Mary Belknap, Ph.D, seorang psikolog pendidikan dari U.C. Berkeley, Amerika Serikat menulis sebuah buku “Homo Dewa, Tahapan lanjut Evolusi Umat Manusia untuk Memenangkan Masa Depan”. Dalam tulisannya, ia memaparkan tentang sejarah baru umat manusia. Ya, tentu saja berdasarkan risetnya ia percaya pada teori evolusi. Belknap percaya bahwa akhir budaya Homo Sapiens telah tiba, dan era baru muncul dengan pelbagai tantangannya. Bisa saja kita tidak sepakat dengan teori ini. Namun, fakta-fakta perubahan itu terus bergulir. Bisa saja kita tidak tidak suka dengan perubahan-perubahan yang sedang terjadi itu. Namun, kita tidak bisa duduk diam dan menunggu segala sesuatu menjadi ideal. Kita sedang dan harus melewati rentetan transisi itu - bergerak ke tantangan dan tekanan yang tak diketahui.
Homo Deva ditulis 2004 dan revisi 2015, jauh sebelum pandemik Covid-19 ini terjadi. Peristiwa pandemik sendiri merupakan tantangan dan tekanan yang sama-sama kita jalani dengan ketidak-tahuan. Itulah sebabnya, ada banyak teori, perdebadat dan protokol-protokol kesehatan yang berbeda.
Bagaimana umat manusia menghadapi tantangan dan tekanan baru itu? Belknap menyebut bahwa dengan kemampuannya beradaptasi, anggota Homo Sapiens berkembang menjadi spesies baru yang lebih kreatif dan inovatif - itulah Homo Deva. Era Homo Deva akan membawa kita melintasi ambang evolusi utama, ketika orang belajar mengekspresikan integrasi antara kecerdasan dan intuisi yang lebih tinggi.
Mary Belknap menggaungkan kembali tentang evolusi: tentang perubahan. Setuju atau tidak, kita semua terus-menurus mengalami perubahan. Ya, minimal dunia dan kita semakin menjadi tua. Menjadi semakin tua bukan jaminan bahwa kita menjadi semakin bijak, semakin menampakkan hidup pertobatan dan semakin bijaksana. Hal ideal yang mestinya terjadi adalah seiring perubahan-perubahan itu - baik yang terjadi di luar maupun dengan diri kita - diimbangi dengan semakin matangnya spiritualitas kita. Semakin mengerti dan mengenal apa yang Allah kehendaki. Jika demikian, maka yang harus dan sedang kita butuhkan adalah menyikapi perubahan itu dengan terus-menerus mau dibarui dan memperbarui diri.
Musuh utama manusia tidak mau dibarui adalah rasa nyaman dengan kondisi yang sedang kita alami dan memandang bahwa pembaruan itu merupakan ancaman. Akibatnya, yang merespon pembaruan itu sering kali adalah mereka yang merasa diri tidak beruntung dan tentu saja kehidupanya tidak nyaman. Hal ini kita bisa lihat dalam kehidupan di mana Yohanes Pembaptis dan Yesus hadir dan melayani.
Ketika Yohanes Pembaptis menyerukan pertobatan di padang gurun, mereka yang datang utamanya adalah orang-orang yang merasa diri tidak diuntungkan dengan kehidupan agama yang menekankan ketaatan pada hukum-hukum Taurat dan turunannya. Sebaliknya, mereka yang menjadi pemegang otoritas hukum Taurat enggan untuk datang dan memenuhi seruan Yohanes Pembaptis. Bertobat! Paling-paling, mereka datang hanya untuk memata-matai aktivitas Yohanes. Maka tidak heran, jika kita membaca dalam versi Injil Matius, Yohanes mengecam mereka dengan kata-kata kasarnya, “Hai kamu keturunan ular beludak. Siapakah yang mengatakan kepada kamu bahwa kamu dapat melarikan diri dari murka yang akan datang?” (Matius 3:7).
Bagi Yohanes, kedatangan Anak Manusia, Sang Mesias itu sangat penting dan genting. Sikap ini hanya dapat diantisipasi dengan pertobatan. Tidak boleh merasa aman dan nyaman dengan keyakinan bahwa : “kami ini adalah umat pilihan Allah, tentu Allah akan selalu berpihak kepada kami.” Rasa aman dan nyaman bagaikan penyakit kronis yang terus menggerogoti spiritualitas sehingga berujung maut! Bukankah ada banyak orang Kristen juga terlena dalam perasaan aman dan nyaman. Percaya Yesus sudah pasti selamat dan keselamatan itu tidak bisa hilang. Bandingkan, apa bedanya dengan keyakinan elit Yahudi: Saduki dan Farisi dahulu?
Kecuali para elit penguasa Bait Allah, orang-orang dari pelbagai penjuru; Yudea dan semua penduduk Yerusalem datang mencari dan mendekat suara padang gurun itu. Ya, ini sesuatu yang ganjil. Yerusalem yang di dalamnya ada Bait Allah, yang merupakan axis mundi, pusat dunia, di mana Allah diyakini berkenan hadir di dalamnya, kini justru ditinggalkan dan orang-orangnya keluar ke padang gurun. Ada apa gerangan? Ya, bisa jadi mereka telah jenuh dengan kehidupan keagamaan yang menekankan syareat ritual merindukan sebuah pembaruan yang membebaskan mereka bertemu dengan Allah yang memeluk dengan cinta-Nya.
Suara padang gurun itu mampu menggetarkan Yudea dan Yerusalem. Padang gurun menjadi simbol sebuah pertobatan; berbalik arah hidup seseorang dari jalan yang lama menuju jalan yang baru. Misalnya, dalam narasi kitab Keluaran, padang gurun menjadi pusat dalam perubahan umat Allah. Dari budak di Mesir menjadi orang-orang yang merdeka bahkan menjadi umat Allah yang bergerak menuju ke tanah perjanjian. Sedangkan sungai Yordan sendiri adalah sebuah sungai yang memisahkan antara padang gurun sebagai lambang pengembaraan umat dari kehidupan yang lama di Mesir dengan tanah perjanjian yang kelak kemudian hari mereka huni. Itulah sebabnya, muncul keterangan lokasi ini : padang gurun dan Sungai Yordan.
Jika kita melihat sepintas perjalanan padang gurun yang akan mengubah kehidupan umat Tuhan itu, jelas tergambar ada banyak orang yang tidak nyaman. Mereka marah-marah dan menggugat Musa, menginginkan kembali ke Mesir. Bukankah hal serupa sering kali terjadi. Banyak orang tidak mau bertobat karena enggan meninggalkan kenyamanannya. Bertobat pikirnya akan merugikan banyak hal. Merugikan pertemanan, kenyamanan, harta benda, dan lain sebagainya.
Dalam peristiwa pembaptisan oleh Yohanes di Sungai Yordan ternyata tidak sedikit orang yang memberi diri dibaptis. Baptisan itu sebagai tanda bahwa mereka bertekad untuk bertobat. Metanoia, meninggalkan cara hidup yang lama dan berbaik kepada Allah. Bertobat tidak sama dengan kapok. Mungkin benar, kapok merupakan tahapan dalam orang mengalami pertobatan. Seorang yang berdosa tidak cukup berhenti dari dosanya, melainkan ia akan memperbaiki kehidupan lamanya. Berubah dan mau dibarui untuk kehidupan yang semakin berkualitas. Kualitas kehidupan yang dimaksud adalah setiap hari menampakkan perubahan-perubahan yang baik. Ini hanya mungkin ketika kuasa Roh Kudus bekerja dan orang itu bersedia membuka diri dan hatinya untuk dikuasai oleh Roh Kudus. Inilah makna hakiki yang dimaksudkan Yohanes “Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus” (Markus 1:8).
Roh Kudus itu akan terus-menerus membimbing orang untuk terkonfirmasi dengan apa yang diberitakan dan diteladankan oleh Yesus Kristus. Di pihak lain, setiap orang yang telah dibaptiskan juga harus bersedia membuka diri: hati dan pikirannya untuk terus-menerus dibarui, sehingga buah-buah pertobatan itu nyata.
Jika saja kita menyadari bahwa kondisi fisik dan mental kita terus berubah, yang kata Mery Belknap sedang menuju pada tahap Homo Diva, manusia ilahi yang lebih super dari manusia modern saat ini. Nah, bagaimana dengan kehidupan spiritualitas kita, dapatkah menopang perkembangan-perkembangan dasyat yang sedang terjadi? Sudahkah kehidupan pertobatan kita benar-benar mengubah tabiat manusia lama kita sehingga kita layak disebut manusia-manusia ciptaan baru?
Jakarta, 1 Januari 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar