Jumat, 22 Januari 2021

TAKJUB PADA KUASA ALLAH

Hari ini (Jumat, 22 Januari 2021) saya terperangah membaca artikel Opini dalam harian umum Kompas.Salman Habeahan, pegawai kementerian agama menulis Agama: Inspirasi Vs Aspirasi. Pada awal tulisannya Habeahan mempertanyakan peran agama sambil menyitir Laporan Transparency International tahun 2020 yang mengeluarkan ranking korupsi untuk 179 negara. 

 

Habeahan menyoroti kaitan negara-negara yang paling bersih korupsi dikaitkan dengan pentingnya kehidupan beragama. Apakah negara-negara yang menganggap kehidupan beragama itu sangat penting akan berdampak bersihnya dari tindakan korupsi? Dengan kata lain, apakah agama itu cukup punya kuasa untuk membuat sebuah negara bersih dari tindakan korupsi?

 

Laporannya cukup mengejutkan. Sepuluh negara yang paling bersih korupsi, persentase pentingnya agama dalam hidup mereka adalah:

 

1.  Selandia Baru (33 persen), artinya hanya 33 persen penduduknya menganggap penting kehidupan agama.

2.     Denmark (19 persen)

3.     Finlandia (28 persen)

4.     Singapura (70 persen)

5.     Swiss (41 persen)

6.     Swedia (15 persen)

7.     Norwegia (22 persen)

8.     Belanda (33 persen)

9.     Luksemburg (39 persen)

10.  Jerman (40 persen)

 

Singapura adalah satu-satunya negara dalam Top 10 dengan nilai tertinggi pentingnya kehidupan beragama, yakni 70 persen. Jika dirata-rata, 10 negara itu hanya 34 persen menganggap kehidupan agama itu penting!

 

Kebalikan ranking di atas, Transparency International menyajikan lima negara yang menganggap kehidupan agama itu sangat penting namun memiliki ranking kebersihan pemerintahannya sangat buruk. Kelima negara itu:

 

1.     India (Hindu 90%, agama penting, urutan korupsi 80 dari 179 negara)

2.     Filipina (Katolik 96%, agama penting, urutan korupsi 113 dari 179 negara)

3.     Arab Saudi (Islam, 93%, agama penting, urutan korupsi 51 dari 179 negara)

4.     Thailand (Budha, 96%, agama penting, urutan korupsi 101 dari 179 negara)

5.     Indonesia (Islam, 97% agama penting, urutan korupsi 85 dari 179 negara)

 

Habeahan menanggapi data-data ini sebagai berikut: Terlepas dari metodologi riset yang dapat diperdebatkan, hasil riset tersebut memberikan gugatan: mengapa agama tidak menjadi variabel penting dalam mengikis korupsi? Dan, mengapa untuk kasus negara yang berhasil membuat pemerintah mereka bersih, mayoritas publik tidak menganggap agama penting dalam hidupnya? Sebaliknya, negara yang mayoritas umat beragamanya menganggap agama penting, ranking korupsi tinggi. Apakah ini berarti peran agama tidak lagi penting di zaman modern? Jawabannya: tergantung dari bagaimana agama itu ditafsirkan, dihayati, bukan sebagai aspirasi yang melahirkan tafsir agama secara sempit, simbolik, dan formalistis, tetapi agama harus menjadi inspirasi. 

 

Di sinilah muncul kritikan terhadap agama dalam hal ini para penganutnya. Agama termasuk semua entitasnya harus memberdayakan, membuat penganutnya mengalami perubahan-perubahan kualitas kemanusiaannya. Bukan sebaliknya, agama dijadikan “kendaraan politik” dalam mencapai, mempertahankan dan memperluas kekuasaan. 

 

Agama, bukan hanya konten dalam hal ini ajaran dan ritualnya saja yang harus dipahami tetapi juga yang tidak kalah peting adalah dampak atau pengaruhnya terhadap kehidupan umat manusia. Hari ini, kita membaca Injil yang mengisahkan bagaimana Yesus memberitakan sesuatu yang berbeda dari kebanyakan ulama atau ahli agama pada zaman-Nya. Yesus tidak hanya berkata bahwa Kerajaan Allah mulai datang tetapi juga memperlihatkannya dalam kuasa pengajaran dan tindakan-Nya. Ia menghidupi apa yang diajarkan-Nya itu. Ia tidak sekedar melanggengkan agama dan kehidupan agama sebagai entitas yang harus terus dilestarikan, dipertahankan dan diperluas melalui ekspansi dan eksploitasi. Tidak! 

 

Yesus menghadirkan Kerajaan Allah itu sebagai model kehidupan. Tanda-tanda Kerajaan Allah itu begitu nyata. Tanda pertama yang dikerjakan-Nya ialah ketika pada suatu hari Sabat Ia mengajar di rumah ibadat di Kapernaum. Kapernaum sebuah kota kecil di pantai barat Danau Galilea, kota kecil itu menjadi pusat pelayanan Yesus di Galilea. Ia pun menetap di situ. Di situ pula Ia menjadi anggota rumah ibadat atau sinagoge, yakni tempat berkumpul umat Yahudi di sebuah kota atau desa. Di rumah ibadat tidak pernah dipersembahkan kurban yang hanya boleh dilakukan dalam Bait Allah di Yerusalem. Dalam sinagoga, umat mendaraskan mazmur, mendengarkan kitab-kitab suci, dan menerima pengajaran. Penjelasan atas pembacaan kitab suci biasa dilakukan oleh setiap laki-laki dewasa yang dipandang cukup mengerti kitab suci. Dalam format inilah Yesus mengajar dan memberitakan kabar baik.

 

Berbeda dari Injil lain, Markus jarang menyampaikan isi ajaran yang disampaikan Yesus itu. Dalam bacaan Injil hari ini pun (Markus 1:21-28) tidak tampak Yesus menguraikan penjelasan tentang Taurat atau Kitab Nabi yang dibaca-Nya. Markus mencatatnya bahwa Ia memberitakan Injil Kerajaan Allah. Markus menyoroti bukan isi - apa yang diajarkan - melainkan dampak pengajaran Yesus. Pengajaran Yesus dilakukan dengan kuasa! Dalam hal inilah Yesus berbeda dari pengajar-pengajar yang lain. Yesus tidak meminjam wibawa siapa pun seperti para ahli Taurat yang suka meminjam wibawa Musa atau ajaran Rabi-rabi ternama sebelumnya. Maka tidaklah mengherankan, pengajaran Yesus menunjukkan wibawa yang membuat orang takjub, tercengang, bahkan gempar. Kuasa pengajaran-Nya menjadi begitu tampak ketika Ia mengampuni dosa orang, merombak adat istiadat Yahudi, dan seperti peristiwa yang kita baca hari ini: Mengusir roh jahat dengan sabda-Nya!

 

Roh jahat (harfiah: “roh najis”) adalah roh setan yang merasuki orang dan merusak hidupnya, bukan cuma moralnya, tetapi menurut pandangan zaman itu juga kesehatan jiwa-raganya. Roh jahat itu sadar bahwa berita Yesus tentang Kerajaan Allah membawa kehancuran bagi kerajaan mereka sendiri. Karena itu roh najis itu menentang Yesus, dan berusaha melumpuhkan kuasa-Nya dengan membongkar rahasia perutusan diri-Nya, “Yang Kudus dari Allah”. Sebutan ini menunjuk kepada jati diri Yesus sebagai Mesias. 

 

Tanpa tindakan macam-macam, hanya dengan mengucapkan sepatah kata, “diam!” namun dengan penuh kuasa, Yesus membentak kuasa roh jahat itu, Ia berhasil menghardiknya. Ia membungkam roh itu, melarangnya untuk mengumumkan apa yang diketahuinya tentang Mesias. Roh-roh najis senantiasa melawan, tetapi mereka sama sekali tidak berdaya terhadap kuasa Yesus.

 

Adegan ini berbicara kepada kita tidak hanya tentang ajaran Yesus yang berkuasa tetapi juga tentang jati diri Yesus, orang Nazaret. Ia diperkenalkan - melalui roh jahat - sebagai yang Kudus dari Allah. Kuasa pengajaran Yesus mengundang kita untuk menanggapi dengan takjub dan percaya. Rasa takjub saja tidak cukup! Hendaknya kita juga mengimani Yesus sebagai yang Kudus dari Allah, Mesias, Anak Allah, yang dengan firman-Nya berkuasa untuk membebaskan kita, pun dari kuasa kejahatan dan dosa!

 

Adakah kuasa di dalam nama Yesus itu masih relevan? 

Konteks dunia modern menjadi kritik bukan hanya agama-agama secara umum, tetapi juga kekristenan. Kita yakin bahwa kuasa Kristus itu kekal: dulu, sekarang, dan selamanya! Namun, mengapa daya kuasa jahat itu seolah begitu perkasa? Tidak sanggupkah Ia menangkal badai: korupsi, bencana, kekerasan, keserakahan, kemunafikan, kesombongan yang semuanya berujung pada maut!

 

Bisa jadi, kita memaknai agama seperti kritik Salman Habeahan, hanya sekedar aspirasi: perjuangan untuk mendapatkan sesuatu, mempertahankan hegemoni dan kekuasaan. Kita tidak menghidupinya seperti Yesus menghidupi-Nya. Integritas kita hilang dan dikalahkan oleh nafsu dan keserakahan. Kemunafikan masih mendominasi sehingga tidaklah heran yang diagungkan adalah ritual, mercu suar bak menara Babel. Selama kehidupan agama kita seperti ini, maka kita tidak akan berdaya menghadapi kuasa roh jahat. Jadi, jangan hanya berhenti mengagumi dan takjub saja, melainkan menghidupinya, menggunakan kuasa itu seperti Yesus menggunakan-Nya.

 

Jakarta, 22 Januari 2021

1 komentar: