkeliling dari desa ke desa untuk membagikan firman Tuhan adalah sedikit contoh dari orang-orang yang tidak lagi mencintai nyawanya sendiri. Mereka tidak mengasihani diri sendiri, tetapi jauh melihat kepada karya dan anugerah Allah di dalam Yesus Kristus. Mereka dapat melihat dari orang-orang yang mereka layani sebagai sarana untuk menebarkan benih gandum. Marilah kita sejenak berada dalam posisi Corrie ten Boom yang semula mengasihani diri sendiri, lalu menyaksikan karya Tuhan lewat kepapaan Pria lumpuh dan Wanita Alkitab, “Inilah aku, dengan kedua kaki yang sehat untuk bepergian ke seluruh dunia, dua paru-paru yang sehat, dan dua mata yang bagus, mengeluh karena tidak suka makanannya!” Selanjutnya ia bergumam, “Orang-orang yang berharga ini telah menemukan obat mujarab untuk sikap mengasihani diri sendiri - pelayanan kepada orang lain … Obat penyembuh terbaik yang saya tahu untuk sikap mengasihani diri sendiri adalah membantu orang lain yang kondisinya lebih buruk dari Anda.”  

 

 

Jakarta, Minggu Prapaskah V 2021.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar