Setiap manusia yang terbiasa menggunakan akal budi, mempunyai apa yang disebut paradigma. Paradigma dalam disiplin intelektual adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang kemudian akan berpengaruh dalam berpikir (kognitif), bersikap (apektif), dan bertingkah laku (konatif). Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang diterapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama. Steven Covey, dalam bukunya “Seven Habits of Highly Effective People”, mendefinisikan paradigma sebagai cara kita memandang sesuatu - mirip dengan world view - pandangan kita, kerangka acuan kita atau keyakinan kita. Paradigma adalah seperti kacamata. Steven Covey merangkum bahwa ada tiga paradigma, yakni : paradigma tentang diri sendiri, paradigma tentang orang lain dan paradigma tentang kehidupan.
Paradigma tentu saja terbentuk tidak sekejap, tidak satu dua tahun, ia tumbuh seiring manusia itu dapat menggunakan akal budinya. Lingkungan, pola asuh, dan pembelajaran sangat berpengaruh pada paradigma seseorang. Paradigma dapat menolong seseorang dalam menanggapi atau merespon diri sendiri, orang lain, lingkungan dan kehidupan serta semua ilmu pengetahuan. Namun, paradigma juga dapat menghambat seseorang untuk dapat mengenal dengan utuh tentang segala sesuatu yang bersentuhan dengan dirinya.
Para murid punya paradigma tentang Guru mereka. Sang Guru adalah mesias ideal versi mereka. Mesias yang akan memulihkan takhta kejayaan Daud, mesias yang tidak akan tersentuh oleh pahit getirnya derita. Baru seminggu yang lalu Yesus menghardik Petrus - layaknya seperti mengusir Setan yang mencobai Dia - lantaran Petrus menolak pernyataan bahwa Yesus harus menderita, lalu ia menghalangi-Nya melalui jalan penderitaan itu. “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipirkan manusia.” hardik Yesus (Markus 8:33).
Kini, pantaslah Suara Langit menyatakan peringatan kembali kepada Petrus, Yakobus dan Yohanes, “Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia!” (Markus 9:7). “Anak yang Kukasihi”, bagi para murid, sebutan ini bukanlah hal baru. Mereka sudah dengar itu di sungai Yordan ketika Yesus dibaptis Yohanes. Namun, kali ini ada unsur yang baru, yakni : “dengarkanlah Dia!” Tentu saja perintah ini bukan ditujukan kepada Musa dan Elia yang pada saat itu tampil bersama Yesus dalam kemuliaan-Nya. “Dengarkanlah Dia!” Adalah perintah yang ditujukan pada tiga murid yang hadir di gunung itu.
Paradigma tentang mesias ideal, itulah yang membuat para murid ini lupa apa yang belum lama dikatakan bahkan dengan hardikan oleh Guru mereka. Sekarang Suara Langit, Allah sendiri yang memperingatkan ketiga murid itu. Seharusnya mereka menyadari siapa Yesus yang sesungguhnya, sehingga mereka paham, rendah hati dan taat seperti figur Sang Guru itu.
Yesus membawa mereka bukan karena Ia membutuhkan mereka, tetapi karena mereka memerlukan teguran para nabi dan dari surga. “Ia membawa mereka, dan bersama-sama mereka Dia naik ke gunung yang tinggi.”Seandainya hanya tertulis, “Ia membawa mereka”, kita dapat menduga bahwa Yesus menyertakan mereka sebagai “teman seperjalanan”. Tetapi Markus menambahkan kata kerja “anaferein”, yang biasanya dipakai dalam hubungannya dengan benda mati. Kalau dipakai dalam hubungannya dengan manusia, kata itu berarti :”dibawa oleh orang lain ke suatu tempat”. Maka kalau kita perhatikan kata ini punya arti yang sangat khusus. Kisah ini tidak hanya spesifik mengenai Yesus yang berubah rupa dalam kemuliaan, melainkan juga kisah tentang tiga murid ini yang perlu dibawa ke tempat tertentu dan dibuat menghadap ke situ.
Inilah momen di mana Anak Allah membawa yang paling terkemuka dari murid-murid-Nya yang suka membangkang, merasa sok dekat dan tahu supaya Bapa mengarahkan mereka kepada jalan yang semestinya. Sama seperti Abraham membimbing anaknya, Ishak ke puncak gunung yang sunyi, begitu juga Yesus membawa ketiga murid-Nya ini ke sebuah gunung.
Tentu saja ketiga murid itu takjub dengan pemandangan tak biasa yang mereka lihat. Kemulian dasyat terjadi, tokoh besar yang sangat dihormati oleh siapa pun yang mengaku diri Yahudi: Musa dan Elia seolah mengkonfirmasi dan meneguhkan bahwa benar Yesus adalah Anak Allah yang dikasihi-Nya. Ketakjuban ini yang mendorong Petrus untuk membuatkan tenda bagi Yesus, Musa dan Elia. Seakan-akan kemuliaan surga itu memerlukan tempat berlindung dari hawa dingin. Kalau dilihat dari sudut kejiwaan, saran Petrus itu dapat diartikan sebagai upaya menyesuaikan diri dengan kemuliaan yang dasyat menakjubkan sekaligus menakutkan itu dengan jalan memperkecilnya dan membatasinya menjadi berukuran duniawi! Bukankah ini juga sifat manusiawi yang selalu harus dapat mengendalikan dan menguasai?
Sayangnya, upaya Petrus tidak mendapat tanggapan dan peristiwa dasyat itu segera berlalu. Sekonyong-konyong tiga murid itu hanya menyaksikan Yesus seorang diri saja. Kini mereka harus mulai melakukan apa yang diperintahkan Suara Langit itu: Dengarkanlah Dia! Pokok peristiwa di atas gunung itu bukan Elia dan Musa, bukan juga kemuliaan surgawi. Ketiga murid itu kini harus berjalan bersama Yesus dan mendengarkan Dia dan menerima firman-Nya, agar bertambah besar keyakinan bahwa Dia adalah Anak Allah yang dikasihi, Sang Kristus!
Ketika turun gunung, Yesus melarang mereka menceritakan kepada siapa pun tentang peristiwa di atas gunung yang mereka saksikan itu, sampai Anak Manusia bangkit dari antara orang mati. Setelah para murid belajar menerima, bahkan mencintai, penderitaan Yesus, barulah mereka dapat berbicara tentang kemuliaan-Nya dengan cara yang tepat. Larangan itu juga konsisten dengan Suara Langit: “Dengarkanlah Dia!” Tidak mungkin orang dapat mendengar dengan baik kalau ia terus berbicara.
Ada hubungan erat antara berbicara dan pengajaran penderitaan. Hubungan ini terkandung dalam perkataan Yesus sendiri. Dengan menyebut kebangkitan-Nya dari antara orang mati, Dia mengingatkan para murid-Nya pada seluruh pemberitaan tentang penderitaan-Nya - yaitu bahwa Ia akan diserahkan kepada penguasa, menderita, mati, dan bangkit kembali. Larangan Yesus itu dapat dimengerti begini, “Jangan berbicara tentang hal itu: penderitaan akan terjadi lebih dahulu.” Tidak dengan sembarangan Anak Allah telah menjadi Anak Adam untuk mati menebus dosa manusia, yang bahkan tidak dapat dilakukan oleh Musa dan Elia. Tugas Yesus sebagai Anak Adam harus ditunaikan lebih dahulu, baru kemudian datang kemuliaan-Nya selaku Anak Allah. Urutan ini menentukan juga kapan saatnya para murid berbicara.
Kini kita memahami transfigurasi bukan semata menunjukkan panggung kemuliaan buat Yesus, melainkan juga para murid diajar, ditegur, dan diingatkan bahwa kemuliaan itu pasti akan terjadi ketika mereka mendengarkan Anak yang dikasihi itu. Mendengarkan sekaligus belajar memosisikan diri di belakang Yesus: mengikuti jejak-Nya. Taat dan setia meski harus melalui jalan penderitaan.
Di sinilah kita dapat melihat titik temu antara kemuliaan dan penderitaan. Benar, penderitaan tidak usah dicari-cari, namun ketika kita berjalan dalam ketaatan dan penderitaan itu adalah jalannya, maka berjalanlah terus, jangan bimbang karena di penghujungnya nanti kemuliaan itu akan datang dengan sendirinya.
Apa yang menghambat kita saat ini untuk berjalan dalam ketaatan? Sama seperti para murid, paradigma kita: “Ibadah, pelayanan dan pengakuan Yesus sebagai Mesias akan membuat seseorang jauh dari penderitaan. Berkat, kelimpahan, kesehatan, kemakmuran itulah buah dari pengikut Yesus.” Benar, selalu ada Tuhan sangat berkuasa untuk memberkati umat-Nya dengan cara seperti itu. Namun, bagaimanakah kalau situasinya terbalik, apakah kita tetap mau mendengarkan-Nya, mengikuti-Nya terus?
Jakarta, Minggu Transfigurasi 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar