Pujian jika diberikan kepada orang yang tepat, kadar yang pas, alasan yang jelas, dan dalam waktu yang tepat merupakan hal yang baik. Tidak ada yang salah! Bukankah sedari kecil kita diajar untuk menghargai orang lain, berterima kasih jika dibantu dan ketika kita dapat melakukan sesuatu, orang tua kita bertepuk tangan sambil mengatakan, “Anak mami hebat!” Pujian yang positif dapat memicu orang untuk mengulangi bahkan meningkatkan apa yang baik yang dikerjakannya.
Namun kita juga tidak menampikkan hal negatif dari sebuah pujian. Pujian dapat dipakai untuk meluluhkan hati orang. Lewat pujian, orang berupaya agar keinginannya bisa tercapai. Inilah pujian yang tidak tulus. Bagi orang yang dipuji, menimbulkan efek ketagihan. Telinganya hanya mau mendengar pujian tentang dirinya. Matanya hanya mau melihat like atau jempol dalam status sosmednya. Ia akan melihat jempol yang teracung ke bawah sebagai ancaman. Ada seribu orang yang memberi like dan satu dislike, hatinya akan terus memikirkan dan mencari tahu, siapa orangnya dan apa alasannya dia memberikan ikon dislike.
Berlawanan dengan pujian, penolakan dalam pelbagai penelitian psikologis merupakan salah satu pukulan terberat dalam kehidupan manusia di samping kehilangan. Perasaan dan pengalaman tertolak menimbulkan luka mendalam. Trauma penolakan tidak mudah untuk dipulihkan.
Hari ini, Minggu Pra-Paskah VI, tradisi gereja menyebutnya sebagai Minggu Palem sekaligus Minggu Sengsara. Minggu yang menggambarkan paradoks antara pujian dan penolakan. Dua bagian Injil : Markus 11:1-11 dan Markus 15:1-20 mengisahkan itu. Dalam Markus 11:1-11, Yesus disambut, dielu-elukan, segala puja dan puji diberikan kepada-Nya. Kedatangan-Nya di Yerusalem disambut bagaikan pahlawan yang siap melibas musuh umat Allah seperti yang dilakukan dulu oleh Simon saudara Yudas Makabeus. Dulu Simon disambut meriah oleh karena ia berhasil mengalahkan pasukan Seleukus Antiokhus IV Epifanes, penguasa penjajah Yunani yang melarang praktik ibadah umat Israel. Kini, ketika mereka melihat mukjizat-mukzijat dan pengajaran luar biasa yang dilakukan oleh Yesus maka harapan itu timbul kembali. Yesus yang memasuki Yerusalem ini pasti lebih jagoan ketimbang Simon Makabeus itu. Jika Simon disambut sebagai pahlawan, Yesus dipuja-puji sebagai Mesias.
Mereka mendeklarasikan Yesus sebagai Mesias yang akan menghadirkan Kerajaan Allah di bumi, maka sikap umat itu menyerukan, “Hosana! diberkatilah Dia yang datang di dalam nama Tuhan, diberkatilah Kerajaan yang datang, Kerajaan bapak kita Daud, hosana di tempat yang maha tinggi!” (Markus 11:9-10). Apa arti kata “hosanna”? Kata itu berarti: “Oh, selamatkanlah kami sekarang!” atau “Sudilah menyelamatkan kami.” Penduduk Yerusalem memohon agar Yesus, Sang Mesias Allah berkenan menyelamatkan mereka sekarang dari penjajahan bangsa Romawi lalu memulihkan kejayaan Israel seperti pada zaman nenek moyang mereka, Daud. Ternyata pujian itu berbanding lurus dengan angan yang mereka harapkan.
Bagaimana tanggapan Yesus terhadap pujian yang dilontarkan oleh penduduk Yerusalem itu? Injil tidak mencatat reaksi Yesus. Tidak ada satu ayat pun yang mencatat bahwa Yesus menyambut pujian itu dengan sikap antusias atau gembira alih-alih sedih karena mereka tidak memahami apa sebenarnya yang sedang la kerjakan. Yesus tidak memanfaatkan pujian itu untuk menguntungkan diri-Nya. Ia tidak takabur atau pongah. Yesus dapat mengendalikan diri-Nya untuk fokus pada tujuan yang diamanatkan Bapa-Nya, meski kesempatan untuk tenar dan tentunya Ia sangat mampu melakukan perlawanan melebihi apa yang dulu pernah dilakukan oleh Simon dan Yudas Makabeus.
Yesus tidak antusias dan gembira menyambut pujian mereka oleh karena Ia menyadari bahwa mereka yang melakukan itu belum sepenuhnya mengerti bahwa makna kemesiasan-Nya itu bukanlah sebagai Mesias yang membebaskan mereka dari kungkungan penjajah Romawi, melainkan membebaskan mereka dari penindasan kuasa dosa. Selanjutnya, penduduk Yerusalem menjadi sangat kecewa saat Yesus sama sekali tidak memberikan perlawanan ketika Ia ditangkap. Saat dianiaya, Yesus sama sekali tidak menunjukkan kuasa-Nya yang menakjubkan di hadapan Pontius Pilatus. Yesus diam saja ketika Ia dihina dan dilecehkan. Ditambah hasutan dari petinggi Yahudi, sikap yang awalnya menyanjung-nyanjung Yesus kini berubah menjadi kemarahan dan kebencian. Dari teriakan pujian “hosana” berubah menjadi hujatan “salibkan Dia!”
Manusia cepat sekali berubah. Pokok perubahan itu sebenarnya adalah ambisi, keinginan kuat untuk memuaskan nafsu mereka. Penduduk Yerusalem bisa menggambarkan diri kita. Bisa saja hari ini kita memuji dan menyanjung Yesus. Kita melakukan-Nya dengan harapan Yesus melakukan apa yang kita ingini: Ia menggunakan kuasa-Nya untuk membuat keinginan kita tercapai. Ketika tidak, kita juga berteriak, “salibkan Dia!”, tentu saja dalam bentuk yang lain. Kita mempertanyakan kasih, kuasa dan kemesiasan-Nya. Lalu, kita balik kanan meninggalkan-Nya dan mencari solusi alternatif.
Dalam penolakkan yang tercermin melalui peradilan rekayasa yang dipimpin Pontius Pilatus, Yesus memilih berdiam diri. Sama seperti ketika Ia menerima sanjungan, Ia diam. Yesus tidak memberi jawab apa pun dari tuduhan yang dilontarkan oleh Pilatus, kecuali pertanyaan, “Engkaukah raja orang Yahudi?” Yesus menjawab, “Engkau sendiri mengatakannya.” Yesus tidak terpancing menjadi emosional atau melakukan pembelaan. Tidak. Sepenuhnya Ia dapat mengendalikan diri menghadapi apa yang memang harus dihadapi.
Diamnya Yesus ketika Ia disanjung dan ketika Ia ditolak menunjukkan kematangan spiritualitas yang memahami benar apa yang harus dilakukan-Nya. Ia tidak tergoda untuk memanfaatkan pujian, apalagi menjadi ketagihan pujian. Tidak! Ia juga tidak tenggelam dalam duka nestapa akibat penolakan dan perlakuan keji yang diprakarsai oleh para pembesar Yahudi. Kedua paradoks, yakni pujian dan penolakan berpotensi menjatuhkan-Nya. Namun paradoks itu dapat diatasi dengan resep yang sama, yakni: penguasaan diri.
Dalam kehidupan kita paradoks itu tidak dapat dihindari. Kadang kita mendapat penghargaan atau pujian. Pada saat seperti ini kita mudah lengah. Kita menjadi orang yang merasa hebat, akibatnya kita menjadi orang yang tinggi hati, pongah dan takabur. Di sinilah situasi rawan yang membuat kita mudah jatuh. Kita lupa bahwa di atas langit ada langit lagi. Pengendalian diri akan menolong kita untuk tahu diri dan tetap merendah. Merendah tidak sama dengan rendah diri. Merendah hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang punya kebesaran jiwa dan tahu diri.
Pada kutub yang lain paradoks itu adalah penolakan. Ketika kita ditolak bukan berarti akhir dari segalanya. Bisa saja orang yang kita percayai suatu saat berkhianat, penguasaan diri akan menolong kita untuk tidak melakukan kecerobohan: emosi membakar diri kita dan akhirnya bertindak di luar kendali. Ada kalanya berdiam diri merupakan sikap terbaik. Memberi kesempatan Tuhan menunjukkan kasih dan pemeliharaan-Nya. Biarlah di tengah-tengah paradoks kehidupan ini, Tuhan memberi pertolongan agar kita bisa mengendalikan diri dan melihat indah rencana-Nya.
Jakarta, Minggu Palem - Minggu Sengsara 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar