Rabu, 31 Maret 2021

KOMUNITAS KASIH

Konon tokoh besar India, Mahatma Gandhi sangat dipengaruhi oleh hidup dan pesan Yesus, meskipun ia tidak menyatakan diri sebagai orang Kristen. Adalah tema-tema Khotbah di Bukit dan pembasuhan kaki yang begitu kuat merasuk jiwanya sehingga muncul dalam karakter, tingkah laku dan gerakan yang dipimpinnya. Salah satu contoh pengaruh itu ketika ia mempunyai kekuasaan besar sebagai pemimpin negerinya, ia memilih mengambil tempat yang teramat sederhana: tinggal bukan di istana tetapi di ashram. Tugasnya setiap hari adalah membersihkan toilet, tanda yang amat jelas bahwa ia ingin melayani orang lain.

 

Tak dapat disangkal, melayani adalah manifestasi cinta yang paling otentik dan kasat mata. Sulit dibayangkan jika kita mengatakan bahwa, “aku mencintaimu, aku mengasihimu”, lalu tidak pernah muncul dalam tindakan, yakni melayani dan memberikan apa yang dibutuhkan kepada orang yang kita nyatakan cinta kasih kita itu.

 

Sudah teramat umum kata melayani itu ada dalam komunitas Kristen. Kelompok yang menyatakan diri anak-anak Tuhan. Namun, benarkah komunitas Kristiani ini diwarnai atau dijiwai oleh kasih? Ataukah tema kasih hanya seperti flatform atau semboyan sebuah partai politik untuk mencari simpatik kalayak yang pada kenyataannya jauh panggang dari pada api. Boleh dan lumrah dilanggar untuk kepentingan sesaat. Toh nanti ada segudang teori dan dalil untuk membenarkan tindakannya yang sama sekali jauh dari semboyan itu.

 

Jelas, Yesus tidak ingin para pengikut-Nya hanya pandai membuat semboyan indah namun gagal dibuktikan dalam kenyataan yang sesungguhnya. Ia sangat ingin dan serius agar apa yang diajarkan, dilakukan dan diteladankan itu benar-benar dipahami, dijiwai dan dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh pengikut-Nya. Maka dalam perjamuan malam terakhir itu, “… Ia menanggalkan jubah-Nya, mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya, lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pingang-Nya.” (Yoh.13:4,5).  

 

Dalam budaya Yahudi, membasuh kaki orang lain adalah pekerjaan budak: yang lebih rendah membasuh kaki orang yang lebih tinggi kedudukannya. Murid membasuh kaki gurunya, rakyat jelata membasuh kaki rajanya. Tidak akan pernah terjadi sebaliknya: raja berlutut di depan kaki rakyatnya. Yesus jelas mempunyai kekuatan, kedudukan dan kuasa. Bukankah Dia itu Mesias, Anak Allah Yang Mahatinggi? 

 

Yesus sama sekali tidak membangun relasi dalam komunitas-Nya berdasarkan hierarki kuasa otoriter. Namun, Ia ingin membangunnya dalam relasi cinta kasih di mana melayani adalah tanda paling utamanya. Yesus ingin membangun komunitas yang berbeda. Semua kelompok, semua komunitas, semua masyarakat dibangun dengan model piramida: Yang berada di puncak adalah yang berkuasa, yang kaya, yang pandai. Mereka adalah orang yang menguasai dan memimpin, mereka adalah yang dilayani! Sedangkan yang berada di bagian paling bawah adalah si jelata, miskin, papa dan hina. Mereka dipinggirkan dan tidak diperhitungkan.

 

Pembasuhan kaki adalah pernyataan simbolik tetapi juga keberpihakan tegas. Dia menempatkan diri pada tempat yang paling rendah, tempat paling akhir, tempat para budak. Bagi Petrus, murid-murid Yesus dan kita, ini tidak mungkin! Menjadi tidak mungkin oleh karena, kita pun enggan melakukan hal itu ketika kita harus melayani orang yang statusnya lebih rendah! Petrus, murid-murid-Nya dan kita tidak sadar bahwa Yesus datang untuk mengubah model komunitas, dari model piramid menjadi model tubuh. Menurut model tubuh, setiap dan semua orang mempunyai tempat, entah mereka itu “normal” atau difabel; entah mereka kaya atau miskin, berpendidikan atau tidak, tua atau muda, laki maupun perempuan, sebagai tubuh masing-masing saling terkait, saling tergantung dan membutuhkan. Masing-masing dipanggil untuk mengemban tugas perutusan. Tidak ada yang disebut “tempat terakhir”!

 

Dengan menyatakan diri sebagai yang paling kecil dalam komunitas, sebagai orang yang melakukan tugas kotor, tugas budak; membasuh kaki dan berada di posisi yang terakhir, Yesus mengajak para murid-Nya untuk menanggalkan keegoisan dan memberi perhatian kepada yang paling kecil dalam masyarakat.

 

Kita bisa membayangkan betapa dengan lembut Yesus menyentuh kaki para murid, mata-Nya memandang mereka satu per satu, memanggil masing-masing dengan namanya dan mengatakan sesuatu yang khusus kepada mereka. Kalau dalam perjamuan, Ia berbicara kepada mereka semua; Ia tidak berkontak secara pribadi dengan mereka masing-masing. Namun, ketika dengan rendah hati Ia berlutut di hadapan mereka masing-masing dan membasuh kaki mereka, kontak pribadi itu terjadi! 

 

Ia menyatakan kasih-Nya kepada pribadi demi pribadi. Setiap pribadi murid itu punya sentuhan khusus dan waktu yang khusus pula. Yesus menyatakan kasih-Nya kepada setiap pribadi murid-murid itu tetapi juga sekaligus menguatkan dan menantang. Ia melihat dalam diri mereka masing-masing kehadiran Bapa-Nya, yang Ia kasihi dan layani. Tentu saja apa yang dilakukan-Nya itu untuk menyatakan bahwa para murid itu dan kita adalah penting. Kita adalah pribadi yang berharga dan layak dicintai-Nya.

 

Kasih Yesus menyatakan bahwa kita ini penting, bahwa kita merupakan kehadiran Allah, dipanggil untuk melakukan pekerjaan Allah; untuk mencintai orang lain seperti Allah di dalam Yesus mencintai mereka, untuk melayani orang lain dan membasuh kaki mereka. Dengan membasuh kaki para murid, Yesus tidak kehilangan kuasa-Nya. Ia mengatakan bahwa Dia adalah “Tuhan dan Guru”. Namun, Ia ingin menyatakan kuasa-Nya dengan cara baru, yakni dengan sikap rendah hati, pelayanan yang sesungguhnya, dan dengan cinta kasih yang tulus. Dengan cara yang menyiratkan kedekatan, persahabatan, keterbukaan dan kasih sayang. Jelas cara seperti ini tidak membuat seseorang kehilangan martabat. Melayani tidak akan membuat Anda dan saya turun derajat!

 

Ketika Yesus meminta para murid dan tentunya juga meminta kita untuk saling membasuh kaki Ia mengajak kita untuk saling mencintai, saling melayani dan saling mengampuni. Ini tidak berarti bahwa kita saat ini harus benar-benar mengambil baskom berisi air dan membasuh kaki semua orang. Percuma kalau hanya berhenti pada simbolik tetapi kenyataannya makna sesungguhnya malah kita abaikan. 

 

Budaya yang selalu ingin di depan, dihormati, menguasai, pelan-pelan masuk dalam kehidupan gereja. Mereka yang mempunyai kuasa, menjadi “orang penting” dan diagungkan. Melihat pemuliaan itu, tentu orang berlomba berebut posisi itu. Di sinilah kita bertanya, “apakah teladan Yesus membasuh para murid hanya berhenti pada ranah simbolik, agar orang yang melihat adegan itu berdecak kagum?”

 

Jakarta, Kamis Putih 2021

 

Sabtu, 27 Maret 2021

SALIB LAMBANG KEMULIAAN

“Yesus tidak melarikan diri dari rasa sakit; Ia menerimanya dan menempuh jalan perutusan-Nya sampai akhir; menyatakan kebenaran Allah Sang Kasih.

 

Banyak orang menolak Dia dan pesan kasih-Nya, karena mereka tidak ingin mengubah atau diubah. Karena ingin mempertahankan kekuasaan dan previleg mereka, mereka ingin menyingkirkan Dia.

 

Namun dengan luka-luka dan sakit-Nya, Yesus membawa kehidupan dan harapan bagi semua orang. Ia membuka pintu kasih bagi hati dan dunia kita yang hancur.”

(Jean Vanier)

 

Apa salah yang dilakukan-Nya? Dia yang penuh kasih dan kebaikan terhadap masing-masing pribadi ditangkap, diadili dengan peradilan culas, dilecehkan, dihina dan kemudian dijatuhi hukuman mati. Salib! 

 

Barangkali benar karena seluruh keberadaan diri-Nya menjadi ancaman bagi mereka yang memegang kekuasaan. Apa yang dilakukan-Nya mengancam kesewenangan yang sedang terjadi. Kemunafikan enggan ditelanjangi! Penyalahgunaan kekuasaan terus berlanjut sampai sekarang. Ada begitu banyak orang yang tak bersalah, lemah, hidup tanpa perlindungan: anak-anak, orang yang berusia lanjut, pengungsi, kelompok minoritas, perempuan, orang-orang difabel, dipinggirkan, diperlakukan secara buruk. Tidak jarang secara fisik dan seksualitas dilecehkan. Tengoklah Myanmar, kekuasaan militer terus membungkam dan menembaki siapa saja yang menuntut keadilan. Sampai hari ini lebih dari dua ratus orang meninggal tertembus timah panas. Penguasa tidak lagi mencintai rakyaknya.

 

Mereka berseru dan berharap untuk dihargai dan dimengerti, untuk dilindungi dan disayang. Seruan untuk menuntut hak-hak mereka sering kali tidak diperhatikan oleh yang berkuasa. Kekuasaan tidak akan mempunyai kata akhir. Sejarah menunjukkan bahwa mereka yang hidup dengan pedang akan binasa juga dengan pedang. Sedangkan mereka yang hidup demi kebenaran dan keadilan, akan bangkit dalam kebenaran dan keadilan juga.

 

Yesus, Sang Anak Domba, dihancurkan oleh kekuasaan biadab. Kekuasaan biadab yang berawal dari benih-benih liar yang dibiarkan tumbuh. Benih-benih yang ada dalam diri Yudas, mengejar kekuasaan dan membenci kasih. Benih-benih yang ada dalam diri Petrus, tidak mau menerima kelemahan Sang Mesias. Benih-benih yang ada dalam diri sejumlah pemimpin agama yang tidak dapat menerima kehadiran Allah yang tersembunyi dalam hal yang baru. Benih-benih yang ada dalam diri Pilatus, takut akan konflik dan dipecat oleh penguasa Romawi. Semua benih-benih ini bukankah ada di dalam diri kita semua? Kita semua dapat menyakiti orang-orang lemah dan tidak bersalah yang mengancam dan mengganggu kita.

 

Yesus tidak mau membela diri dengan menggunakan cara-cara dunia. Kebenaran bersinar dalam keindahan dan kerentanannya yang tersembunyi. Yesus sepenuhnya taat dan berserah kepada Sang Bapa. 

 

Para serdadu dan polisi Bait Suci menangkap Yesus, mengikat-Nya dengan tali. Laksana pesakitan mereka membawa-Nya kepada Hanas, mertua Kayafas, untuk diadili. Kayafas adalah Imam Besar yang beberapa hari sebelumnya secara profetis menyatakan bahwa Yesus akan mati untuk seluruh bangsa. Yohanes menceritakan pengadilan ini hanya sepintas saja. Seolah-olah ia menganggapnya sebagai bukan pengadilan, suatu pengadilan palsu. Bukankah Sanhedrin sudah berketetapan untuk menyingkirkan Dia?

 

Dalam pengadilan itu, Petrus yang oleh Yesus disebut Kefas: Batu Karang, ditanya apakah dia salah seorang dari murid-murid Yesus. Tiga kali ia menjawab yang isinya penyangkalan: “ouk eime” (“aku bukan salah seorang dari murid-murid-Nya”). Apa yang terjadi dengan Petrus? Ia telah mengikuti Yesus selama hampir tiga tahun. Tentunya selama itu ia melihat, mendengar dan mengalami apa yang dikatakan dan dilakukan Yesus. Petrus melihat mukjizat, menyaksikan kasih-Nya yang menyembuhkan. Petrus yang dikuasai oleh kekaguman ketika menyaksikan Yesus berubah rupa di Gunung Tabor, sekarang mengatakan bahwa ia bukan murid Yesus!

 

Petrus semula sangat yakin bahwa Mesias yang ia ikuti adalah orang yang berkuasa, yang akan membebaskan Israel, memaksa pasukan Romawi mundur, dan mengembalikan harga diri bangsanya. Bukankah Yesus telah membangkitkan Lazarus yang mati? Bukankah Ia adalah Raja pemenang, Yang Agung, “Dia yang harus datang?” Itulah pikiran Petrus mengenai Mesias, ideologinya. Itulah yang dikehendaki dan ia nantikan untuk dirinya sendiri, karena Yesus telah mmilih dia untuk menyertai-Nya dan ikut ambil bagian dalam kekuasaan yang hebat. 

 

Sekarang Yesus sudah kehilangan seluruh kekuasaan-Nya. Ia terbelenggu, diseret, untuk diadili sebagai penjahat. Ia pasrah saja menjadi orang yang tidak berdaya. Ia diam, menolak untuk berbicara membela diri! Mengapa Yesus tidak membela diri? Petrus tidak tahan dengan semua itu. Bagaimana mungkin Mesias itu lemah? Petrus bisa jadi merasa ditipu, marah dan jengkel. Ia jatuh ke dalam kekecewaan yang amat dalam dan perasaan putus asa. Ia tidak bisa menerima Yesus yang tidak berdaya, yang membasuh kakinya. Ia tidak mau menjadi murid Yesus yang lemah ini, Mesias yang lemah! Petrus tidak hanya menyangkal Yesus, tetapi juga menyangkal semua yang telah ia lihat, dengar, dan alami selama bertahun-tahun bersama-Nya.

 

Petrus - meski sudah diingatkan Yesus - tidak bisa melihat bahwa salib itu adalah lambang kemuliaan. Padahal di atas salib itulah kemuliaan penuh yang diterima Yesus. Petrus silau dengan kemuliaan yang ditawarkan dunia: bahwa kemuliaan itu sejajar dengan kekuasaan, semakin besar kekuasaan penaklukan itu maka semakin besar pula kemuliaan yang tampak dari seseorang. Bukankah dalam batas-batas tertentu kita juga mirip dengan Petrus yang silau akan kekuasaan lalu memandang rendah salib dan penderitaan?

 

Pesan kuat Injil Yohanes, meski tampaknya Yesus diam dan mengikuti alur skenario penangkapan orang-orang yang membenci-Nya. Namun, semua ada dalam kendali-Nya. Tidak ada gambaran ketakutan dan pergumulan yang hebat di taman Getsemani ketika Ia ditangkap. Bahkan tepatnya bukan ditangkap melainkan menyerahkan diri-Nya. 

 

Sesudah dijatuhi hukuman mati melalui peradilan abal-abal oleh Pilatus. Yesus berjalan sendirian sambil memanggul salib yang berat. Ia berjalan menuju kematiaan-Nya dengan tenang, dengan bermartabat dan bebas. Ia melaksanakan mandat Bapa-Nya untuk menghapuskan dosa dunia, untuk meruntuhkan tembok-tembok yang memisahkan orang satu dengan yang lainnya: terutama memisahkan Allah dari batinnya sendiri.

 

Pilatus memerintahkan untuk memasang tulisan yang diletakkan di atas kepala Yesus yang bermahkota duri: “Yesus, orang Nazaret, Raja orang Yahudi.” Kata-kata itu tertulis dalam bahasa Ibrani, Latin, dan Yunani menyatakan kepada seluruh dunia bahwa Yesus adalah Raja. Raja bukan dengan kuasa yang menindas, melainkan Raja yang menunjukkan jalan menuju kasih dan damai universal. Kata-kata Pilatus adalah profetis, seperti halnya kata-kata Imam Besar Kayafas ketika ia mengatakan bahwa Yesus harus mati untuk keselamatan seluruh bangsa (Yoh. 11:50). 

 

Rangkaian kisah sengsara Yesus adalah benar menggambarkan kekejian dari sebuah peradaban yang menolak cinta kasih demi mempertahankan kemuliaan semu. Namun, pada akhirnya seluruh bangsa mengerti bahwa salib yang dihindari semua orang, tetapi yang dirangkul Yesus ini merupakan lambang kemuliaan. Sebab, melalui salib-Nya kasih Allah dinyatakan; Allah mendamaikan manusia dengan diri-Nya dan dengan sesamanya. Salib itu mulia oleh karena ia melambangkan cinta kasih paling agung, kasih yang dibuktikan bukan dengan kata-kata. 

 

Hari ini, ketika kita mengingat dan diingatkan oleh peristiwa salib, apakah kita bersedia mengikuti teladan Yesus? Tidak mencari kekuasaan dan kenyamanan dengan mengabaikan dan merugikan orang lain. Namun, bersedia keluar dari zona nyaman, tidak mempertahankan kepentingan dan hak sendiri tetapi dengan sukacita menolong dan menjadi alat bagi jawaban doa untuk orang-orang yang sedang dalam kesusahan.

 

 

Jakarta, Jumat Agung tahun B 2021

Jumat, 12 Maret 2021

PENGUASAAN DIRI DI TENGAH PUJIAN DAN PENOLAKKAN

Pujian jika diberikan kepada orang yang tepat, kadar yang pas, alasan yang jelas, dan dalam waktu yang tepat merupakan hal yang baik. Tidak ada yang salah! Bukankah sedari kecil kita diajar untuk menghargai orang lain, berterima kasih jika dibantu dan ketika kita dapat melakukan sesuatu, orang tua kita bertepuk tangan sambil mengatakan, “Anak mami hebat!” Pujian yang positif dapat memicu orang untuk mengulangi bahkan meningkatkan apa yang baik yang dikerjakannya.

 

Namun kita juga tidak menampikkan hal negatif dari sebuah pujian. Pujian dapat dipakai untuk meluluhkan hati orang. Lewat pujian, orang berupaya agar keinginannya bisa tercapai. Inilah pujian yang tidak tulus. Bagi orang yang dipuji, menimbulkan efek ketagihan. Telinganya hanya mau mendengar pujian tentang dirinya. Matanya hanya mau melihat like atau jempol dalam status sosmednya. Ia akan melihat jempol yang teracung ke bawah sebagai ancaman. Ada seribu orang yang memberi like dan satu dislike, hatinya akan terus memikirkan dan mencari tahu, siapa orangnya dan apa alasannya dia memberikan ikon dislike.

 

Berlawanan dengan pujian, penolakan dalam pelbagai penelitian psikologis merupakan salah satu pukulan terberat dalam kehidupan manusia di samping kehilangan. Perasaan dan pengalaman tertolak menimbulkan luka mendalam. Trauma penolakan tidak mudah untuk dipulihkan.

 

Hari ini, Minggu Pra-Paskah VI, tradisi gereja menyebutnya sebagai Minggu Palem sekaligus Minggu Sengsara. Minggu yang menggambarkan paradoks antara pujian dan penolakan. Dua bagian Injil : Markus 11:1-11 dan Markus 15:1-20 mengisahkan itu. Dalam Markus 11:1-11, Yesus disambut, dielu-elukan, segala puja dan puji diberikan kepada-Nya. Kedatangan-Nya di Yerusalem disambut bagaikan pahlawan yang siap melibas musuh umat Allah seperti yang dilakukan dulu oleh Simon saudara Yudas Makabeus. Dulu Simon disambut meriah oleh karena ia berhasil mengalahkan pasukan Seleukus Antiokhus IV Epifanes, penguasa penjajah Yunani yang melarang praktik ibadah umat Israel. Kini, ketika mereka melihat mukjizat-mukzijat dan pengajaran luar biasa yang dilakukan oleh Yesus maka harapan itu timbul kembali. Yesus yang memasuki Yerusalem ini pasti lebih jagoan ketimbang Simon Makabeus itu. Jika Simon disambut sebagai pahlawan, Yesus dipuja-puji sebagai Mesias.

 

Mereka mendeklarasikan Yesus sebagai Mesias yang akan menghadirkan Kerajaan Allah di bumi, maka sikap umat itu menyerukan, “Hosana! diberkatilah Dia yang datang di dalam nama Tuhan, diberkatilah Kerajaan yang datang, Kerajaan bapak kita Daud, hosana di tempat yang maha tinggi!” (Markus 11:9-10). Apa arti kata “hosanna”? Kata itu berarti: “Oh, selamatkanlah kami sekarang!” atau “Sudilah menyelamatkan kami.” Penduduk Yerusalem memohon agar Yesus, Sang Mesias Allah berkenan menyelamatkan mereka sekarang dari penjajahan bangsa Romawi lalu memulihkan kejayaan Israel seperti pada zaman nenek moyang mereka, Daud. Ternyata pujian itu berbanding lurus dengan angan yang mereka harapkan. 

 

Bagaimana tanggapan Yesus terhadap pujian yang dilontarkan oleh penduduk Yerusalem itu? Injil tidak mencatat reaksi Yesus. Tidak ada satu ayat pun yang mencatat bahwa Yesus menyambut pujian itu dengan sikap antusias atau gembira alih-alih sedih karena mereka tidak memahami apa sebenarnya yang sedang la kerjakan. Yesus tidak memanfaatkan pujian itu untuk menguntungkan diri-Nya. Ia tidak takabur atau pongah. Yesus dapat mengendalikan diri-Nya untuk fokus pada tujuan yang diamanatkan Bapa-Nya, meski kesempatan untuk tenar dan tentunya Ia sangat mampu melakukan perlawanan melebihi apa yang dulu pernah dilakukan oleh Simon dan Yudas Makabeus.

 

Yesus tidak antusias dan gembira menyambut pujian mereka oleh karena Ia menyadari bahwa mereka yang melakukan itu belum sepenuhnya mengerti bahwa makna kemesiasan-Nya itu bukanlah sebagai Mesias yang membebaskan mereka dari kungkungan penjajah Romawi, melainkan membebaskan mereka dari penindasan kuasa dosa. Selanjutnya, penduduk Yerusalem menjadi sangat kecewa saat Yesus sama sekali tidak memberikan perlawanan ketika Ia ditangkap. Saat dianiaya, Yesus sama sekali tidak menunjukkan kuasa-Nya yang menakjubkan di hadapan Pontius Pilatus. Yesus diam saja ketika Ia dihina dan dilecehkan. Ditambah hasutan dari petinggi Yahudi, sikap yang awalnya menyanjung-nyanjung Yesus kini berubah menjadi kemarahan dan kebencian. Dari teriakan pujian “hosana” berubah menjadi hujatan “salibkan Dia!”

 

Manusia cepat sekali berubah. Pokok perubahan itu sebenarnya adalah ambisi, keinginan kuat untuk memuaskan nafsu mereka. Penduduk Yerusalem bisa menggambarkan diri kita. Bisa saja hari ini kita memuji dan menyanjung Yesus. Kita melakukan-Nya dengan harapan Yesus melakukan apa yang kita ingini: Ia menggunakan kuasa-Nya untuk membuat keinginan kita tercapai. Ketika tidak, kita juga berteriak, “salibkan Dia!”, tentu saja dalam bentuk yang lain. Kita mempertanyakan kasih, kuasa dan kemesiasan-Nya. Lalu, kita balik kanan meninggalkan-Nya dan mencari solusi alternatif.

 

Dalam penolakkan yang tercermin melalui peradilan rekayasa yang dipimpin Pontius Pilatus, Yesus memilih berdiam diri. Sama seperti ketika Ia menerima sanjungan, Ia diam. Yesus tidak memberi jawab apa pun dari tuduhan yang dilontarkan oleh Pilatus, kecuali pertanyaan, “Engkaukah raja orang Yahudi?” Yesus menjawab, “Engkau sendiri mengatakannya.” Yesus tidak terpancing menjadi emosional atau melakukan pembelaan. Tidak. Sepenuhnya Ia dapat mengendalikan diri menghadapi apa yang memang harus dihadapi.

 

Diamnya Yesus ketika Ia disanjung dan ketika Ia ditolak menunjukkan kematangan spiritualitas yang memahami benar apa yang harus dilakukan-Nya. Ia tidak tergoda untuk memanfaatkan pujian, apalagi menjadi ketagihan pujian. Tidak! Ia juga tidak tenggelam dalam duka nestapa akibat penolakan dan perlakuan keji yang diprakarsai oleh para pembesar Yahudi. Kedua paradoks, yakni pujian dan penolakan berpotensi menjatuhkan-Nya. Namun paradoks itu dapat diatasi dengan resep yang sama, yakni: penguasaan diri.

 

Dalam kehidupan kita paradoks itu tidak dapat dihindari. Kadang kita mendapat penghargaan atau pujian. Pada saat seperti ini kita mudah lengah. Kita menjadi orang yang merasa hebat, akibatnya kita menjadi orang yang tinggi hati, pongah dan takabur. Di sinilah situasi rawan yang membuat kita mudah jatuh. Kita lupa bahwa di atas langit ada langit lagi. Pengendalian diri akan menolong kita untuk tahu diri dan tetap merendah. Merendah tidak sama dengan rendah diri. Merendah hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang punya kebesaran jiwa dan tahu diri.

 

Pada kutub yang lain paradoks itu adalah penolakan. Ketika kita ditolak bukan berarti akhir dari segalanya. Bisa saja orang yang kita percayai suatu saat berkhianat, penguasaan diri akan menolong kita untuk tidak melakukan kecerobohan: emosi membakar diri kita dan akhirnya bertindak di luar kendali. Ada kalanya berdiam diri merupakan sikap terbaik. Memberi kesempatan Tuhan menunjukkan kasih dan pemeliharaan-Nya. Biarlah di tengah-tengah paradoks kehidupan ini, Tuhan memberi pertolongan agar kita bisa mengendalikan diri dan melihat indah rencana-Nya.

 

Jakarta, Minggu Palem - Minggu Sengsara 2021

DITARIK OLEH ANUGERAH-NYA

Ketika melayani di Jepang, Corrie ten Boom tiba di gereja pada ibadah malam dengan perasaan mengasihani diri sendiri. Ia sangat lelah dan perutnya tidak biasa diisi dengan makanan asing. Betapa ia merindukan kembali makanan Eropa yang lezat di tanah airnya, Belanda. Ia membayangkan sebuah meja di mana ia tidak perlu duduk bersila di lantai, dan tempat tidur yang lembut ketimbang tikar keras yang dipakai orang Jepang untuk tidur.

 

Pada kebaktian malam itu ia melihat seorang pria yang sedikit bungkuk di kursi roda. Wajahnya memancarkan ekspresi paling bahagia yang bisa ia bayangkan. Setelah ibadah, penerjemahnya memperkenalkan orang itu kepadanya. Ketika Corrie bertanya tentang beberapa paket kecil yang dibungkus kertas cokelat dan diikat dengan tali di pangkuannya, ia tersenyum lebar. Dengan hati-hati ia membuka salah satu bungkusan paket itu untuk menunjukkan isinya. Dengan antusias ia menjelaskan: “Ini adalah Injil Yohanes, ditulis dalam huruf Braille. Saya baru saja menyelesaikannya!” Selanjutnya ia menjelaskan bahwa ini kelimabelas kalinya ia telah menulis Injil Yohanes dalam huruf Braille. Ia juga menulis kita lain dari Injil serta beberapa bagian Alkitab yang lebih pendek untuk orang buta.

 

“Bagaimana kamu sampai melakukan hal ini?” tanya Corry

 

Pria itu melanjutkan dengan menceritakan tentang “Wanita Alkitab” (untuk menyebut seorang wanita yang selalu membagikan salinan Alkitab dan buku-buku Kristen) di Jepang yang melakukan perjalanan dari desa ke desa, membawa salinan Alkitab, buku-buku Kristen, dan pamflet untuk mereka yang haus akan Firman Tuhan. “Wanita Alkitab kami sakit berat akibat tuberculosis,” jelasnya, “ namun demikian ia tetap bepergian setiap minggu sampai ke enam belas desa, meskipun ia akan segera meninggal. Ketika mendengar kabar itu, saya bertanya kepada Tuhan, apa yang bisa saya lakukan untuk membantunya meskipun kaki saya lumpuh, dan saya tidak bisa keluar dari kursi roda ini, dalam banyak hal saya lebih sehat daripada dirinya. Tuhan menunjukkan kepada saya bahwa melalui tangan yang gemetar dan kaki saya yang lumpuh, saya bisa menjadi tangannya, dan ia menjadi kaki saya. Saya menulis halaman-halaman Braille dan ia mengambil Alkitab berkeliling ke desa-desa serta memberikan itu semua kepada orang-orang buta, yang ketinggalan begitu banyak karena mereka tidak dapat melihat.”

 

Malam itu Corrie meninggalkan gereja dengan hati penuh malu. “Inilah aku”, ia kemudian membeberkan, “dengan kedua kaki yang sehat untuk bepergian ke seluruh dunia, dua paru-paru yang sehat, dan dua mata yang bagus, mengeluh karena tidak suka makanannya!” Selanjutnya ia bergumam, “Orang-orang yang berharga ini telah menemukan obat mujarab untuk sikap mengasihani diri sendiri - pelayanan kepada orang lain … Obat penyembuh terbaik yang saya tahu untuk sikap mengasihani diri sendiri adalah membantu orang lain yang kondisinya lebih buruk dari Anda.” (Ten Boom, Jesus Is Victor, hlm.438,9).

 

Benar, kebanyakan orang sadar atau tidak terjebak untuk mengasihani diri sendiri. Akibatnya, kita memperjuangkan kenyamanan sendiri. Kita ditarik oleh nafsu dan ambisi yang berpangkal pada ego. Tepatlah seperti yang diperingatkan oleh rasul Yakobus, “Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya.” (Yak.1:14) Tarikan-tarikan yang kuat itu adalah keinginan atau nafsu. Inilah yang bisa diartikan dalam perkataan Yesus sebagai orang yang “mencintai nyawanya”. Orang-orang yang mempertahankan diri dan kepentingannya sendiri di dunia ini dengan tangan tertutup. Hal ini berbeda dengan orang yang “tidak mencintai” (harfiah: membenci nyawanya), hal ini bukan berarti kurang menerima diri, tetapi merelakan diri tanpa takut kehilangan hidupnya yang fana demi kebenaran, sama seperti yang dilakukan oleh Yesus sendiri. Bukan ambisi menjadi mulia yang Ia perjuangkan, melainkan menyalurkan kasih Bapa kepada semua orang, meskipun Ia harus menderita, sengsara dan mati!

 

Yesus melihat dari sisi lain tentang penderitaan dan kematiaan itu. Injil Yohanes bahkan dengan tegas mencatat bahwa jalan itu - via dolorosa - merupakan jalan Yesus ditinggikan. Yesus menyatakan kematian-Nya sebagai kematian butir gandum yang memang harus jatuh dan mati untuk menghasilkan buah lebih banyak. Dalam pemikiran Yahudi bahkan dunia moderen, kematian adalah tanda kehancuran dan bukan tanda kemuliaan. Akan tetapi, Yesus mengatakan bahwa butir gandum tidak akan menjadi banyak kalau ia tidak lebih dahulu mati. Kematian Yesus merupakan syarat tak terhindarkan bagi pemuliaan-Nya sebagai Anak Manusia. Tanpa kematian itu, Yesus tidak akan memasuki kemuliaan-Nya. Dampak kematian itu jugalah yang merupakan benih yang menghasilkan buah keselamatan dan anugerah Allah yang melimpah. 

 

Pertanyaannya kemudian, “Bukankah kemuliaan Yesus sudah tampak nyata dalam apa yang dikerjakan-Nya? Apa yang dikisahkan dalam Injil sampai saat ini telah menyatakan kemuliaan Yesus itu. Kemuliaan Yesus telah tampak dalam seluruh karya-Nya sebagai Sang Firman yang telah menjadi manusia. Mengapa dikatakan bahwa saat kemuliaan itu baru tiba dalam kematiaan-Nya itu? Jawabnya adalah, “Karena kemuliaan yang tampak dalam sabda dan karya Yesus tidak bisa menandingi kemuliaan yang nyata di dalam kematian dan kebangkitan-Nya. Segala kemuliaan yang telah diperoleh Yesus merupakan sebuah persiapan kepada kemuliaan yang jauh lebih besar yang diterima oleh Yesus. Yesus mempunyai kuasa untuk membangkitkan Lazarus. Pekerjaan itu memberikan kemuliaan bagi Yesus. Namun demikian, kemuliaan Yesus tampil secara penuh ketika Ia sendiri bangkit dari kematian-Nya. Lagi pula Kata Yesus, “Dan Aku, apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku.” (Yohanes 12:32). Peristiwa pemuliaan Yesus di kayu salib akan menarik semua orang datang kepada-Nya. Hukuman salib yang terkutuk itu justru menjadi penyingkapan cinta kasih Allah yang sangat agung.

 

Keagungan cinta kasih melalui jalan salib ini mestinya menjadi daya Tarik adi kuat untuk kita beralih dari keinginan “mencintai nyawa”, yakni memperjuangkan kepentingan sendiri kepada sikap antusias menerima anugerah-Nya itu. Maka setiap orang - mudah-mudah kita termasuk di dalamnya - yang telah melihat, tertarik, merasakan dan mengalami, anugerah cinta kasih-Nya akan menampakkan sikap hidup yang berbeda. Ya, berbeda dari yang tadinya memenuhi ambisi nafsu sendiri menjadi orang yang punya keberanian untuk “melepaskan nyawanya”, menanggalakan kepentingan sendiri, memikul salib dan menyangkal diri. 

 

Orang-orang seperti pria bungkuk di kursi roda yang masih melihat kebaikan Tuhan dan antusias menggunakan sisa hidupnya untuk melayani Tuhan, Wanita Alkitab, yang dengan sakit tuberculosisnya masih berjalan berkeliling dari desa ke desa untuk membagikan firman Tuhan adalah sedikit contoh dari orang-orang yang tidak lagi mencintai nyawanya sendiri. Mereka tidak mengasihani diri sendiri, tetapi jauh melihat kepada karya dan anugerah Allah di dalam Yesus Kristus. Mereka dapat melihat dari orang-orang yang mereka layani sebagai sarana untuk menebarkan benih gandum. Marilah kita sejenak berada dalam posisi Corrie ten Boom yang semula mengasihani diri sendiri, lalu menyaksikan karya Tuhan lewat kepapaan Pria lumpuh dan Wanita Alkitab, “Inilah aku, dengan kedua kaki yang sehat untuk bepergian ke seluruh dunia, dua paru-paru yang sehat, dan dua mata yang bagus, mengeluh karena tidak suka makanannya!” Selanjutnya ia bergumam, “Orang-orang yang berharga ini telah menemukan obat mujarab untuk sikap mengasihani diri sendiri - pelayanan kepada orang lain … Obat penyembuh terbaik yang saya tahu untuk sikap mengasihani diri sendiri adalah membantu orang lain yang kondisinya lebih buruk dari Anda.”  

 

 

Jakarta, Minggu Prapaskah V 2021.

Jumat, 05 Maret 2021

DIPULIHKAN DARI PAGUTAN DOSA

Ada kata menarik dalam bacaan pertama hari ini. Bilangan 21:4 “Setelah mereka berangkat dari gunung Hor, berjalan ke arah Laut Teberau untuk mengelilingi tanah Edom, maka bangsa itu tidak dapat lagi menahan hati di tengah jalan.” Bangsa itu tidak dapat lagi “menahan hati”. Apa yang dimaksudkan dengan “menahan hati?” Menahan hati itu berarti mengekang diri sendiri, bersabar diri untuk tidak berbuat sesuatu. Alih-alih umat Tuhan itu menahan hati, mereka emosional. Mereka marah melawan Allah dan Musa: “Mengapa kamu memimpin kami keluar dari Mesir? Supaya kami mati di padang gurun ini? Sebab di sini tidak ada roti dan tidak ada air, dan akan makanan hambar ini kami telah muak.”

 

Amarah, yang dalam bahasa Inggris disebut anger, sangat dekat dengan kata denger (berbahaya). “Orang marah itu, adalah orang yang membuka mulutnya dan menutup matanya,” kata Marcus Porcius Cato, negarawan Romawi. Dengan kata lain, amarah adalah situasi emosional yang tidak rasional. Fakta dan segenap realita akan terkalahkan oleh emosi marah. Marah berpotensi mengalahkan objektivitas dan empati.

 

Karena marah, orang Israel itu bersungut-sungut. Mereka lupa bahwa baru saja mereka memperoleh air yang melimpah (Bilangan 20:10-11). Karena marah mereka tidak ingat bahwa faktanya Allah memberi mereka manna sebagai makanan yang memelihara kelangsungan hidup mereka. Mereka begitu saja menampikkan 32 tahun Tuhan menyediakan burung puyuh sebagai asupan daging mereka. Mereka tidak ingat faktanya bahwa sejauh ini Allah menyediakan kebutuhan umat Israel itu lengkap!

 

Mengapa merek bersungut-sungut? Mengapa mereka marah? Mereka marah dan bersungut-sungut oleh karena keserakahan dan mengejar kenikmatan nafsu. Itulah sekaligus dosa mereka. Kalau kita renungkan baik-baik, bukankah kita juga mirip-mirip umat Israel ini? Mana kala keserakahan diagungkan dan kenikmatan dipuja, kita mudah sekali ngomel, bersungut-sungut, marah. Akibatnya, benar seperti yang dikatakan Marcus Porcius Cato: kita menjadi orang yang membuka mulut dan menutup mata! Ya, kita hanya mau didengar. Kita menutup mata untuk segala kebaikan Tuhan. Kita tidak lagi melihat bahwa Allah itu Bapa yang Agung yang memelihara dengan sangat baik anak-anak-Nya. 

 

Kita menjadi orang yang tidak tahu berterima kasih, tidak dapat memandang kebaikan Tuhan: yang gampang menyalahkan orang atau pihak lain dan sangat mudah menyalahkan Tuhan. Israel di padang gurun itu dengan tepat menggambarkan diri kita. Dalam peristiwa padang gurun itu, Allah murka dan menghukum Israel dengan pagutan ular-ular tedung. Ular yang sangat berbahaya karena racunnya yang mematikan. Ya, bukankan sama seperti bisa pada racun ular tedung. Dosa itu mematikan. Disebut mematikan karena akan membawa manusia kepada kematian kekal: maut! Akibat dosa, tidak dapat dielakkan lagi, kematian kekal! 

 

Untunglah umat Israel itu segera menyadari kecerobohannya. Mereka datang kepada Musa untuk memohon ampun. Ya, tentu saja Allah mau mengampuni mereka. Sangat menarik pengampunan Allah itu dinyatakan dengan cara memerintahkan kepada Musa untuk membuat Ular Tembaga yang diletakkan pada sebuah tiang. Mereka yang telah dipagut ular dan membutuhkan penyembuhan, maka diperintahkan untuk memandang ke arah Ular Tembaga supaya sembuh.

Bagaimana mungkin Allah memerintahkan hal aneh ini? Membuat. ular dari tembaga, digantungkan di atas tiang dan umat yang terpagut harus menatapnya agar tidak mati. Bukankah ini seperti mengajak umat menyembah berhala untuk mendapatkan kesembuhan? Padahal Allah dalam Taurat-Nya melarang keras untuk umat-Nya tidak membuat patung dan menyembahnya.

 

Jelas, bukan ular tembaga itu yang harus disembah! Dalam kitab Bilangan 21:4-9 tidak ada perintah bagi umat Israel yang digigit ular tedung untuk menyembah Ular Tembaga yang dipasang di atas tiang. Perintah Allah kepada orang-orang yang dipagut ular tedung adalah jika mereka memandang (melihat) ke arah Ular Tembaga tersebut, maka mereka akan sembuh. Umat Israel diperintahkan Allah untuk memandang (waraah), artinya menundukkan diri, menyembah, mempermuliakan - tentu yang dimaksud di sini bukan kepada Ular Tembaga buatan Musa itu - melainkan kepada yang memerintahkannya, yakni Allah sendiri. Jadi, dengan mereka memandang Ular Tembaga itu, pada hakikatnya mereka memandang Allah. Memandang Allah berarti mengindahkan-Nya, memuliakan-Nya, tunduk dan menyembah-Nya! Dengan mengindahkan perintah Allah itu, mereka akan membebaskan mereka dari hidup yang berorientasi pada diri sendiri, hidup yang mementingkan keinginan dan kenikmatan serta keserakahan diri diubah menjadi hidup yang yang taat dan memuliakan Allah.

 

Kita, sama seperti Nikodemus ada dalam perjalanan “padang gurun” menuju “negeri perjanjian”. Kita semua, tanpa kecuali telah dipagut oleh dosa. Pagutan dosa itu jelas berujung pada maut. Tepat seperti yang dikatakan Paulus, “Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu. Kamu hidup di dalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu menaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka.” (Efesus 2:1-2) Lalu, bagaimana melepaskan sengat pagutan dosa itu?

 

Dalam paruh kedua dialog dengan Nikodemus (Yohanes 3:14-21), Yesus secara metafor menggambarkan diri-Nya seperti Ular Tembaga yang digantung di atas tiang. Jika demikian, Kristus yang adalah Sang Firman yang menjadi Manusia. Ia berasal dari sorga. Sebagai Firman yang benar dan kudus, Kristus adalah Sang pemulihdosa-dosa manusia. Kebutuhan manusia untuk pulih dari sengat dosa seperti orang-orang Israel yang dipagut ular tedung. Mereka hanya akan pulih ketika menuruti apa yang diperintahkan Allah melalui Musa. Umat Israel membutuhkan Ular Tembaga di atas tiang. Seperti halnya itu, umat manusia: Anda dan saya membutuhkan kurban Kristus di atas kayu salib.

 

Sama seperti umat Israel memandang Ular Tembaga: memandang untuk menanggalkan nafsu kedagingan dan menundukkan diri kepada kehendak-Nya, sambil meninggikan kemuliaan-Nya. Demikian juga kita yang rindu dipulihkan oleh bilur-bilur-Nya harus memandang salib secara demikian. Kita memandang salib dengan sikap percaya akan pengorbanan Kristus sehingga kita dapat melihat bahwa kematian Kristus itu menyingkapkan dosa-dosa yang tersembunyi dengan rapi yang ditutupi oleh kesalehan-kesalehan palsu. Dengan memandang salib Kristus kita bersedia untuk diubahkan dari hari ke hari menjadi manusia ciptaan baru.

 

Jakarta, Minggu Prapaskah IV 2021