Masih relevankah kita berbicara tentang pengharapan baru? Ya, untuk sebagian besar orang selesainya tahap tiga uji beberapa vaksin Covid-19 mulai melihat titik terang. Ketika vaksin-vaksin itu mulai didistribusikan ke pelbagai negara dan mulai disuntikan kepada manusia, di sana terletak pengharapan. Pengharapan akan berakhirnya masa-masa sulit. Kehidupan ekonomi akan menggeliat kembali, roda bisnis segera akan berputar. Kita akan bisa menikmati kebiasaan-kebiasaan semula. Bisa ke mall, nonton bioskop, pergi ke restoran, tamasya, bertemu dan ngobrol kembali di café. Pokoknya, segala macam yang terpendam selama hampir satu tahun ini, kini akan segera kembali. Itulah secercah harapan!
Oop, tunggu dulu! Belum juga keampuhan vaksin-vaksin itu teruji, kini media asing maupun lokal kembali sarat dengan berita yang menyurutkan pengharapan itu! Betapa tidak, virus yang berusaha diberangus dengan vaksin kini telah bermutasi, dan penularannya lebih dasyat. Sepuluh kali lipat lebih cepat disbanding dengan mula-mula virus itu menyebar. Sehingga kini negara-negara di Eropa, Afrika, Asia dan termasuk kita, Indonesia harus menutup perbatasan antar negara. Ini menandakan betapa seriusnya ancaman yang sedang merasuk dunia kita. Situasi ini seolah membawa kita kembali kepada lorong yang gelap. Kita kembali berjalan dalam gua gelap gulita yang entah berujung di mana?
Lalu apakah yang bisa kita andalkan? Ya, jelas kita tidak boleh menyerah, tidak boleh membiarkan diri dikuasai oleh ketakutan. Benar, itu bagus! Namun, bagaimana caranya? Sedangkan para ilmuwan saja sudah begitu rupa mengerahkan kemampuan mereka, namun toh ancaman itu tetap ada bahkan kian menjadi-jadi!
Barangkali inilah juga yang dialami dan dirasakan umat Israel pada masa pembuangan. Setelah sekian puluh tahun lamanya mereka terbuang, tanpa identitas dan pengharapan, mereka hanya tersisa sedikit saja dan terdiri dari orang-orang yang lemah, di antaranya buta, lumpuh dan perempuan yang sedang mengandung. Menyedihkan!
Sangat mungkin dalam situasi seperti ini, mereka sudah hilang asa. Tidak ada lagi hari depan, mimpi-mimpi mereka sudah hilang lenyap! Namun, tunggu dulu. Allah tidak membiarkan umat-Nya itu larut dalam kemelut dan air mata. Yeremia diutus untuk membangkitkan pengharapan itu, “Sebab beginilah firman TUHAN: Bersorak-sorailah bagi Yakub dengan sukacita, bersukarialah … Kabarkanlah, pujilah dan katakanlah: TUHAN telah menyelamatkan umat-Nya, yakni sisa-sisa Israel! Sesungguhnya, Aku akan membawa mereka dari tanah utara dan akan mengumpulkan mereka dari ujung bumi; di antara mereka ada orang buta dan lumpuh, ada perempuan yang mengandung bersama-sama dengan perhimpunan yang melahirkan; … Dengan menangis mereka akan datang, dengan hiburan Aku akan membawa mereka;…” (Yeremia 31:7-9). Bayangkan, ketika umat itu sudah lelah, putus asa dan hanya tinggal sisa-sisanya saja, TUHAN sendiri berprakarsa, Ia memberikan pengharapan, dan pengharapan itu nyata!
Jelas, kita belum seberapa jika dibandingkan dengan Israel yang tertinggal hanya sisa-sisanya saja. Tuhan masih mengizinkan kita untuk mempunyai kebebasan dan berupaya dalam menghadapi pelbagai kesulitan ini. Dan, tentunya kita masih mengingat pesan Natal yang begitu kuat, “Jangan takut! Hari ini telah lahir bagimu Kristus, Tuhan di kota Daud..” Dia adalah Sang Immanuel, Allah yang beserta dengan kita. Allah yang tidak hanya tinggal diam di takhta-Nya, melainkan menjadi “daging”, menjadi manusia dan diam di antara kita! Firman itu Terang kehidupan, Terang itu telah ada di dalam dunia, tetapi sayangnya dunia tidak mengenal-Nya. Tiga kali penulis Injil Yohanes menggunakan kata kosmos (dunia) dalam Yohanes 1:10. Pertama, “dunia dijadikan oleh-Nya”, kata “dunia” yang dimaksudkan di sini menunjuk pada alam semesta yang diciptakan oleh-Nya. Kedua, “dunia tidak mengenal-Nya”, tentu saja “dunia” yang dimaksudkan di sini bukanlah semesta alam raya, melainkan menunjuk pada orang-orang yang menolak Yesus; orang-orang yang memilih kegelapan dari pada terang. Ketiga, “dunia tidak mengenal-Nya”dekat dengan pernyataan dalam ayat 11, “Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya”. Siapakah orang-orang kepunyaan-Nya ini? Mereka ini bukan hanya orang-orang Yahudi, tetapi semua orang yang diciptakan di dalam Firman.
Meski demikian, Firman itu tetap berinkarnasi menjadi “daging”, menjadi manusia. Firman yang sedari awal dikatakan bersama dengan Allah dan bahkan Allah sendiri, kini Firman itu ada bersama dengan kita. Yohanes tidak mengatakan bahwa Firman itu menjadi manusia, tetapi lebih tepat menjadi daging. Sangat mungkin pilihan kata ini sengaja ditulis oleh Yohanes di mana kemanusiaan Yesus telah menjadi obyek perdebatan. Yohanes ingin segalanya menjadi jelas dan tanpa keraguan bahwa Firman itu menjadi daging. Dengan menjadi daging, firman itu tidak berhenti menjadi Allah. Dia tetap Allah yang tinggal di antara kita.
Kata “tinggal” (skēnō) merupakan konsep penting Perjanjian Lama, misalnya dalam Keluaran 25:8,9 yang mengisahkan Israel yang diminta untuk mendirikan tenda (Tabernakel, skēnē) sehingga Allah bisa tinggal di antara umat-Nya; kehadiran-Nya benar-benar dialami dan dirasakan.
Firman itu tinggal di antara kita! Siapakah “kita” yang dimaksudkan di sini? Baru pada ayat 14 muncul kata “kita”. Yang muncul sebelumnya adalah dunia, orang-orang kepunyaan-Nya, orang-orang yang menerima-Nya, yang percaya kepada-Nya. R.E Brown melihat bahwa di sinilah Injil ini mulai melibatkan “komunitas”. Firman itu tinggal di tengah-tengah komunitas. Karena Firman itu tinggal di tengah-tengah komunitas, komunitas itu dapat melihat Terang, komunitas itu dimampukan untuk melihat kemuliaan yang diberikan Allah. Sekali lagi, kata “kemuliaan” (doksa) mengiang kembali dari gagasan pendirian tenda tempat bersemayam Allah di tengah-tengah umat-Nya. Ketika tenda itu didirikan, “Kemuliaan Allah memenuhi Kemah Suci” (Keluaran 40:34). Di dalam komunitas, tenda tempat tinggal Allah itu adalah Yesus sendiri, Firman yang menjadi daging!
Cob akita terawang kembali sejarah umat Allah. Kehadiran Allah di tengah-tengah umat-Nya memampukan mereka menghadapi pelbagai tantangan, dari zaman Musa, Daud, para nabi bahkan sampai pembuangan umat Allah di Babel. Kehadiran Allah kini pun dapat terjadi di tengah-tengah komunitas yang siap sedia hidup dalam Terang Firman-Nya. Ya, di sinilah, dalam Gereja, dalam komunitas orang percaya mestinya pertama-tama Terang itu terpancar. Betapa pun kelam pekatnya kehidupan, namun ketika ada Sang Terang, maka pekatnya gelap itu akan sirna!
Masalahnya sekarang, mampukah kita sebagai komunitas orang percaya menerima dan menyambut Sang Terang itu?
Jakarta, Epifani 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar