“Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” (Matius 23:12). Itulah bunyi ayat penutup pada Injil yang kita baca hari ini. Injil hari ini tidak biasa. Ya, tidak biasa oleh karena biasanya Injil itu merupakan berita atau kabar gembira, tapi Matius 23 ini bukan kabar gembira, kalau Anda baca sampai habis, isinya adalah kabar celaka! Isinya kecaman atau bahkan kutukan Yesus terhadap orang-orang yang selalu memperlihatkan karakter tinggi hati. Mereka yang dikecam adalah pemuka-pemuka agama Yahudi yang selalu ingin tampil saleh.
Sulit untuk dibantah, kebanyakan orang punya kecenderungan untuk membanggakan apa yang ada pada dirinya. Kecenderungan orang untuk tidak rendah hati banyak terjadi di segala bidang dan profesi. Orang cenderung mengharapkan sanjungan atau pujian terhadap apa yang dimiliki atau berhasil diraihnya. Ya, benar ini kecenderungan manusiawi namun hakikatnya sangat tidak terpuji. “Betapa munafiknya kita mena kala kita berbicara tentang diri sendiri. Kata-kata kita tampak rendah hati, sementara hati kita sangat berbangga hati!” kata Augustus Hare, seorang penulis Inggris abad ke-19.
Barang kali apa yang diungkapkan oleh Augustus Hare itulah yang dilihat Yesus dalam diri para pemimpin Yahudi yang terus berpolemik dengan-Nya. Beberapa kali mereka tidak berkutik bersoal jawab dengan Yesus. Jebakan demi jebakan dapat dipatahkan oleh Yesus. Lalu, mereka bungkam dan tidak ada lagi seorang pun yang mengajukan pertanyaan apalagi sanggahan kepada-Nya. Sekarang Yesus mengarahkan pengajaran-Nya kepada para murid dan orang banyak yang masih mau mendengarkan-Nya. Isi ucapan-ucapan Yesus yang terekam dalam Injil Matius 23 sepenuhnya berisi kecaman-kecaman terhadap orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. Yesus mengkritik mereka karena kebutaan dan legalisme yang sempit dari mereka.
Yesus tidak sedang mengajukan tuduhan langsung kepada orang-orang Farisi atau ahli-ahli Taurat. Tetapi Yesus sedang mengajar para murid dan pendengar-Nya dengan maksud untuk membangun sebuah kehidupan yang berbeda dari kehidupan yang dibangun oleh orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. Dengan kata lain, hidup para murid Yesus harus dijauhkan dari kemunafikan, kebutaan dan legalisme sempit orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat.
Yesus menyebut bahwa orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat telah menduduki kursi Musa. Ya, mereka memang dikenal sebagai orang-orang yang mendasarkan seluruh hidupnya pada Taurat. Mereka adalah para pengajar yang disegani oleh masyarakat Yahudi. Hal ini merupakan kebanggaan dan kesuksesan hidup buat mereka. Yesus tidak menolak, Ia mengakui status mereka ini. Oleh karena itu Yesus meminta agar para murid-Nya dan orang banyak yang mendengarkan-Nya menuruti dan melakukan segala sesuatu yang mereka ajarkan.
Tetapi pengakuan dan perintah Yesus itu disertai dengan peringatan untuk tidak menuruti perbuatan-perbuatan mereka. Mengapa? Karena mereka pandai mengajarkannya tetapi tidak melakukannya. Tema ini banyak muncul dalam Injil Matius. Bagi Yesus, butuh keselarasan antara omongan dan tindakan; antara kepercayaan dan praktik hidup sehari-hari. Mengapa perbuatan para pengajar itu tidak boleh ditiru? Mereka meletakkan beban berat di pundak orang lain, sementara mereka sendiri tidak mau menanggungnya. Mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan mereka hanya supaya dilihat dan dihormati oleh orang banyak. Mereka suka dipanggil rabi dan pemimpin. Dan kehidupan yang seperti inilah yang dipandang berhasil atau sukses buat mereka.
Kebalikan dengan perbuatan para pengajar itu, setiap murid Yesus tidak boleh meniru mereka. Mereka tidak boleh menyebut diri sebagai rabi atau pemimpin. Yesus sendiri pernah mengatakan bahwa barangsiapa ingin menjadi yang terbesar, ia harus menjadi pelayan. Yang ingin ditinggikan, ia harus merendahkan diri. Maka unsur hidup dalam kerendahan hati menjadi pokok ajaran penting Yesus. Hidup para murid tidak dibangun hanya supaya mereka dilihat orang, dihormati, disapa sebagai guru atau pemimpin.
Jelas bagi Yesus berbicara tentang keberhasilan hidup itu bukanlah kehidupan yang penuh sanjungan, melainkan kerendahan hati. Dengan demikian kerendahan hati merupakan jalan kehidupan atau gaya hidup para pengikut Yesus. Jadi, keberhasilan seseorang di hadapan Yesus adalah ketika Ia berada dalam jalan rendah hati!
John Wooden, pelatih basket ternama Amerika Serikat, mempunyai pandangan sekaligus nasihat tentang kesombongan dan kerendahan hati. Ia berkata, “Talenta adalah pemberian Tuhan. Jadilah orang yang rendah hati. Popularitas adalah pemberian orang-orang. Berterimakasihlah! Kesombongan adalah hasil tingkah lakumu sendiri. Hati-hatilah!” Benar, dengan menjadi sombong kita wajib berhati-hati, dunia olah raga banyak mencatat, orang-orang hebat kalah karena terlalu sombong dan mengganggap rendah lawan mereka.
Kesombongan bisa berasal dari kebiasaan membangga-banggakan diri. “Membanggakan diri dan sombong adalah dosa asli manusia,” kata Alain Rene Le Sage (penulis Perancis abad ke-18). Dengan begitu, jelaslah bahwa kesombongan bukan jalan Tuhan bahkan Tuhan membencinya. Dan kesombongan itu, cepat atau lambat, akan meruntuhkan segala pencapaian yang telah ada. Dan pada ujungnya akan mempermalukan diri sendiri.
“Satu karakteristik kekuatan autentik yang sering kali dibaikan orang adalah kerendahan hati. Itu adalah hal penting untuk banyak alasan. Seorang yang rendah hati melangkah dalam dunia yang bersahabat. Ia mendapatkan kawan di mana pun ia berada, ke mana pun ia melangkah. Persepsi hidupnya jauh melampaui tampilan kulit luarnya, karena misi hidupnya sangat mendalam,” kata Gary Zukav, seorang pengajar spiritual lulusan Harvard.
Yesus menghendaki para murid ada dalam jalan-Nya, jalan kerendahan hati karena di sinilah mereka tidak akan menjumpai kutuk dan celaka seperti yang Ia tujukan untuk orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. Jalan kerendahan hati tidaklah mudah. Mengapa? Ya, karena musuh kita bukanlah orang atau pihak lain melainkan diri kita sendiri. Namun, percayalah ketika kita berhasil melakukannya, maka kitalah orang-orang yang beruntung, orang-orang yang berhasil di jalan Tuhan!
Jakarta, 23 Oktober 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar