Jumat, 30 Oktober 2020

BIJAKSANA DAN ANTISIPATIF

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “bijaksana” diartikan sebagai “selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya); arif, tajam pikiran, pandai dan hati-hati (cermat, teliti, dan sebagainya) apabila menghadapi kesulitan dan sebagainya. Tentu saja sikap bijaksana merupakan sikap yang baik. Siapa pun senang bergaul dengan orang yang bijaksana. Sayangnya, meski kita semua suka sikap bijaksana tidak serta merta kita berupaya, berjuang sekuat tenaga untuk mempunyai karakter diri yang bijaksana.

 

Dalam Injil Matius, bijaksana (phronimos) menunjuk kepada mereka yang melakukan firman Yesus tentang kehendak Bapa (Matius 7:24-25) dan dengan demikian siap untuk hari Tuhan kapan pun. Kebalikan dari sikap bijaksana adalah “bodoh”. Orang bodoh bukan berarti tidak mempunyai akal budi. Orang bodoh tahu, bisa juga mengerti firman itu namun tidak mau melakukannya. Merujuk pada Matius 7:26-27 orang bodoh berujung pada malapetaka.

 

Sikap bijaksana dan yang sebaliknya diangkat Yesus melalui perumpamaan. Perumpamaan itu berkisah tentang lima gadis bijaksana dan lima gadis yang bodoh. Perumpamaan ini dibuka dengan keluarnya sepuluh gadis dari rumah pengantin perempuan untuk menyongsong mempelai laki-laki. Sepuluh gadis ini adalah teman pengiring atau “dayang-dayang” yang mendampingi mempelai perempuan. Mereka mungkin sama seperti dayang-dayang di istana raja kuno. Mereka belum menikah, sehingga dalam bahasa Yunani, mereka disebut parthenoi (harfiah: perawan). Tampaknya peran mereka dalam pesta pernikahan ini sangat penting. Mereka bertugas menyongsong kedatangan mempelai laki-laki, sebuah tugas penting dan membahagiakan. Mereka datang untuk bersiap sedia melayani dan selanjutnya menjadi saksi dan tentu saja menikmati kebahagiaan dalam pesta kedua mempelai itu.

 

Lima gadis disebut Yesus sebagai gadis-gadis yang bijaksana. Karakter bijaksana diperlihatkan dalam kesiap-siagaan mereka dalam tugas yang maha penting itu. Mereka tidak hanya membawa pelita masing-masing, mereka juga menyiapkan cadangan minyak dalam buli-buli (Matius 25:4). Bi balik kesiapan menyediakan minyak cadangan, mereka mengantisipasi berbagai kemungkinan terburuk, yakni bahwa sang mempelai laki-laki dapat saja mengalami gangguan dalam perjalanan dan tiba larut malam. Ternyata sikap antisipatif ini benar. Mempelai laki-laki datang sudah larut malam. Sama seperti lima gadis yang lainnya, gadis-gadis bijaksana ini pun tertidur. Namun, ada yang membedakan, pelita kelima gadis bijaksana ini tetap menyala. Mereka menyambut mempelai laki-laki dan kemudian masuk dalam kegembiraan pesta.

 

Sebaliknya, tragis menimpa lima gadis lain yang disebut bodoh. Pelita mereka padam ketika sang mempelai datang. Lima gadis malang itu meminta berbagi minyak dari gadis-gadis yang membawa minyak cadangan. Bagaimana respons mereka? Lima gadis bijaksana itu menolak. Kejam! Ya, mereka seolah terlihat sangat egois dan tidak mau membantu teman-temannya sendiri. Apakah memang begitu, mereka egois?

 

Mari kita telisik alasan kelima gadis bijaksana yang enggan memberikan minyak cadangan kepada mereka. Gadis-gadis bijaksana itu menjelaskan bahwa mereka tidak dapat memberikan Sebagian minyak cadangan mereka karena ini adalah urusan serius. Membaginya, bisa saja menjadi tidak berguna, tidak cukup untuk keperluan pesta dan akhirnya padam semuanya. Di sinilah Yesus mau mengingatkan bahwa kesetiaan melakukan kehendak Allah memang bukan barang yang bisa dibagi-bagi seperti hanya minyak atau pulsa. Persiapan untuk menyambut hari kedatangan Tuhan pada hakikatnya menjadi tugas dan tanggungjawab masing-masing murid Yesus, tidak dapat dipinjamkan atau diwakilkan kepada orang lain. Maka tidak pada tempatnya mempermasalahkan bahwa gadis-gadis bijaksana itu adalah orang-orang yang egois! Anda dan saya tidak dapat menuntut orang lain untuk melakukan kebaikan kepada kita, sementara diri kita sendiri teledor dan tidak antisipatif. Orang lain tidak bisa dimintai pertanggung jawaban dari kekeliruan yang kita lakukan.

 

Meskipun demikian, gadis-gadis bijaksana itu tetap memberikan saran. Mereka diminta untuk membeli minyak ke warung yang menjualnya. Tengah malam cari tukang minyak di m ana? Ini mengandaikan kebiasaan bahwa ketika ada kenduri, maka warung-warung juga akan buka sampai larut malam mengikut keramaian yang ada. Sayangnya, warung penjual minyak itu jauh sehingga ketika mereka sedang mencari untuk membelinya, sang mempelai pria datang. Tugas utama penyambutan tidak dapat dilakukan oleh mereka.

 

Perjamuan pernikahan melambangkan pesta keselamatan pada akhir zaman bersama dengan Kristus. Dalam konteks akhir zaman, pintu yang terbuka atau yang tertutup berarti mendapat bagian dalam kebahagiaan kekal atau tersingkir serta terbuang. Bagi kelima gadis bijaksana, mereka mendapat bagian dari kebahagiaan. Ini melambangkan pintu itu terbuka bagi siapa pun yang hidup “bijaksana”. 

 

Memasuki pesta “perjamuan pernikahan” bersama Tuhan itu mengandaikan suatu sikap antisipatif yang tekun. Tidak seorang pun tahu kapan akhir zaman itu tiba; kapan Yesus Kristus datang kembali. Orang yang ditemukan sedang melakukan kehendak Bapa akan menemukan pintu terbuka dan tentu saja ia dapat masuk. Sebaliknya, orang dapat juga menemukan pintu itu sudah tertutup, dapat dikucilkan, bila tidak senantiasa siap sedia di dalam iman dan kebenaran, dalam kasih yang bukan hanya sesaat, melainkan terus-menerus. Pada saat kedatangan Tuhan tidak mungkin mengandalkan jasa orang lain. Meskipun Yesus mengajarkan kita untuk saling mendukung dalam perjalanan, namun dalam hal menyambut kedatangan Tuhan merupakan tanggungjawab pribadi. Tidak ada pula rumusan mujarab dengan memanggil “Tuhan, Tuhan!” untuk membuka pintu.

 

Dalam hal inilah kita juga diingatkan untuk bukan sekedar ibadat bibir, ibadat ritual formal seperti pada zaman Nabi Amos yang mengutamakan ritual perayaan namun mengabaikan moralitas sebagai umat Tuhan. Akhirnya, hari Tuhan itu bukanlah “pesta kegembiraan”, melainkan kengerian. Tuhan menghendaki kita menjadi pelaku firman bukan sekedar pendengar saja untuk dapat merayakan sukacita yang sesungguhnya. 

 

Kita semua senang berkawan dengan orang-orang yang bijaksana. Maka, jadilah kita juga orang yang bijaksana. Berjuanglah untuk menjadi orang yang bijaksana, jangan pernah mengandalkan jasa orang lain karena kita masing-masing akan dimintai pertanggungjawaban.

 

Jakarta, 30 Oktober 2020 

 

 

Jumat, 23 Oktober 2020

BERHASIL DI JALAN TUHAN

Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” (Matius 23:12). Itulah bunyi ayat penutup pada Injil yang kita baca hari ini. Injil hari ini tidak biasa. Ya, tidak biasa oleh karena biasanya Injil itu merupakan berita atau kabar gembira, tapi Matius 23 ini bukan kabar gembira, kalau Anda baca sampai habis, isinya adalah kabar celaka! Isinya kecaman atau bahkan kutukan Yesus terhadap orang-orang yang selalu memperlihatkan karakter tinggi hati. Mereka yang dikecam adalah pemuka-pemuka agama Yahudi yang selalu ingin tampil saleh. 

 

Sulit untuk dibantah, kebanyakan orang punya kecenderungan untuk membanggakan apa yang ada pada dirinya. Kecenderungan orang untuk tidak rendah hati banyak terjadi di segala bidang dan profesi. Orang cenderung mengharapkan sanjungan atau pujian terhadap apa yang dimiliki atau berhasil diraihnya. Ya, benar ini kecenderungan manusiawi namun hakikatnya sangat tidak terpuji. “Betapa munafiknya kita mena kala kita berbicara tentang diri sendiri. Kata-kata kita tampak rendah hati, sementara hati kita sangat berbangga hati!” kata Augustus Hare, seorang penulis Inggris abad ke-19.

 

Barang kali apa yang diungkapkan oleh Augustus Hare itulah yang dilihat Yesus dalam diri para pemimpin Yahudi yang terus berpolemik dengan-Nya. Beberapa kali mereka tidak berkutik bersoal jawab dengan Yesus. Jebakan demi jebakan dapat dipatahkan oleh Yesus. Lalu, mereka bungkam dan tidak ada lagi seorang pun yang mengajukan pertanyaan apalagi sanggahan kepada-Nya. Sekarang Yesus mengarahkan pengajaran-Nya kepada para murid dan orang banyak yang masih mau mendengarkan-Nya. Isi ucapan-ucapan Yesus yang terekam dalam Injil Matius 23 sepenuhnya berisi kecaman-kecaman terhadap orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. Yesus mengkritik mereka karena kebutaan dan legalisme yang sempit dari mereka.

 

Yesus tidak sedang mengajukan tuduhan langsung kepada orang-orang Farisi atau ahli-ahli Taurat. Tetapi Yesus sedang mengajar para murid dan pendengar-Nya dengan maksud untuk membangun sebuah kehidupan yang berbeda dari kehidupan yang dibangun oleh orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. Dengan kata lain, hidup para murid Yesus harus dijauhkan dari kemunafikan, kebutaan dan legalisme sempit orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. 

 

Yesus menyebut bahwa orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat telah menduduki kursi Musa. Ya, mereka memang dikenal sebagai orang-orang yang mendasarkan seluruh hidupnya pada Taurat. Mereka adalah para pengajar yang disegani oleh masyarakat Yahudi. Hal ini merupakan kebanggaan dan kesuksesan hidup buat mereka. Yesus tidak menolak, Ia mengakui status mereka ini. Oleh karena itu Yesus meminta agar para murid-Nya dan orang banyak yang mendengarkan-Nya menuruti dan melakukan segala sesuatu yang mereka ajarkan. 

 

Tetapi pengakuan dan perintah Yesus itu disertai dengan peringatan untuk tidak menuruti perbuatan-perbuatan mereka. Mengapa? Karena mereka pandai mengajarkannya tetapi tidak melakukannya. Tema ini banyak muncul dalam Injil Matius. Bagi Yesus, butuh keselarasan antara omongan dan tindakan; antara kepercayaan dan praktik hidup sehari-hari. Mengapa perbuatan para pengajar itu tidak boleh ditiru? Mereka meletakkan beban berat di pundak orang lain, sementara mereka sendiri tidak mau menanggungnya. Mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan mereka hanya supaya dilihat dan dihormati oleh orang banyak. Mereka suka dipanggil rabi dan pemimpin. Dan kehidupan yang seperti inilah yang dipandang berhasil atau sukses buat mereka.

 

Kebalikan dengan perbuatan para pengajar itu, setiap murid Yesus tidak boleh meniru mereka. Mereka tidak boleh menyebut diri sebagai rabi atau pemimpin. Yesus sendiri pernah mengatakan bahwa barangsiapa ingin menjadi yang terbesar, ia harus menjadi pelayan. Yang ingin ditinggikan, ia harus merendahkan diri. Maka unsur hidup dalam kerendahan hati menjadi pokok ajaran penting Yesus. Hidup para murid tidak dibangun hanya supaya mereka dilihat orang, dihormati, disapa sebagai guru atau pemimpin.

 

Jelas bagi Yesus berbicara tentang keberhasilan hidup itu bukanlah kehidupan yang penuh sanjungan, melainkan kerendahan hati. Dengan demikian kerendahan hati merupakan jalan kehidupan atau gaya hidup para pengikut Yesus. Jadi, keberhasilan seseorang di hadapan Yesus adalah ketika Ia berada dalam jalan rendah hati!

 

John Wooden, pelatih basket ternama Amerika Serikat, mempunyai pandangan sekaligus nasihat tentang kesombongan dan kerendahan hati. Ia berkata, “Talenta adalah pemberian Tuhan. Jadilah orang yang rendah hati. Popularitas adalah pemberian orang-orang. Berterimakasihlah! Kesombongan adalah hasil tingkah lakumu sendiri. Hati-hatilah!” Benar, dengan menjadi sombong kita wajib berhati-hati, dunia olah raga banyak mencatat, orang-orang hebat kalah karena terlalu sombong dan mengganggap rendah lawan mereka.

 

Kesombongan bisa berasal dari kebiasaan membangga-banggakan diri. “Membanggakan diri dan sombong adalah dosa asli manusia,” kata Alain Rene Le Sage (penulis Perancis abad ke-18). Dengan begitu, jelaslah bahwa kesombongan bukan jalan Tuhan bahkan Tuhan membencinya. Dan kesombongan itu, cepat atau lambat, akan meruntuhkan segala pencapaian yang telah ada. Dan pada ujungnya akan mempermalukan diri sendiri.

 

“Satu karakteristik kekuatan autentik yang sering kali dibaikan orang adalah kerendahan hati. Itu adalah hal penting untuk banyak alasan. Seorang yang rendah hati melangkah dalam dunia yang bersahabat. Ia mendapatkan kawan di mana pun ia berada, ke mana pun ia melangkah. Persepsi hidupnya jauh melampaui tampilan kulit luarnya, karena misi hidupnya sangat mendalam,” kata Gary Zukav, seorang pengajar spiritual lulusan Harvard.

 

Yesus menghendaki para murid ada dalam jalan-Nya, jalan kerendahan hati karena di sinilah mereka tidak akan menjumpai kutuk dan celaka seperti yang Ia tujukan untuk orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. Jalan kerendahan hati tidaklah mudah. Mengapa? Ya, karena musuh kita bukanlah orang atau pihak lain melainkan diri kita sendiri. Namun, percayalah ketika kita berhasil melakukannya, maka kitalah orang-orang yang beruntung, orang-orang yang berhasil di jalan Tuhan!

 

Jakarta, 23 Oktober 2020

 

 

 

Jumat, 16 Oktober 2020

KELUARGA YANG MEMAHAMI FIRMAN

Saya kira kita semua sependapat bahwa manusia adalah makhluk yang bertanya. Melalui pertanyaan, manusia mengenal banyak pengetahuan dan kebenaran, itulah setidaknya yang dilakukan oleh Socrates, salah seorang filsuf legendaris. Ia selalu memakai metode bertanya dan terus menelusuri jawaban lewat pertanyaan kembali sampai menemukan titik terinci dari jawaban orang yang menjawabnya. Ketika pertanyaan itu terus mengalir mana di sana akan ada upaya untuk terus mendalami, menelaah sehingga otak atau logika akan bekerja dengan maksimal secara konstruktif. Melalui metode itu pengetahuan akan lahir sangat rinci dan runut dengan sendirinya. Untuk sampai pada jawaban runut dan rinci itu Socrates menggunakan refleksi dan menyentil agar pengetahuan sang penjawab itu bisa terus diingat dan dapat dikombinasikan dengan berbagai unsur kajian yang lain. Mekanisme dialog menjadikan proses penggalian pengetahuan tidak membosankan, alih-alih membangun suasana hidup. Proses ini dalam istilah Faulo Freire disebut dengan pembelajaran andragogy, yakni: proses pembelajaran yang melibatkan subyek pembelajar secara aktif.

 

Socrates menghargai benar dialog, artinya komunikasi dua arah yang benar-benar saling menghargai satu dengan yang lainnya. Pertanyaan-pertanyaan yang dipergunakan adalah sebagai alat atau media untuk orang secara sadar dan berpartisipasi menemukannya. Ujungnya adalah memahami sebuah pokok kebenaran tertentu. 

 

Para pemimpin Yahudi, di antaranya orang Farisi, Ahli Taurat, orang Saduki, menggunakan metode bertanya ketika berdialog – tepatnya bukan dialog, karena mereka tidak bersedia mendengar – dengan Yesus. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan bukan sama sekali berangkat dari ketidaktahuan mereka yang ingin tahu dan memahami. Bukan juga untuk mendengarkan dari sudut pandang Yesus yang sedang diajak diskusi. Melainkan pertanyaan itu dirancang untuk menguji dan menjebak Yesus. Mereka bukan menunggu jawaban yang benar dan membangun iman mereka, melainkan jawaban yang salah. Di mana dengan jawaban yang salah itu mereka dapat menghakimi dan menjatuhkan vonis. Jawaban yang salah dari Yesus akan menjadi bahan untuk mereka memprovokasi orang banyak agar dapat menyingkirkan Yesus. Sayangnya, Yesus tidak sebodoh yang mereka kira. Ia tahu niat busuk mereka itu.

 

Adalah sebuah fakta mengherankan, dalam banyak hal orang Farisi itu bertolak belakang dengan kaum Saduki, misalnya saja tentang keyakinan kebangkitan sesudah kematian. Saduki tidak percaya adanya kebangkitan orang mati, namun Farisi meyakini. Namun, kali ini setelah Yesus membungkam orang-orang Saduki tentang pokok kebangkitan orang mati – yang seharusnya dengan ini orang Farisi senang – alih-alih mendukung Yesus, orang-orang Farisi ini malah terus berusaha memojokkan Yesus. Mereka bahu-membahu sepakat membungkam Yesus dengan pertanyaan-pertanyaan jebakan itu.

 

Orng Farisi itu bertanya, “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?” Ini pertanyaan khas mereka. Mengapa? Mereka ahli hukum. Ya, hukum Taurat. “Makanan” sehari-hari mereka adalah Taurat. Mereka ahli dalam hal ini. Mereka hidup dalam adat-istiadat nenek moyang mereka. Yang dimaksud dengan adat-istiadat nenek moyang adalah penafsiran mereka atas Taurat, penjelasan-penjelasan terhadap beberapa ketetapan-ketetapan Taurat yang dipandang belum memberi kejelasan. Orang Farisi sangat dekat dengan hukum. Maka wajarlah kalau mereka bertanya tentang hukum mana yang paling utama dalam Taurat. Jelaslah di sini bahwa pertanyaan mereka merupakan bidang keahlian mereka, itu artinya pertanyaan yang dimaksud bukan berangkat dari keingintahuan atau berangkat dari orang yang haus untuk belajar. Bukan!

 

Yesus tahu pertanyaan ini adalah pertanyaan menguji atau menjebak. Yesus menjawab pertanyaan itu dengan merujuk dua hukum yang paling utama. Yang terutama dan yang pertama adalah mengasihi Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dan dengan segenap akal budi. Hukum ini adalah bagian dari yang kita kenal sebagai shema yang menjadi doa harian orang-orang Yahudi (Ulangan 6:5). Kasih kepada Allah itu meliputi keutuhan hidup manusia (hati, jiwa, akal budi). Oleh karena itu, kasih kepada Allah merupakan kasih yang total, sebagaimana Allah juga mengasihi manusia dengan total.

 

Perintah kedua, mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri. Kita mengingat, dalam Injil Matius mengasihi sesama itu tidak hanya mencakup tetangga atau orang sebangsa tetapi juga musuh-musuh (Matius 5:43-45). Ukuran mengasihi itu adalah “seperti dirimu sendiri”, ini mencerminkan kaidah atau hukum emas (golden rule): “Segala sesuatu yang kamu kehendaki orang lain perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka” (Matius 7:12). 

 

Kasih kepada sesama dikatakan Yesus “… Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu ialah,..” (Matius 22:39), itu artinya atau pada hakikatnya kasih kepada sesama tidak dapat dipisahkan dari kasih kepada Allah. Ini sejalan dengan 1 Yohanes 4:20, “Jikalau seorang berkata: ‘Aku mengasihi Allah’, dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.” Bila kasih kepada Allah tidak kita wujudnyatakan dalam tindakan cinta kepada sesama kita yang dikasihi oleh Allah, kasih kita kepada Allah menjadi tidak utuh. Dan bila kasih kita kepada sesama tidak dijiwai oleh kasih kepada Allah, cinta kasih itu sulit bertahan di tengah-tengah tantangan. 

 

Dengan jawaban ini kemudian Yesus menegaskan bahwa semua perintah dan peraturan lain tergantung pada perintah kasih yang utama, dalam arti: semua tindakan kasih itu mesti diilhami oleh kasih yang ganda ini. Ketaatan hukum tanpa kasih kepada Allah dan sesama kita adalah “gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing”  (1 Korintus 13:1-3). 

 

Tampaknya dari jawaban Yesus itu orang-orang Farisi diam dan kini Yesus balik bertanya. Ia mengajukan pertanyaan kepada mereka tentang apa pendapat mereka mengenai Mesias. Mereka menjawab bahwa Mesias adalah anak Daud. Yesus kemudian melanjutkan pertanyaan lagi, “Jika demikian, bagaimanakah Daud oleh pimpinan Roh dapat menyebut Dia (Mesias) Tuannya..” Jika Mesias itu adalah Tuan dari Daud, bagaimana mungkin Dia itu adalah anak Daud? Untuk pertanyaan kedua ini tidak ada jawaban. Dan sejak hari itu, tidak ada seorang pun yang berani menanyakan sesuatu kepada-Nya. Namun, bukan berarti mereka menuruti apa yang dijawab dan diajarkan Yesus, melainkan mereka terus mencari cara untuk menjerat dan menghukum Yesus.

 

Hari ini kita belajar dari tokoh-tokoh yang berjumpa dan berdiskusi dengan Yesus. Mereka bertanya namun sayangnya bukan untuk memahami, melainkan untuk menguji dan menjatuhkan Yesus. Bukankah ada banyak di antara kita yang menggunakan pengetahuan, atau akal budi hanya untuk kepuasan sendiri? Kita bangga kalau orang yang berdiskusi dengan kita tidak berkutik, tidak bisa menjawab pertanyaan dari kita. Kita bangga dengan banyaknya pengetahuan yang ada pada kita, dan kemudian berhenti untuk memahami sungguh-sungguh kehendak Tuhan melalui firman-Nya. Ilustrasi perumpamaan yang dipakai Yesus banyak untuk menggambarkan orang yang bangga dengan pengetahuan hukumnya namun akhirnya tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Surga. Nah, apakah kita akan mengulang? Saya kira kita tidak perlu mengikuti contoh yang keliru. Contohlah yang baik! Pergunakan kesempatan yang ada untuk belajar mengetahui, memahami dan kemudian melakukan firman-Nya.

 

Marilah dalam keluarga, kita ciptakan suasana kondusif dalam belajar dan memahami firman Tuhan. Bila saja untuk kegiatan-kegiatan lain kita membutuhkan waktu, dana dan fasilitas-fasilitas lainnya, tidakkah kita tergerak untuk menciptakan suasana kebersamaan yang indah dalam keluarga untuk memahami firman Tuhan? Berilah kesempatan untuk masing-masing anggota keluarga melakukan dan berbagi firman. Dalam kondisi seperti inilah kita akan merasakan kehadiran Tuhan itu benar-benar nyata!

 

Jakarta, 16 Oktober 2020

Jumat, 09 Oktober 2020

MENGELOLA KEKUASAAN DALAM KELUARGA

Hari-hari belakangan ini kita cemas bukan saja virus Covid-19, alih-alih mereda, terus meningkat. Tetapi juga dengan aksi-aksi demo yang menjurus pada vandalisme dan anarkis. Entah berapa kerugian yang harus ditanggung untuk membangun kembali fasilitas umum yang rusak, hancur dan terbakar. Tentu saja selalu ada pembenaran dalam melakukan aksi-aksi ini. Mereka yang berdemo umumnya memandang pemerintah dan DPR menggunakan kuasanya sewenang-wenang. Penetapan undang-undang Omnibus law Cipta Kerja dipandang sebagai bentuk penindasan baru terhadap para pekerja; buruh. Maka ini wajib dilawan!

 

Di pihak lain, pemerintah dan DPR, termasuk juga orang-orang yang tidak menyukai aksi-aksi demo anarkis ini berpendapat bahwa mereka yang di jalanan itu bertindak sewenang-wenang. Mentang-mentang jumlahnya banyak, mereka merasa berkuasa di jalanan dan bertindak semaunya. Inilah kekuasaan yang sedang dipertontonkan. Ya, kekuasaan tanpa dialog dan tanpa mau mendengar.

 

Berbicara tentang kekuasaan, sering kali kita menghubungkannya dengan pemerintahan, lembaga-lembaga tinggi negara atau kekuasaan politik. Padahal, di mana pun kita dapat menjumpai praktik-praktik kekuasaan. Di pasar, di sekolah, di perusahaan, di ruang bisnis, di gereja, bahkan di rumah kita sendiri. Setiap kita dipercayakan sebuah peran, entah itu peran sebagai orang tua: papa atau mama, peran sebagai anak, peran sebagai pasangan: istri atau suami. Di dalam peran-peran itu terdapat hak dan tanggung jawab. Seiring dengan itu juga ada semacam “kuasa” yang melekat. Misalnya, orang tua yang bekerja. Ia berperan mencari dan menyediakan uang agar seisi rumah terpenuhi kebutuhannya. Ada yang mengelola peran ini dengan baik. Cinta kasih yang memotivasi sehingga ia menafkahi keluarga dengan sukacita, penuh cinta, tidak memaksakan dan tidak menuntut untuk dihormati dan didahulukan segalanya. Namun, tidak sedikit juga yang merasa diri punya kuasa. Uang ada padaku, maka seisi rumah harus menuruti apa yang aku mau! 

 

Demikian juga, seorang Ibu. Ia punya “kuasa” di rumah. Menata rumah, merawat dan menyiapkan segala sesuatu. Kalau “kuasa” itu dikelola dengan baik, maka rumah bagaikan taman, kebun penuh kembang, keluarga bagai oase di padang gurun, yang memberikan kesegaran kepada setiap anggota keluarganya. Namun, bisa terjadi kuasa ini tidak dikelola dengan baik, ia hanya mau mengatur dan merasa diri paling capai bekerja di rumah. Perasaannya tidak dikelola dengan baik sehingga rumah bagaikan neraka, orang-orangnya tidak betah tinggal di rumah. Rasanya tidak ada seorang pun yang punya impian membangun rumah seperti ini.

 

Di sini pentingnya mengelola kuasa atau tepatnya kepercayaan yang Tuhan berikan kepada kita masing-masing agar kehidupan dalam keluarga itu menyenangkan alih-alih menjadi berkat. Konflik-konflik yang terjadi kalau kita telusuri berasal dari kegagalan setiap pihak dalam mengelola wewenang yang Tuhan percayakan. Dalam kisah-kisah konflik yang terjadi antara Yesus dan para pemimpin agama Yahudi juga kita menemukan kegagalan para pemimpin agama itu dalam mengelola kuasa yang melekat pada diri mereka.

 

Yerusalem adalah kota di mana konflik antara pemuka agama Yahudi dan Yesus memuncak. Ini dapat kita sadari oleh karena para penentang itu tinggal di Yerusalem. Para penentang sengaja datang kepada Yesus untuk mencobai dan menjerat Yesus. Tiga kali mereka datang untuk menjerat Yesus dengan pertanyaan-pertanyaan jebakan. Penentang-penentang utama Yesus itu adalah orang-orang Farisi, para ahli Taurat, orang-orang Saduki dan juga kelompok Herodian.

 

Beberapa tema kontroversi antara lain: tentang membayar pajak kepada kaisar (Matius 22:15-22), tentang kebangkitan orang mati (Matius 22:23-33), tentang hukum yang terutama (Matius 22:34-40), dan tentang hubungan Yesus dengan Daud (Matius 22:41-46). Keseluruhan kontroversi itu diakhiri dengan kecaman Yesus terhadap para ahli Taurat dan orang-orang Farisi.

 

Kontroversi mengenai membayar pajak dimulai dengan perundingan orang-orang Farisi untuk dapat menjerat Yesus dengan pertanyaan jebakan. Sebelum percakapan ini, tentu saja mereka telah merasa tersinggung dengan perumpamaan-perumpamaan yang disampaikan Yesus dalam pengajaran-Nya. Oleh karenanya, diskusi yang mereka lakukan bukan untuk mencari tahu kebenaran yang sesungguhnya, melainkan agar Yesus salah menjawab dan orang banyak terprovokasi untuk menangkap dan menghukum-Nya. Soal pajak adalah isu yang seksi untuk menjebak Yesus.

 

Dalam masyarakat Yahudi pada zaman itu, pajak bukanlah soal menyenangkan. Mereka merasa dibebani dengan pelbagai jenis pajak. Sebagai wilayah yang dikuasai oleh penjajah Romawi, mereka terkena kewajiban membayar pajak. Selain pajak yang dipungut oleh penguasa Romawi, orang-orang Yahudi juga masih menanggung pajak yang dipungut oleh penguasa local dan juga otoritas Bait Allah. Oleh karena itu, berbicara pajak merupakan pokok yang sesitif. Sangat mungkin karena sensitivitas yang tinggi inilah, maka pajak menjadi pertanyaan penjerat yang ditujukan kepada Yesus.

