Jumat, 08 Januari 2021

MEMAHAMI, MENGALAMI, MELAKUKAN

Kisah ini terungkap dalam buku Art & Fear karya David Bayles dan Ted Orland. Pada hari pertama kuliah, Jerry Uelsmann, guru besar University of Florida, membagi mahasiswa jurusan fotografinya menjadi dua kelompok.

 

Kelompok kiri ruang kuliah, disebutnya kelompok “kuantitas”. Mereka diberi tugas dan dinilai berdasarkan jumlah karya yang mereka hasilkan. Pada akhir kuliah Uelsmann akan menghitung jumlah foto yang dikirim oleh tip mahasiswa. Seratus foto akan mendapat nilai A, Sembilan puluh foto bernilai B, delapan puluh foto bernilai C, dan seterusnya.

 

Sementara itu, setiap mahasiswa di sebelah kanan ruangan disebutnya kelompok “kualitas”. Sesuai namanya, mereka akan dinilai berdasarkan kehebatan karya mereka. Mereka hanya perlu menghasilkan satu karya foto selama semester itu. Syarat untuk mendapatkan nilai A, foto itu harus mendekati sempurna.

 

Pada akhir semester, di luar dugaannya, semua foto terbaik dihasilkan oleh kelompok kuantitas. Selama semester itu, mahasiswa-mahasiswa kelompok itu sibuk membuat foto, bereksperimen dengan komposisi dan pencahayaan, menguji berbagai metode di ruang gelap, dan belajar dari kesalahan-kesalahan mereka. Dalam proses membuat ratusan foto, mereka mengasah keterampilan. Sedangkan, kelompok kualitas hanya melamun tentang kesempurnaan. Pada akhirnya, hanya sedikit yang mereka tunjukkan sebagai bukti usaha mereka. Mereka tidak menggali dan mempraktikkan  teori-teori yang diajarkan dan hanya menghasilkan foto biasa-biasa saja.

 

Kita mudah terlena ketika mencoba Menyusun rencana yang optimal untuk perubahan. Misalnya, cara paling cepat menurunkan berat badan, program terbaik untuk membangun otot, gagasan sempurna untuk usaha sampingan. Kita terlalu fokus memikirkan pendekatan terbaik sehingga tidak pernah sampai beraksi, apalagi konsisten menjalani apa yang dianggap ideal itu!

 

Dalam bukunya Atomic Habits, James Clear membedakan in motion dan action. Kedua gagasan itu terkesan serupa, padahal tidak sama. Ketika Anda in motion, Anda membuat rencana, strategi, dan belajar. Semua itu baik, tetapi sampai di sini, tentu saja tidak membuahkan hasil. 

 

Sebaliknya, action adalah tipe perilaku yang memberikan hasil. Kalau saya menulis dua puluh gagasan untuk artikel-artikel yang ingin saya tulis, itu in motion. Kalau saya mencari rencana diet yang lebih baik dan membaca sejumlah buku tentang topik itu, itu namanya in motion. Kalau saya sungguh-sungguh makan makanan yang sehat, itu adalah action.

 

Tentu saja in motion adalah baik dan ada gunanya, tetapi perilaku itu tidak akan membuahkan hasil dengan sendirinya. Tak peduli berapa kali Anda berdiskusi dengan pelatih, kegiatan itu tidak akan pernah membentuk tubuh Anda menjadi ideal. Hanya aksi berolahragalah yang akan membuat Anda memperoleh hasil yang diinginkan. Bila in motion tidak menghantarkan kita ke hasil, mengapa kita melakukannya? Kadang kita melakukannya karena kita sungguh perlu membuat rencana atau belajar lebih banyak. Namun, lebih sering daripada tidak, kita melakukannya karena in motion memungkinkan kita merasa seolah-olah mendapat kemajuan tanpa menempuh risiko gagal.

 

In motion membuat Anda merasa sudah melakukan segala sesuatu. Padahal sesungguhnya Anda hanya bersiap melakukan apa yang sesungguhnya Anda harus lakukan. Ketika persiapan menjadi semacam upaya menunda, ada yang perlu diubah. Anda tidak hanya butuh rencana, Anda tidak hanya butuh tahu dan paham. Anda butuh mengalami dan melakukan apa yang Anda anggap baik itu.

 

Memahami, mengalami, dan melakukan adalah sederet tindakan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain, apabila kita menginginkan sebuah perubahan; sebuah kondisi yang lebih baik. Kisah pemanggilan murid-murid Yesus yang pertama mengajarkan tentang itu. Yesus memanggil beberapa orang untuk menjadi murid-Nya. Mereka yang terpanggil itu tinggal bersama-sama untuk belajar tentang Injil Kerajaan Allah. Para murid yang tinggal itu mengalami sendiri apa yang diajarkan Sang Guru. Mereka melihat, merasakan, mengalami dengan akal budi dan perasaan mereka. Dalam persekutuan ini, mereka dilatih untuk melakukan apa yang mereka pahami dan alami.

 

Firman yang menjadi daging, menjadi manusia Yesus. Hari itu Yesus pergi ke Galilea dengan ketiga murid yang baru. Di sana Ia menjumpai Filipus, yang berasal dari kota yang sama seperti Andreas dan Petrus. Nama kota itu Betsaida, yang berarti “rumah para nelayan”. Yesus berkata kepadanya, “Ikutlah Aku!” Setelah Filipus mengikut Yesus, ia menemui Natanael dan berkata kepadanya, “Kami telah menemukan Dia yang disebut oleh Musa dalam Kitab Taurat dan oleh para nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret.” (Yoh.1:45). Natanael mengenal kampung Nazaret yang tidak punya reputasi bagus. Dengan terus terang dan nada mengolok-olok, ia berkata, “Mungkinkah yang baik datang dari Nazaret?” (Yoh. 1:46).

 

Tentu saja Natanael tidak sembarang menuduh. Memang benar, reputasi Nazaret buruk. Kampung di mana orang-orangnya beringas, tidak bisa dipercaya, temperamental dan mudah dihasut. Ia berkata apa adanya! Petrus dan Andreas yang telah lebih dahulu berjumpa dan tinggal bersama Yesus, tidak berapologet, membela dengan pelbagai argumentasi. Mereka hanya menyarankan, “Datanglah dan lihatlah.” Datang dan lihatlah sendiri. Datanglah dan rasakan pengalaman yang sudah saya alami dan rasakan. Ya, ada kalanya argumentasi tidak diperlukan. Orang hanya perlu bukti dan mengalami.

 

Dalam perjumpaan itu Yesus tidak mencela olokan Natanael. Ia malah mengapresiasi, “Lihat, inilah seorang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya!” Natanael bertanya, ‘Bagaimana Engkau mengenal aku?’ ‘Sebelum Filipus memanggil engkau, Aku telah melihat engkau di bawah pohon ara.” (Yoh. 1:47,48). Apa yang dilakukan di bawah pohon ara? Biasanya orang akan berdoa dalam kerinduan menantikan datangnya Mesias. Di sinilah Natanael kemudian merespon, ia memunculkan seruan iman dan pujian, “Rabbi, Engkau Anak Allah, Engkau Raja orang Israel!”

 

Argumentasi tidak berujung pada seruan iman dan pujian. Perjumpaanlah yang justru membuat pesona. Injil ini (Yohanes) mulai dengan dua murid yang mengikuti Yesus dan berakhir dengan kisah Yesus yang mengatakan kepada Petrus, “Ikutlah Aku”. Mereka dipanggil untuk belajar dari Dia, untuk pelan-pelan mengalami hidup bersama-Nya. Mereka tidak diindoktrinasi, tetapi pelan-pelan diajak menemukan siapa Dia itu, bagaimana visi kasih-Nya, dan siapakah diri mereka itu. Mereka tidak selalu tahu ke mana Ia memimpin mereka, tetapi mereka diajar untuk mempercayakan diri kepada-Nya dan berjalan bersama-sama dengan-Nya. 

 

Menurut bagian Injil Yohanes ini, Yesus mengumpulkan kelompok kecil di sekitar diri-Nya. Inilah awal perjalanan hidup mereka bersama dengan Yesus. Perjalanan itu diawali dengan semangat: mereka telah menemukan Mesias, “Dia yang akan datang” untuk membebaskan bangsa mereka. Semangat ini berkembang sejalan dengan karya-karya agung yang dikerjakan Yesus. Mereka semakin percaya kepada-Nya. Dia adalah sungguh-sungguh Mesias.

 

Kita juga dipanggil untuk mengikut Yesus, hari demi hari, tanpa selalu tahu ke mana. Kita diajar untuk mengalami jatuh bangun dan mempercayakan diri kepada-Nya di tengah-tengah keraguan yang dasyat itu. Kita diajak-Nya untuk menjadi seperti Dia. Melakukan dengan setia setiap kehendak Bapa.

 

Dalam bahasa Yunani, kata “mengikuti” tidak hanya berarti “berjalan pada tapak-tapak kami” seorang guru, tetapi juga berarti “menyertai”, “berada bersama”. Apa yang dilakukan Yesus terhadap mereka adalah pertama-tama membentuk hati, budi dan sikap-sikap mereka agar mereka menjadi pemimpin dan pelayan yang baik.

 

 

Jakarta, 8 Januari 2021

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar