John D. Rockefeller, sejak muda punya kebiasaan melakukan percakapan dengan dirinya sendiri setiap malam. “Karena Anda telah mulai duluan,” katanya dengan suara keras atau menulis di buku hariannya, “Anda pikir Anda sudah menjadi pengusaha yang hebat? Berhati-hatilah, atau Anda akan kehilangan akal sehat Anda - cool saja.”
Pada awal kariernya, Rockefeller telah mencapai beberapa kesuksesan. Dia telah mendapatkan pekerjaan yang baik dan telah menabung uangnya. Dia memiliki beberapa investasi. Setelah sukses, kebanggaan diri mulai merasuk. Suatu kali, ketika ia berada dalam situasi yang membuatnya frustasi, ia pernah meneriaki petugas bank lantaran pengajuan pinjamannya ditolak, “Suatu saat, saya akan menjadi orang terkaya di dunia!”
Ternyata ucapannya menjadi kenyataan. Tentu, dengan kerja keras yang termotivasi oleh ketersinggungan nilai dirinya terusik. Ia benar-benar menjadi orang terkaya di dunia. Jelas, usaha dan kerja keras yang dilakukannya tidak bertentangan dengan kaidah hukum atau moral. Ia sukses bukan dengan jalan seperti ayahnya yang seorang penipu.
Tidak sedikit orang menjadi sukses atau kaya oleh karena nilai dirinya terusik. Gengsi dan harga diri terasa direndahkan sehingga untuk pembuktiannya maka ia harus berhasil, harus kaya dan kemudian dipandang, dihormati orang lain. Nilai diri yang seakan terangkat naik, dengan naiknya tarap hidup, kesuksesan, kuasa dan kehormatan, sebenarnya justru kebalikkan dari itu. Nilai diri seperti itu bukannya naik, melainkan sedang turun dan perlahan serta pasti sedang takluk di bawah kendali ego.
Beruntung, Rockefeller tahu dia harus menahan dirinya dan dengan diam-diam mengendalikan egonya. Malam demi malam dia bertanya kepada dirinya sendiri, “Apakah kamu akan menjadi orang bodoh? Apakah kamu akan membiarkan uang memengaruhimu - sekecil apa pun itu? Bukalah matamu,” dia menasihati dirinya sendiri, “Jangan sampai kehilangan keseimbangan!” Rockefeller menyadari nilai dirinya tidak boleh terbeli oleh uang.
Disadari atau tidak, nilai diri akan membentuk worldview. Worldview yang dimaksud adalah cara seseorang memandang uang, materi, relasi, waktu, manusia, pekerjaan, hukum, keadilan, dan lain sebagainya. Sebagai orang Kristen, kita perlu menyadari bahwa tidak selamanya nilai diri kita yang membentuk worldview itu selalu sesuai dengan apa yang Allah kehendaki. Atau tepatnya, kita dapat bertanya pada diri kita masing-masing, “Apakah cara pandang kita terhadap uang, materi, jabatan, pekerjaan, bisnis, relasi, manusia, keadilan, dan seterusnya itu sudah berpadanan atau selaras dengan nilai-nilai Kerajaan Allah yang diberitakan Yesus Kristus?”
Di tengah dunia yang kian berorientasi pada egosentrisme, materialisme, dan pragmatism - yang sering kali dianggap lumrah atau wajar - kita diajak untuk terus-menerus berorientasi pada nilai-nilai Kerajaan Allah yang diberitakan oleh Yesus Kristus.
Nilai-nilai Kerajaan Allah menjadi pesan adikuat yang diberitakan oleh Yesus setelah penangkapan dan pemenjaraan Yohanes Pembaptis. Dalam hal ini benar, bahwa Yohanes adalah utusan Allah untuk mempersiapkan jalan bagi Yesus. Pemenjaraan Yohanes menjadi tanda bahwa pekerjaannya telah selesai, karena itulah saatnya telah tiba bagi Yesus untuk mewartakan datangnya kabar keselamatan. Galilea merupakan tempat pertama bagi Yesus untuk memberitakan Injil Allah. Yang dimaksudkan tentunya tidak hanya kabar baik dari Allah, melainkan juga kabar baik tentang Allah yang sedang bekerja dalam diri Yesus. Ia menyerukan datangnya Kerajaan Allah, sebagai kabar baik dari Allah yang disampaikan kepada manusia.
Apa itu Kerajaan Allah? Kerajaan Allah dapat berarti Allah yang berkuasa sebagai raja atau suatu kerajaan yang diperintah oleh Allah sendiri sebagai rajanya. Pada zaman Yesus menyerukan Kerajaan Allah ini, ada beberapa pandangan tentang Kerajaan Allah yang berkembang dalam masyarakat Yahudi.
Pandangan umum orang Yahudi mengenai Kerajaan Allah adalah bahwa mereka percaya akan kembalinya masa kejayaan Yahudi seperti pada era Raja Daud. Kerajaan seperti inilah yang mereka sebut Kerajaan Allah. Para nabi berulang kali menegaskan hal ini. Para pejuang kemerdekaan Yahudi juga yakin bahwa perjuangan mereka diarahkan untuk mendirikan Kerajaan Allah. Mereka percaya bahwa yang akan memimpin kerajaan itu adalah seorang raja, keturunan Daud, utusan Allah yang diurapi, yakni Mesias.
Selain pandangan umum masyarakat Yahudi, ada juga pandangan apokaliptisi. Pada zaman Yesus terdapat kelompok orang yang diyakini mendapatkan wahyu tentang akhir zaman (kelompok ini disebut apokaliptisi). Dalam pandangan mereka, dunia ini sudah terlalu jahat - barangkali seperti Sodom atau Niniwe dalam Perjanjian Lama - dan Allah akan menghancurkannya. Sesudah itu Allah akan mendirikan Kerajaan Allah di dunia yang baru yang dijadikan oleh Allah sendiri. Para apokaliptisi sering kali membuat berbagai spekulasi atau ramalan tentang kapan semuanya itu akan terjadi. Sebab, menurut keyakinan mereka akhir zaman itu didahului oleh tanda-tanda tertentu, salah satunya kejahatan yang luar biasa.
Lalu, apa dan bagaimana pandangan Yesus sendiri tentang Kerajaan Allah itu? Jika kita mengamati apa yang diberitakan Yesus, maka kita akan menemukan bahwa Kerajaan Allah itu adalah Allah yang meraja. Hanya ketika manusia mengakui kuasa Kerajaan itu serta menaklukkan diri padanya, maka sejak saat itu terciptalah suatu keadaan baru baginya. Ketika manusia mengakui dan menaklukkan diri pada Kerajaan Allah, maka seketika itu worldview-nya akan berubah; nilai dirinya akan takluk terhadap nilai Kerajaan Allah itu. Ia tidak lagi memaknai dan memakai segala sesuatu menurut standar egonya, melainkan memakai standar yang baru, yakni: nilai-nilai Kerajaan Allah!
Sehingga dalam terang Kerajaan Allah yang demikian itu, tidak ada atau tidak dikenal ada sebuah negeri atau daerah (keduniaan) seperti yang lazim dalam pandangan Yahudi yang melihat Kerajaan Allah sebagai suatu negeri yang suci - mungkin juga dalam pandangan kita sama dengan pandangan umum Yahudi, bukankah dalam doa-doa persembahan sering kita mendengar agar uang persembahan itu dapat Allah gunakan untuk memperluas /memperlebar Kerajaan-Nya?
Dalam pandangan Yesus, Kerajaan Allah itu akan datang secara penuh di akhir zaman. Seluruh karya Yesus pun tertuju pada Kerajaan Allah, yang pasti akan datang walaupun manusia tidak mengetahui saatnya. Tetapi Kerajaan Allah itu kini sudah menyatakan diri melalui pemberitaan dan pekerjaan yang dilakukan oleh Yesus sendiri. Dapat dikatakan bahwa ciri khas pemberitaan Yesus terletak pada: Kerajaan Allah di akhir zaman sudah menyatakan diri justru dalam pemberitaan dan pekerjaan Yesus!
Yesus memenuhi janji-janji Allah. Kedatangan-Nya yang disiapkan oleh Yohanes Pembaptis adalah wujud nyata dari kehadiran Kerajaan Allah itu. Allah yang menyatakan cinta-Nya. Menanggapi datangnya Kerajaan Allah, mestinya pertobatan bukanlah keterpaksaan, melainkan keniscayaan. Kemudian wujud dari pertobatan itu adalah percaya dan menaklukkan diri pada Kabar Baik itu. Datangnya Kerajaan Allah mendahului pertobatan: Allah datang untuk menegakkan pemerintahan-Nya, dan mengingat hal itu, orang harus bertobat.
Jika demikian apa bedanya dengan pertobatan yang diserukan oleh Yohanes Pembaptis? Makna pertobatan yang dimaksudkan oleh Yesus dapat menjadi lebih jelas bila dibandingkan dengan pertobatan yang diserukan Yohanes Pembaptis atau Yunus. Baik Yunus maupun Yohanes mengajak supaya orang bertobat karena Allah akan datang untuk mengadili. Pengadilan itu akan mengganjar orang benar dan menghukum orang berdosa. Yohanes dan Yunus mengajak orang bertobat dalam kaitannya pengampunan dosa (Markus 1:4), sehingga bertobat berarti berpaling membelakangi dosa-dosa yang sudah dilakukan. Unsur ini pun termasuk dalam pertobatan yang diserukan oleh Yesus.
Walaupun demikian, tetap terdapat perbedaan antara pertobatan yang diserukan oleh Yesus dan yang diwartakan oleh Yohanes Pembaptis. Motif utama pertobatan yang diserukan oleh Yesus bukanlah rasa takut akan pengadilan Allah yang sudah menyatakan diri serta mendekati manusia. Kegembiraan dan rasa syukur akan kebaikan hati Allah inilah yang mendorong orang untuk bertobat. Dengan pertobatan orang kembali kepada Bapa yang baik hati dan penuh belas kasihan, seperti tampak dalam perumpamaan tentang anak yang hilang (Lukas 15:22-dst). Jelas, dalam kisah itu, sang anak tidak lagi takut kepada bapanya, alih-alih ia rindu!
Dalam Kristus kita melihat kebaikan Allah mendahului pertobatan, dengan kata lain; pertobatan bukanlah prasyarat (seperti dimengerti oleh Yohanes Pembaptis) bagi pemerintahan Allah, melainkan hasil dari pemerintahan Allah yang begitu nyata dalam Kristus menyayangi manusia. Jika Anda merasakan begitu sayangnya Allah kepada Anda, maka pertobatan bukan lagi paksaan, melainkan keniscayaan. Dan Yesus, telah mewujudkan kasih sayang Sang Bapa itu, itulah Kerajaan Allah yang hadir di dalam diri-Nya!
Jakarta, 15 Januari 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar