Hari-hari belakangan ini kita cemas bukan saja virus Covid-19, alih-alih mereda, terus meningkat. Tetapi juga dengan aksi-aksi demo yang menjurus pada vandalisme dan anarkis. Entah berapa kerugian yang harus ditanggung untuk membangun kembali fasilitas umum yang rusak, hancur dan terbakar. Tentu saja selalu ada pembenaran dalam melakukan aksi-aksi ini. Mereka yang berdemo umumnya memandang pemerintah dan DPR menggunakan kuasanya sewenang-wenang. Penetapan undang-undang Omnibus law Cipta Kerja dipandang sebagai bentuk penindasan baru terhadap para pekerja; buruh. Maka ini wajib dilawan!
Di pihak lain, pemerintah dan DPR, termasuk juga orang-orang yang tidak menyukai aksi-aksi demo anarkis ini berpendapat bahwa mereka yang di jalanan itu bertindak sewenang-wenang. Mentang-mentang jumlahnya banyak, mereka merasa berkuasa di jalanan dan bertindak semaunya. Inilah kekuasaan yang sedang dipertontonkan. Ya, kekuasaan tanpa dialog dan tanpa mau mendengar.
Berbicara tentang kekuasaan, sering kali kita menghubungkannya dengan pemerintahan, lembaga-lembaga tinggi negara atau kekuasaan politik. Padahal, di mana pun kita dapat menjumpai praktik-praktik kekuasaan. Di pasar, di sekolah, di perusahaan, di ruang bisnis, di gereja, bahkan di rumah kita sendiri. Setiap kita dipercayakan sebuah peran, entah itu peran sebagai orang tua: papa atau mama, peran sebagai anak, peran sebagai pasangan: istri atau suami. Di dalam peran-peran itu terdapat hak dan tanggung jawab. Seiring dengan itu juga ada semacam “kuasa” yang melekat. Misalnya, orang tua yang bekerja. Ia berperan mencari dan menyediakan uang agar seisi rumah terpenuhi kebutuhannya. Ada yang mengelola peran ini dengan baik. Cinta kasih yang memotivasi sehingga ia menafkahi keluarga dengan sukacita, penuh cinta, tidak memaksakan dan tidak menuntut untuk dihormati dan didahulukan segalanya. Namun, tidak sedikit juga yang merasa diri punya kuasa. Uang ada padaku, maka seisi rumah harus menuruti apa yang aku mau!
Demikian juga, seorang Ibu. Ia punya “kuasa” di rumah. Menata rumah, merawat dan menyiapkan segala sesuatu. Kalau “kuasa” itu dikelola dengan baik, maka rumah bagaikan taman, kebun penuh kembang, keluarga bagai oase di padang gurun, yang memberikan kesegaran kepada setiap anggota keluarganya. Namun, bisa terjadi kuasa ini tidak dikelola dengan baik, ia hanya mau mengatur dan merasa diri paling capai bekerja di rumah. Perasaannya tidak dikelola dengan baik sehingga rumah bagaikan neraka, orang-orangnya tidak betah tinggal di rumah. Rasanya tidak ada seorang pun yang punya impian membangun rumah seperti ini.
Di sini pentingnya mengelola kuasa atau tepatnya kepercayaan yang Tuhan berikan kepada kita masing-masing agar kehidupan dalam keluarga itu menyenangkan alih-alih menjadi berkat. Konflik-konflik yang terjadi kalau kita telusuri berasal dari kegagalan setiap pihak dalam mengelola wewenang yang Tuhan percayakan. Dalam kisah-kisah konflik yang terjadi antara Yesus dan para pemimpin agama Yahudi juga kita menemukan kegagalan para pemimpin agama itu dalam mengelola kuasa yang melekat pada diri mereka.
Yerusalem adalah kota di mana konflik antara pemuka agama Yahudi dan Yesus memuncak. Ini dapat kita sadari oleh karena para penentang itu tinggal di Yerusalem. Para penentang sengaja datang kepada Yesus untuk mencobai dan menjerat Yesus. Tiga kali mereka datang untuk menjerat Yesus dengan pertanyaan-pertanyaan jebakan. Penentang-penentang utama Yesus itu adalah orang-orang Farisi, para ahli Taurat, orang-orang Saduki dan juga kelompok Herodian.
Beberapa tema kontroversi antara lain: tentang membayar pajak kepada kaisar (Matius 22:15-22), tentang kebangkitan orang mati (Matius 22:23-33), tentang hukum yang terutama (Matius 22:34-40), dan tentang hubungan Yesus dengan Daud (Matius 22:41-46). Keseluruhan kontroversi itu diakhiri dengan kecaman Yesus terhadap para ahli Taurat dan orang-orang Farisi.
Kontroversi mengenai membayar pajak dimulai dengan perundingan orang-orang Farisi untuk dapat menjerat Yesus dengan pertanyaan jebakan. Sebelum percakapan ini, tentu saja mereka telah merasa tersinggung dengan perumpamaan-perumpamaan yang disampaikan Yesus dalam pengajaran-Nya. Oleh karenanya, diskusi yang mereka lakukan bukan untuk mencari tahu kebenaran yang sesungguhnya, melainkan agar Yesus salah menjawab dan orang banyak terprovokasi untuk menangkap dan menghukum-Nya. Soal pajak adalah isu yang seksi untuk menjebak Yesus.
Dalam masyarakat Yahudi pada zaman itu, pajak bukanlah soal menyenangkan. Mereka merasa dibebani dengan pelbagai jenis pajak. Sebagai wilayah yang dikuasai oleh penjajah Romawi, mereka terkena kewajiban membayar pajak. Selain pajak yang dipungut oleh penguasa Romawi, orang-orang Yahudi juga masih menanggung pajak yang dipungut oleh penguasa local dan juga otoritas Bait Allah. Oleh karena itu, berbicara pajak merupakan pokok yang sesitif. Sangat mungkin karena sensitivitas yang tinggi inilah, maka pajak menjadi pertanyaan penjerat yang ditujukan kepada Yesus.
Mereka datang dengan sebuah awal yang lembut. Mereka menyapa Yesus sebagai Guru yang baik. Mereka mengatakan bahwa Yesus adalah seorang yang jujur dan dengan kejujuran-Nya itu Ia mengajar di Bait Allah. Tak lupa, sanjungan itu diteruskan bahwa Yesus adalah seorang yang tidak takut kepada siapa pun sebab Ia tidak mencari muka. Dalam teknik komunikasi, inilah yang disebut captatio benevolentiae; ungkapan-ungkapan pujian untuk menarik hati lawan bicara. Nah, berhati-hatilah kalau seseorang menyanjung Anda setinggi langit.
Namun, mata Yesus mampu menyelami hati orang, Ia tidak dapat dikelabui dengan siasat tersembunyi. Benar, Ia adalah orang yang tanpa memandang muka. Yesus dengan jujur menyingkapkan kemunafikan yang ada dalam hati orang-orang yang mencoba menjebak-Nya.
Masalah sensitif, tentang membayar pajak kepada penjajah Romawi ditanggapi-Nya dengan menyingkapkan terlebih dahulu bahwa pihak yang membawa masalah, dalam hal ini orang-orang Farisi dan teman-teman mereka juga membawa dan menggunakan mata uang yang sedang dipermasalahkan itu. Yesus tidak memberi jawaban tentang masalah abstrak, tetapi simpel dan konkret bagi pengguna fasilitas yang disediakan oleh pemerintah, entah baik atau buruk: barangsiapa menerima, harus mengembalikan, harus ikut membayar apa yang dinikmatinya. Jawaban konkret itu disertai jawaban yang lebih mendasar, “Kembalikan kepada Allah apa yang menjadi kepunyaan Allah”. Segala-galanya yang kita terima dari Bapa, hendaknya kita kembalikan kepada Dia, dengan mencari Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya. Usaha kaum Farisi untuk menjerat Yesus akhirnya kandas. Yesus membalikkan-Nya menjadi kesempatan untuk mewartakan inti pokok Injil kepada mereka.
Kuasa dan kewenangan yang ditampilkan kaum Farisi ternyata bukan untuk menegaskan atau mengkonfirmasi kebenaran, melainkan untuk kepentingan mereka sendiri. Untuk menjerat dan akhirnya menyingkirkan Kebenaran yang sesungguh-Nya itu. Berhati-hatilah ketika kita merasa punya otoritas atau kuasa, janganlah menggunakannya untuk pemuasan kepentingan sendiri, lalu menindas dan menyingkirkan orang lain. Sebab, jika itu yang terjadi, kebenaran yang sesungguhnya itu akan balik memukul kita.
Melalui pengajaran Yesus dalam menjawab pertanyaan rumit dan jebakan ini, kita menyadari bahwa ada kuasa-kuasa yang kepada mereka kita harus tunduk. Kuasa Allah, mutlak kita harus tunduk dan memberikan segalanya, karena berasal dari Dialah segala sesuatu yang ada pada kita. Kepada penguasa pemerintahan, oleh karena melalui merekalah tatanan ketertiban dapat terjadi. Di sinilah kita juga belajar mengelola kuasa atau kewenangan yang melekat pada kita untuk tidak semena-mena, melainkan mengelolanya dengan dasar cinta yang dari Allah, agar segala sesuatunya mendatangkan kebaikan.
Jakarta 9 Oktober 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar