Ada kata menarik dalam bacaan pertama hari ini. Bilangan 21:4 “Setelah mereka berangkat dari gunung Hor, berjalan ke arah Laut Teberau untuk mengelilingi tanah Edom, maka bangsa itu tidak dapat lagi menahan hati di tengah jalan.” Bangsa itu tidak dapat lagi “menahan hati”. Apa yang dimaksudkan dengan “menahan hati?” Menahan hati itu berarti mengekang diri sendiri, bersabar diri untuk tidak berbuat sesuatu. Alih-alih umat Tuhan itu menahan hati, mereka emosional. Mereka marah melawan Allah dan Musa: “Mengapa kamu memimpin kami keluar dari Mesir? Supaya kami mati di padang gurun ini? Sebab di sini tidak ada roti dan tidak ada air, dan akan makanan hambar ini kami telah muak.”
Amarah, yang dalam bahasa Inggris disebut anger, sangat dekat dengan kata denger (berbahaya). “Orang marah itu, adalah orang yang membuka mulutnya dan menutup matanya,” kata Marcus Porcius Cato, negarawan Romawi. Dengan kata lain, amarah adalah situasi emosional yang tidak rasional. Fakta dan segenap realita akan terkalahkan oleh emosi marah. Marah berpotensi mengalahkan objektivitas dan empati.
Karena marah, orang Israel itu bersungut-sungut. Mereka lupa bahwa baru saja mereka memperoleh air yang melimpah (Bilangan 20:10-11). Karena marah mereka tidak ingat bahwa faktanya Allah memberi mereka manna sebagai makanan yang memelihara kelangsungan hidup mereka. Mereka begitu saja menampikkan 32 tahun Tuhan menyediakan burung puyuh sebagai asupan daging mereka. Mereka tidak ingat faktanya bahwa sejauh ini Allah menyediakan kebutuhan umat Israel itu lengkap!
Mengapa merek bersungut-sungut? Mengapa mereka marah? Mereka marah dan bersungut-sungut oleh karena keserakahan dan mengejar kenikmatan nafsu. Itulah sekaligus dosa mereka. Kalau kita renungkan baik-baik, bukankah kita juga mirip-mirip umat Israel ini? Mana kala keserakahan diagungkan dan kenikmatan dipuja, kita mudah sekali ngomel, bersungut-sungut, marah. Akibatnya, benar seperti yang dikatakan Marcus Porcius Cato: kita menjadi orang yang membuka mulut dan menutup mata! Ya, kita hanya mau didengar. Kita menutup mata untuk segala kebaikan Tuhan. Kita tidak lagi melihat bahwa Allah itu Bapa yang Agung yang memelihara dengan sangat baik anak-anak-Nya.
Kita menjadi orang yang tidak tahu berterima kasih, tidak dapat memandang kebaikan Tuhan: yang gampang menyalahkan orang atau pihak lain dan sangat mudah menyalahkan Tuhan. Israel di padang gurun itu dengan tepat menggambarkan diri kita. Dalam peristiwa padang gurun itu, Allah murka dan menghukum Israel dengan pagutan ular-ular tedung. Ular yang sangat berbahaya karena racunnya yang mematikan. Ya, bukankan sama seperti bisa pada racun ular tedung. Dosa itu mematikan. Disebut mematikan karena akan membawa manusia kepada kematian kekal: maut! Akibat dosa, tidak dapat dielakkan lagi, kematian kekal!
Untunglah umat Israel itu segera menyadari kecerobohannya. Mereka datang kepada Musa untuk memohon ampun. Ya, tentu saja Allah mau mengampuni mereka. Sangat menarik pengampunan Allah itu dinyatakan dengan cara memerintahkan kepada Musa untuk membuat Ular Tembaga yang diletakkan pada sebuah tiang. Mereka yang telah dipagut ular dan membutuhkan penyembuhan, maka diperintahkan untuk memandang ke arah Ular Tembaga supaya sembuh.
Bagaimana mungkin Allah memerintahkan hal aneh ini? Membuat. ular dari tembaga, digantungkan di atas tiang dan umat yang terpagut harus menatapnya agar tidak mati. Bukankah ini seperti mengajak umat menyembah berhala untuk mendapatkan kesembuhan? Padahal Allah dalam Taurat-Nya melarang keras untuk umat-Nya tidak membuat patung dan menyembahnya.
Jelas, bukan ular tembaga itu yang harus disembah! Dalam kitab Bilangan 21:4-9 tidak ada perintah bagi umat Israel yang digigit ular tedung untuk menyembah Ular Tembaga yang dipasang di atas tiang. Perintah Allah kepada orang-orang yang dipagut ular tedung adalah jika mereka memandang (melihat) ke arah Ular Tembaga tersebut, maka mereka akan sembuh. Umat Israel diperintahkan Allah untuk memandang (waraah), artinya menundukkan diri, menyembah, mempermuliakan - tentu yang dimaksud di sini bukan kepada Ular Tembaga buatan Musa itu - melainkan kepada yang memerintahkannya, yakni Allah sendiri. Jadi, dengan mereka memandang Ular Tembaga itu, pada hakikatnya mereka memandang Allah. Memandang Allah berarti mengindahkan-Nya, memuliakan-Nya, tunduk dan menyembah-Nya! Dengan mengindahkan perintah Allah itu, mereka akan membebaskan mereka dari hidup yang berorientasi pada diri sendiri, hidup yang mementingkan keinginan dan kenikmatan serta keserakahan diri diubah menjadi hidup yang yang taat dan memuliakan Allah.
Kita, sama seperti Nikodemus ada dalam perjalanan “padang gurun” menuju “negeri perjanjian”. Kita semua, tanpa kecuali telah dipagut oleh dosa. Pagutan dosa itu jelas berujung pada maut. Tepat seperti yang dikatakan Paulus, “Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu. Kamu hidup di dalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu menaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka.” (Efesus 2:1-2) Lalu, bagaimana melepaskan sengat pagutan dosa itu?
Dalam paruh kedua dialog dengan Nikodemus (Yohanes 3:14-21), Yesus secara metafor menggambarkan diri-Nya seperti Ular Tembaga yang digantung di atas tiang. Jika demikian, Kristus yang adalah Sang Firman yang menjadi Manusia. Ia berasal dari sorga. Sebagai Firman yang benar dan kudus, Kristus adalah Sang pemulihdosa-dosa manusia. Kebutuhan manusia untuk pulih dari sengat dosa seperti orang-orang Israel yang dipagut ular tedung. Mereka hanya akan pulih ketika menuruti apa yang diperintahkan Allah melalui Musa. Umat Israel membutuhkan Ular Tembaga di atas tiang. Seperti halnya itu, umat manusia: Anda dan saya membutuhkan kurban Kristus di atas kayu salib.
Sama seperti umat Israel memandang Ular Tembaga: memandang untuk menanggalkan nafsu kedagingan dan menundukkan diri kepada kehendak-Nya, sambil meninggikan kemuliaan-Nya. Demikian juga kita yang rindu dipulihkan oleh bilur-bilur-Nya harus memandang salib secara demikian. Kita memandang salib dengan sikap percaya akan pengorbanan Kristus sehingga kita dapat melihat bahwa kematian Kristus itu menyingkapkan dosa-dosa yang tersembunyi dengan rapi yang ditutupi oleh kesalehan-kesalehan palsu. Dengan memandang salib Kristus kita bersedia untuk diubahkan dari hari ke hari menjadi manusia ciptaan baru.
Jakarta, Minggu Prapaskah IV 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar