Pada musim semi 1853, Hudson Taylor menjadi asisten ahli bedah Dr. Thomas Brown di London. Salah satu pasien Taylor yang dirawat selama masa itu adalah seorang ateis yang sedang sekarat karena sakit ganggren. Tugas sehari-hari Hudson adalah mengobati luka kaki yang terinfeksi itu.
Pria itu, menentang keras segala bentuk pemberitaan yang berbau agama, termasuk berita Injil. Ia tidak lagi pernah mau mengikuti kebaktian di gereja sejak hari pernikahannya, empat puluh tahun silam. Ketika seorang anggota gereja datang untuk melawat dan membacakan Alkitab kepadanya, ia menjadi murka dan menghardik orang yang bermaksud baik itu untuk keluar dari kamarnya. Ketika pendeta setempat berbicara kepadanya, orang itu meludahi wajahnya dan tidak membiarkannya berbicara.
Taylor merasa sangat prihatin dengan kondisi pria yang dirawatnya itu. Dalam keprihatinannya, ia mencoba membangun komunikasi. Melalui perawatan yang dilakukan sepenuh hati, penderitaan pria ini agak mereda. Pria itu mulai bisa menghargai apa yang dikerjakan oleh mahasiswa kedokteran itu.
Taylor merasa bahwa apa yang dilakukannya sudah cukup memadai untuk menceritakan Kabar Baik, Injil Yesus Kristus pada orang tersebut. Setelah ia mengumpulkan keberaniannya, ia mulai berbicara dengan sang pasien itu. Dampaknya? Pria itu terlihat sangat marah. Ia membalikkan punggungnya dan menolak berbicara. Taylor tentu kecewa. Hatinya mulai tenggelam, sepertinya usahanya sia-sia tidak mencapai hasil yang baik dan mungkin menimbulkan dampak sebaliknya dari orang yang makin keras hatinya itu.
Suatu hari, Taylor tidak bisa menahan diri lagi. Ketika ia siap meninggalkan ruangan pasien itu, ia berhenti di ambang pintu, lalu tiba-tiba ia menangis. Kembali melangkah ke samping tempat tidur pria itu, lalu ia mengatakan, “Sahabatku, apakah kau akan mendengar atau menahan diri. Betapa aku berharap kau mengizinkan aku berdoa bersamamu.” Orang itu benar-benar terkejut dan tergagap, “Ba, baiklah, jika itu akan membuatmu lega, lakukanlah!” Segera Taylor jatuh berlutut dan mencurahkan jiwanya kepada Tuhan atas nama orang yang sakit itu.
Kisah ini bukan hendak mengatakan bahwa orang Kristen dan Pendeta yang melawat pria yang sakit dan keras hatinya ini tidak efektif. Bukan itu. Kisah ini mencatat bahwa pemberitaan Kabar Baik, Injil itu tidak mudah. Siapa pun yang terpanggil untuk memberitakan Kabar Baik, di tengah kondisi yang buruk akan selalu berhadapan dengan tantangan. Dan, tentu saja Kabar Baik yang diberitakan itu bukan sekedar isapan jempol atau membawa orang terbuai dengan janji-janji sorga, sementara realita yang dihadapi adalah kondisi sekarat!
Yesus ketika memberitakan Kabar Baik: Injil Kerajaan Allah, langsung berhadapan dengan tantangan. Baik yang tergambar melalui ahli-ahli Taurat, maupun kuasa jahat yang dengan terang-terangan memblokir Kabar Baik itu sampai pada sasarannya.
Sesudah pengajaran-Nya di sinagoge yang menggemparkan itu, Ia segera pergi ke rumah Simon dan Andreas. Ternyata, di rumah itu Yesus mendapati ibu mertua Simon sedang sakit deman. Sepertinya penyakit ini datang sangat mendadak. Sebab, Simon dan Yesus serta murid yang lain sebelumnya menginap di rumah itu. Seandainya, ibu mertua Simon sudah sakit sejak awal, tidak mungkin mereka meninggalkan ibu mertua Simon yang sakit sendirian.
Agaknya ibu mertua Simon tiba-tiba menjadi kurang sehat, sementara anaknya dan Yesus sedang berada di sinagoge. Orang-orang mengetahuinya ketika mereka pulang, kemudian mereka “langsung” memberitahukannya kepada Yesus, sambil meminta tolong. Kisah serupa dicatat dalam Lukas 4:38. Keadaan ini, kalau diperhatikan sungguh menarik. Baru saja Yesus mengusir roh jahat di rumah ibadah, kemudian sepulangnya mereka dari sana ternyata ibu mertua Simon diserang demam. Kita mengingat, bahwa pemahaman zaman itu sakit penyakit merupakan dampak dari kuasa jahat, apalagi ini sangat mendadak.
Tampaknya roh jahat membalas tindakan Yesus. Namun, Yesus segera bertindak. Dia mendekati tempat tidur perempuan itu, memegang tangannya, dan membantunya bangun untuk duduk. Demamnya langsung hilang! Saya mengajak mari kita perhatikan momen ini sejenak. Bukankah Yesus dapat melakukan penyembuhan ini seperti di rumah ibadah itu. Ia bisa menghardik kuasa jahat itu dengan suara-Nya? Ya, jelas sangat bisa, kuasa-Nya luar biasa! Namun, kali ini Yesus menggunakan sentuhan.
Yesus menghadirkan Kabar Baik itu melalui sentuhan-Nya. Ia membantu mengangkat perempuan yang lemah terbaring karena sakit itu. Kabar Baik tentang kuasa pemulihan itu diperagakan dengan nyata. Yesus menunjukkan kepedulian yang amat sangat pada perempuan yang lemah ini. Seolah Yesus mentransfer energi cinta kasih Allah yang memulihkan ini. Dampaknya? “…lalu lenyaplah demamnya. Kemudian perempuan itu melayani mereka.” (Markus 1:31).
Setelah lenyap sakitnya, ibu mertua Petrus melayani, dalam hal ini memberi mereka santapan agar mereka dapat kembali meneruskan pelayanan pemberitaan Kabar Baik itu. Ini terbukti setelah itu, menjelang malam banyak orang membawa kerabat mereka yang sakit kepada Yesus supaya Ia menyembuhkan mereka. Ibu mertua Yesus itu dilayani, dipulihkan kemudian ia melayani dan menjadi berkat! Kabar Baik segera tersebar. Allah di dalam Yesus Kristus, yang memulihkan, mencintai dan penuh kuasa itu benar-benar dirasakan oleh mereka sebagai Kabar Baik yang menjawab kebutuhan dan kelu-kesah mereka.
Banyak sekali orang yang sekarang sedang “demam”, sakit, terkapar dan tak berdaya! Inilah konteks kita untuk memberitakan Kabar Baik. Kabar Baik yang seperti apa? Apakah cukup hanya dengan mendoakan dan memberitakan bahwa Yesus Kristus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup. Ia yang memulihkan dan menjanjikan kehidupan yang kekal! Jika, hanya berhenti di sini, kuasa jahat, Iblis pun sudah menyatakan itu. Minggu lalu, kita membahas ini, kuasa Jahat itu mengenali Yesus, ia mengatakan, “… Engkau yang kudus dari Allah.”
Benar, tidak ada yang salah dan kita harus mewartakan-Nya bahwa Yesus Kristus adalah yang kudus dari Allah, Ia adalah Sang Mesias, Sang Pemulih dan wujud konkrit dari kehadiran Kerajaan Sorga itu. Namun, berhenti di sini saja dalam arti hanya pemberitaan mulut saja tidak banyak gunanya. Marilah kita belajar dari apa yang Yesus kerjakan terhadap ibu mertua Petrus dan dampaknya.
Dari rumah ibadah, Yesus berjalan ke rumah ibu mertua Petrus.
Apa yang diberitakan dan dilakukan di rumah ibadat, tidak ditinggalkan di sana. Yesus membawanya pulang ke rumah ibu mertua Petrus. Inilah juga yang harus terjadi dalam kehidupan peribadahan kita. Semua peribadahan dan tatanan liturgi yang digaungkan di gereja harus menjadi nyata di rumah kita masing-masing. Kabar Baik yang kita dengar dari mimbar gereja harus mewujud di rumah.
“…, dan sambil memegang tangannya, Ia membangunkan dia, lalu lenyaplah demamnya.”
Firman itu nyata, Yesus memegang tangan perempuan itu. Ia menyentuhnya, sentuhan kasih sayang yang mengalirkan energi pemulihan terjadi. Benar, saat ini kita membatasi diri untuk menyentuh sesama kita. Namun, ini bukan perkara harfiah. Sudahkah dalam memberitakan Kabar Baik itu hati kita tersentuh, sama seperti Hudson Taylor yang hatinya tersentuh sehingga ia melakukan pelbagai cara agar cinta kasih Allah; Kabar Baik itu diterima oleh orang yang dilayaninya? Sentuhan hati kita kini sangat dinantikan oleh mereka yang sedang terkapar itu. Banyak cara kita dapat menyentuh hati mereka, setidaknya teknologi membantu kita untuk itu.
“Kemudian perempuan itu melayani mereka.”
Orang yang telah menerima Kabar Baik itu segera melayani mereka. Hanya orang yang telah mengalami dan merasakan cinta kasih Tuhanlah yang pada akhirnya mengerti dan tergerak dengan sukacita untuk membagikan dan meneruskan pengalaman yang sama. Sulit bagi kita untuk benar-benar memberitakan Kabar Baik sekaligus dengan tindakan nyata, kalau diri kita sendiri belum pernah mengalami dan merasakan serta menerima Kabar Baik itu.
Bagi orang yang telah menerima, mengalami, dan merasakan Kabar Baik di dalam Yesus Kristus, tidak ada kerinduan lain yang paling besar dalam hidupnya, kecuali memberitakan, meneruskan Kabar Baik itu. Ini sama seperti yang dialami oleh Paulus, sehingga ia bisa mengatakan, “Celakalah aku bila tidak memberitakan Injil”(1 Kor.9:16)
Jakarta, 29 Januari 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar