Saya kira kita semua sependapat bahwa manusia adalah makhluk yang bertanya. Melalui pertanyaan, manusia mengenal banyak pengetahuan dan kebenaran, itulah setidaknya yang dilakukan oleh Socrates, salah seorang filsuf legendaris. Ia selalu memakai metode bertanya dan terus menelusuri jawaban lewat pertanyaan kembali sampai menemukan titik terinci dari jawaban orang yang menjawabnya. Ketika pertanyaan itu terus mengalir mana di sana akan ada upaya untuk terus mendalami, menelaah sehingga otak atau logika akan bekerja dengan maksimal secara konstruktif. Melalui metode itu pengetahuan akan lahir sangat rinci dan runut dengan sendirinya. Untuk sampai pada jawaban runut dan rinci itu Socrates menggunakan refleksi dan menyentil agar pengetahuan sang penjawab itu bisa terus diingat dan dapat dikombinasikan dengan berbagai unsur kajian yang lain. Mekanisme dialog menjadikan proses penggalian pengetahuan tidak membosankan, alih-alih membangun suasana hidup. Proses ini dalam istilah Faulo Freire disebut dengan pembelajaran andragogy, yakni: proses pembelajaran yang melibatkan subyek pembelajar secara aktif.
Socrates menghargai benar dialog, artinya komunikasi dua arah yang benar-benar saling menghargai satu dengan yang lainnya. Pertanyaan-pertanyaan yang dipergunakan adalah sebagai alat atau media untuk orang secara sadar dan berpartisipasi menemukannya. Ujungnya adalah memahami sebuah pokok kebenaran tertentu.
Para pemimpin Yahudi, di antaranya orang Farisi, Ahli Taurat, orang Saduki, menggunakan metode bertanya ketika berdialog – tepatnya bukan dialog, karena mereka tidak bersedia mendengar – dengan Yesus. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan bukan sama sekali berangkat dari ketidaktahuan mereka yang ingin tahu dan memahami. Bukan juga untuk mendengarkan dari sudut pandang Yesus yang sedang diajak diskusi. Melainkan pertanyaan itu dirancang untuk menguji dan menjebak Yesus. Mereka bukan menunggu jawaban yang benar dan membangun iman mereka, melainkan jawaban yang salah. Di mana dengan jawaban yang salah itu mereka dapat menghakimi dan menjatuhkan vonis. Jawaban yang salah dari Yesus akan menjadi bahan untuk mereka memprovokasi orang banyak agar dapat menyingkirkan Yesus. Sayangnya, Yesus tidak sebodoh yang mereka kira. Ia tahu niat busuk mereka itu.
Adalah sebuah fakta mengherankan, dalam banyak hal orang Farisi itu bertolak belakang dengan kaum Saduki, misalnya saja tentang keyakinan kebangkitan sesudah kematian. Saduki tidak percaya adanya kebangkitan orang mati, namun Farisi meyakini. Namun, kali ini setelah Yesus membungkam orang-orang Saduki tentang pokok kebangkitan orang mati – yang seharusnya dengan ini orang Farisi senang – alih-alih mendukung Yesus, orang-orang Farisi ini malah terus berusaha memojokkan Yesus. Mereka bahu-membahu sepakat membungkam Yesus dengan pertanyaan-pertanyaan jebakan itu.
Orng Farisi itu bertanya, “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?” Ini pertanyaan khas mereka. Mengapa? Mereka ahli hukum. Ya, hukum Taurat. “Makanan” sehari-hari mereka adalah Taurat. Mereka ahli dalam hal ini. Mereka hidup dalam adat-istiadat nenek moyang mereka. Yang dimaksud dengan adat-istiadat nenek moyang adalah penafsiran mereka atas Taurat, penjelasan-penjelasan terhadap beberapa ketetapan-ketetapan Taurat yang dipandang belum memberi kejelasan. Orang Farisi sangat dekat dengan hukum. Maka wajarlah kalau mereka bertanya tentang hukum mana yang paling utama dalam Taurat. Jelaslah di sini bahwa pertanyaan mereka merupakan bidang keahlian mereka, itu artinya pertanyaan yang dimaksud bukan berangkat dari keingintahuan atau berangkat dari orang yang haus untuk belajar. Bukan!
Yesus tahu pertanyaan ini adalah pertanyaan menguji atau menjebak. Yesus menjawab pertanyaan itu dengan merujuk dua hukum yang paling utama. Yang terutama dan yang pertama adalah mengasihi Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dan dengan segenap akal budi. Hukum ini adalah bagian dari yang kita kenal sebagai shema yang menjadi doa harian orang-orang Yahudi (Ulangan 6:5). Kasih kepada Allah itu meliputi keutuhan hidup manusia (hati, jiwa, akal budi). Oleh karena itu, kasih kepada Allah merupakan kasih yang total, sebagaimana Allah juga mengasihi manusia dengan total.
Perintah kedua, mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri. Kita mengingat, dalam Injil Matius mengasihi sesama itu tidak hanya mencakup tetangga atau orang sebangsa tetapi juga musuh-musuh (Matius 5:43-45). Ukuran mengasihi itu adalah “seperti dirimu sendiri”, ini mencerminkan kaidah atau hukum emas (golden rule): “Segala sesuatu yang kamu kehendaki orang lain perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka” (Matius 7:12).
Kasih kepada sesama dikatakan Yesus “… Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu ialah,..” (Matius 22:39), itu artinya atau pada hakikatnya kasih kepada sesama tidak dapat dipisahkan dari kasih kepada Allah. Ini sejalan dengan 1 Yohanes 4:20, “Jikalau seorang berkata: ‘Aku mengasihi Allah’, dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.” Bila kasih kepada Allah tidak kita wujudnyatakan dalam tindakan cinta kepada sesama kita yang dikasihi oleh Allah, kasih kita kepada Allah menjadi tidak utuh. Dan bila kasih kita kepada sesama tidak dijiwai oleh kasih kepada Allah, cinta kasih itu sulit bertahan di tengah-tengah tantangan.
Dengan jawaban ini kemudian Yesus menegaskan bahwa semua perintah dan peraturan lain tergantung pada perintah kasih yang utama, dalam arti: semua tindakan kasih itu mesti diilhami oleh kasih yang ganda ini. Ketaatan hukum tanpa kasih kepada Allah dan sesama kita adalah “gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing” (1 Korintus 13:1-3).
Tampaknya dari jawaban Yesus itu orang-orang Farisi diam dan kini Yesus balik bertanya. Ia mengajukan pertanyaan kepada mereka tentang apa pendapat mereka mengenai Mesias. Mereka menjawab bahwa Mesias adalah anak Daud. Yesus kemudian melanjutkan pertanyaan lagi, “Jika demikian, bagaimanakah Daud oleh pimpinan Roh dapat menyebut Dia (Mesias) Tuannya..” Jika Mesias itu adalah Tuan dari Daud, bagaimana mungkin Dia itu adalah anak Daud? Untuk pertanyaan kedua ini tidak ada jawaban. Dan sejak hari itu, tidak ada seorang pun yang berani menanyakan sesuatu kepada-Nya. Namun, bukan berarti mereka menuruti apa yang dijawab dan diajarkan Yesus, melainkan mereka terus mencari cara untuk menjerat dan menghukum Yesus.
Hari ini kita belajar dari tokoh-tokoh yang berjumpa dan berdiskusi dengan Yesus. Mereka bertanya namun sayangnya bukan untuk memahami, melainkan untuk menguji dan menjatuhkan Yesus. Bukankah ada banyak di antara kita yang menggunakan pengetahuan, atau akal budi hanya untuk kepuasan sendiri? Kita bangga kalau orang yang berdiskusi dengan kita tidak berkutik, tidak bisa menjawab pertanyaan dari kita. Kita bangga dengan banyaknya pengetahuan yang ada pada kita, dan kemudian berhenti untuk memahami sungguh-sungguh kehendak Tuhan melalui firman-Nya. Ilustrasi perumpamaan yang dipakai Yesus banyak untuk menggambarkan orang yang bangga dengan pengetahuan hukumnya namun akhirnya tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Surga. Nah, apakah kita akan mengulang? Saya kira kita tidak perlu mengikuti contoh yang keliru. Contohlah yang baik! Pergunakan kesempatan yang ada untuk belajar mengetahui, memahami dan kemudian melakukan firman-Nya.
Marilah dalam keluarga, kita ciptakan suasana kondusif dalam belajar dan memahami firman Tuhan. Bila saja untuk kegiatan-kegiatan lain kita membutuhkan waktu, dana dan fasilitas-fasilitas lainnya, tidakkah kita tergerak untuk menciptakan suasana kebersamaan yang indah dalam keluarga untuk memahami firman Tuhan? Berilah kesempatan untuk masing-masing anggota keluarga melakukan dan berbagi firman. Dalam kondisi seperti inilah kita akan merasakan kehadiran Tuhan itu benar-benar nyata!
Jakarta, 16 Oktober 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar