Konon tokoh besar India, Mahatma Gandhi sangat dipengaruhi oleh hidup dan pesan Yesus, meskipun ia tidak menyatakan diri sebagai orang Kristen. Adalah tema-tema Khotbah di Bukit dan pembasuhan kaki yang begitu kuat merasuk jiwanya sehingga muncul dalam karakter, tingkah laku dan gerakan yang dipimpinnya. Salah satu contoh pengaruh itu ketika ia mempunyai kekuasaan besar sebagai pemimpin negerinya, ia memilih mengambil tempat yang teramat sederhana: tinggal bukan di istana tetapi di ashram. Tugasnya setiap hari adalah membersihkan toilet, tanda yang amat jelas bahwa ia ingin melayani orang lain.
Tak dapat disangkal, melayani adalah manifestasi cinta yang paling otentik dan kasat mata. Sulit dibayangkan jika kita mengatakan bahwa, “aku mencintaimu, aku mengasihimu”, lalu tidak pernah muncul dalam tindakan, yakni melayani dan memberikan apa yang dibutuhkan kepada orang yang kita nyatakan cinta kasih kita itu.
Sudah teramat umum kata melayani itu ada dalam komunitas Kristen. Kelompok yang menyatakan diri anak-anak Tuhan. Namun, benarkah komunitas Kristiani ini diwarnai atau dijiwai oleh kasih? Ataukah tema kasih hanya seperti flatform atau semboyan sebuah partai politik untuk mencari simpatik kalayak yang pada kenyataannya jauh panggang dari pada api. Boleh dan lumrah dilanggar untuk kepentingan sesaat. Toh nanti ada segudang teori dan dalil untuk membenarkan tindakannya yang sama sekali jauh dari semboyan itu.
Jelas, Yesus tidak ingin para pengikut-Nya hanya pandai membuat semboyan indah namun gagal dibuktikan dalam kenyataan yang sesungguhnya. Ia sangat ingin dan serius agar apa yang diajarkan, dilakukan dan diteladankan itu benar-benar dipahami, dijiwai dan dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh pengikut-Nya. Maka dalam perjamuan malam terakhir itu, “… Ia menanggalkan jubah-Nya, mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya, lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pingang-Nya.” (Yoh.13:4,5).
Dalam budaya Yahudi, membasuh kaki orang lain adalah pekerjaan budak: yang lebih rendah membasuh kaki orang yang lebih tinggi kedudukannya. Murid membasuh kaki gurunya, rakyat jelata membasuh kaki rajanya. Tidak akan pernah terjadi sebaliknya: raja berlutut di depan kaki rakyatnya. Yesus jelas mempunyai kekuatan, kedudukan dan kuasa. Bukankah Dia itu Mesias, Anak Allah Yang Mahatinggi?
Yesus sama sekali tidak membangun relasi dalam komunitas-Nya berdasarkan hierarki kuasa otoriter. Namun, Ia ingin membangunnya dalam relasi cinta kasih di mana melayani adalah tanda paling utamanya. Yesus ingin membangun komunitas yang berbeda. Semua kelompok, semua komunitas, semua masyarakat dibangun dengan model piramida: Yang berada di puncak adalah yang berkuasa, yang kaya, yang pandai. Mereka adalah orang yang menguasai dan memimpin, mereka adalah yang dilayani! Sedangkan yang berada di bagian paling bawah adalah si jelata, miskin, papa dan hina. Mereka dipinggirkan dan tidak diperhitungkan.
Pembasuhan kaki adalah pernyataan simbolik tetapi juga keberpihakan tegas. Dia menempatkan diri pada tempat yang paling rendah, tempat paling akhir, tempat para budak. Bagi Petrus, murid-murid Yesus dan kita, ini tidak mungkin! Menjadi tidak mungkin oleh karena, kita pun enggan melakukan hal itu ketika kita harus melayani orang yang statusnya lebih rendah! Petrus, murid-murid-Nya dan kita tidak sadar bahwa Yesus datang untuk mengubah model komunitas, dari model piramid menjadi model tubuh. Menurut model tubuh, setiap dan semua orang mempunyai tempat, entah mereka itu “normal” atau difabel; entah mereka kaya atau miskin, berpendidikan atau tidak, tua atau muda, laki maupun perempuan, sebagai tubuh masing-masing saling terkait, saling tergantung dan membutuhkan. Masing-masing dipanggil untuk mengemban tugas perutusan. Tidak ada yang disebut “tempat terakhir”!
Dengan menyatakan diri sebagai yang paling kecil dalam komunitas, sebagai orang yang melakukan tugas kotor, tugas budak; membasuh kaki dan berada di posisi yang terakhir, Yesus mengajak para murid-Nya untuk menanggalkan keegoisan dan memberi perhatian kepada yang paling kecil dalam masyarakat.
Kita bisa membayangkan betapa dengan lembut Yesus menyentuh kaki para murid, mata-Nya memandang mereka satu per satu, memanggil masing-masing dengan namanya dan mengatakan sesuatu yang khusus kepada mereka. Kalau dalam perjamuan, Ia berbicara kepada mereka semua; Ia tidak berkontak secara pribadi dengan mereka masing-masing. Namun, ketika dengan rendah hati Ia berlutut di hadapan mereka masing-masing dan membasuh kaki mereka, kontak pribadi itu terjadi!
Ia menyatakan kasih-Nya kepada pribadi demi pribadi. Setiap pribadi murid itu punya sentuhan khusus dan waktu yang khusus pula. Yesus menyatakan kasih-Nya kepada setiap pribadi murid-murid itu tetapi juga sekaligus menguatkan dan menantang. Ia melihat dalam diri mereka masing-masing kehadiran Bapa-Nya, yang Ia kasihi dan layani. Tentu saja apa yang dilakukan-Nya itu untuk menyatakan bahwa para murid itu dan kita adalah penting. Kita adalah pribadi yang berharga dan layak dicintai-Nya.
Kasih Yesus menyatakan bahwa kita ini penting, bahwa kita merupakan kehadiran Allah, dipanggil untuk melakukan pekerjaan Allah; untuk mencintai orang lain seperti Allah di dalam Yesus mencintai mereka, untuk melayani orang lain dan membasuh kaki mereka. Dengan membasuh kaki para murid, Yesus tidak kehilangan kuasa-Nya. Ia mengatakan bahwa Dia adalah “Tuhan dan Guru”. Namun, Ia ingin menyatakan kuasa-Nya dengan cara baru, yakni dengan sikap rendah hati, pelayanan yang sesungguhnya, dan dengan cinta kasih yang tulus. Dengan cara yang menyiratkan kedekatan, persahabatan, keterbukaan dan kasih sayang. Jelas cara seperti ini tidak membuat seseorang kehilangan martabat. Melayani tidak akan membuat Anda dan saya turun derajat!
Ketika Yesus meminta para murid dan tentunya juga meminta kita untuk saling membasuh kaki Ia mengajak kita untuk saling mencintai, saling melayani dan saling mengampuni. Ini tidak berarti bahwa kita saat ini harus benar-benar mengambil baskom berisi air dan membasuh kaki semua orang. Percuma kalau hanya berhenti pada simbolik tetapi kenyataannya makna sesungguhnya malah kita abaikan.
Budaya yang selalu ingin di depan, dihormati, menguasai, pelan-pelan masuk dalam kehidupan gereja. Mereka yang mempunyai kuasa, menjadi “orang penting” dan diagungkan. Melihat pemuliaan itu, tentu orang berlomba berebut posisi itu. Di sinilah kita bertanya, “apakah teladan Yesus membasuh para murid hanya berhenti pada ranah simbolik, agar orang yang melihat adegan itu berdecak kagum?”
Jakarta, Kamis Putih 2021