 

Mereka datang dengan sebuah awal yang lembut. Mereka menyapa Yesus sebagai Guru yang baik. Mereka mengatakan bahwa Yesus adalah seorang yang jujur dan dengan kejujuran-Nya itu Ia mengajar di Bait Allah. Tak lupa, sanjungan itu diteruskan bahwa Yesus adalah seorang yang tidak takut kepada siapa pun sebab Ia tidak mencari muka. Dalam teknik komunikasi, inilah yang disebut captatio benevolentiae; ungkapan-ungkapan pujian untuk menarik hati lawan bicara. Nah, berhati-hatilah kalau seseorang menyanjung Anda setinggi langit.

 

Namun, mata Yesus mampu menyelami hati orang, Ia tidak dapat dikelabui dengan siasat tersembunyi. Benar, Ia adalah orang yang tanpa memandang muka. Yesus dengan jujur menyingkapkan kemunafikan yang ada dalam hati orang-orang yang mencoba menjebak-Nya.

 

Masalah sensitif, tentang membayar pajak kepada penjajah Romawi ditanggapi-Nya dengan menyingkapkan terlebih dahulu bahwa pihak yang membawa masalah, dalam hal ini orang-orang Farisi dan teman-teman mereka juga membawa dan menggunakan mata uang yang sedang dipermasalahkan itu. Yesus tidak memberi jawaban tentang masalah abstrak, tetapi simpel dan konkret bagi pengguna fasilitas yang disediakan oleh pemerintah, entah baik atau buruk: barangsiapa menerima, harus mengembalikan, harus ikut membayar apa yang dinikmatinya. Jawaban konkret itu disertai jawaban yang lebih mendasar, “Kembalikan kepada Allah apa yang menjadi kepunyaan Allah”. Segala-galanya yang kita terima dari Bapa, hendaknya kita kembalikan kepada Dia, dengan mencari Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya. Usaha kaum Farisi untuk menjerat Yesus akhirnya kandas. Yesus membalikkan-Nya menjadi kesempatan untuk mewartakan inti pokok Injil kepada mereka.

 

Kuasa dan kewenangan yang ditampilkan kaum Farisi ternyata bukan untuk menegaskan atau mengkonfirmasi kebenaran, melainkan untuk kepentingan mereka sendiri. Untuk menjerat dan akhirnya menyingkirkan Kebenaran yang sesungguh-Nya itu. Berhati-hatilah ketika kita merasa punya otoritas atau kuasa, janganlah menggunakannya untuk pemuasan kepentingan sendiri, lalu menindas dan menyingkirkan orang lain. Sebab, jika itu yang terjadi, kebenaran yang sesungguhnya itu akan balik memukul kita.

 

Melalui pengajaran Yesus dalam menjawab pertanyaan rumit dan jebakan ini, kita menyadari bahwa ada kuasa-kuasa yang kepada mereka kita harus tunduk. Kuasa Allah, mutlak kita harus tunduk dan memberikan segalanya, karena berasal dari Dialah segala sesuatu yang ada pada kita. Kepada penguasa pemerintahan, oleh karena melalui merekalah tatanan ketertiban dapat terjadi. Di sinilah kita juga belajar mengelola kuasa atau kewenangan yang melekat pada kita untuk tidak semena-mena, melainkan mengelolanya dengan dasar cinta yang dari Allah, agar segala sesuatunya mendatangkan kebaikan.

 

 

Jakarta 9 Oktober 2020 

Kamis, 08 Oktober 2020

KELUARGA ADALAH KEBUN ANGGUR-NYA

Bahasa seperti apa yang kita kemas ketika hendak berkomunikasi dengan anak atau cucu kita yang masih kecil? Ya, tentu saja bahasa anak-anak. Bukan bahasa orang dewasa! Tujuannya? Jelas, agar anak atau cucu kita mengerti apa yang ingin kita sampaikan. Keluarga yang baik dicirikan dengan kualitas komunikasi yang baik. Komunikasi yang tidak satu arah, tetapi bisa saling mengerti dan memahami. Bukan sebaliknya, hanya mau dimengerti dan dilayani.

 

Allah selalu ingin menjalin komunikasi yang baik dengan umat-Nya. Komunikasi yang dapat dimengerti oleh umat-Nya. Maka jelas, Allah tidak menggunakan bahasa-Nya sendiri, melainkan Ia menggunakan bahasa manusia. Itulah sebabnya, kita banyak menjumpai Allah memakai para hamba-Nya dalam konteks dan bahasa yang mudah dimengerti. Allah menggunakan pelbagai cara agar umat itu memahami kasih dan kehendak-Nya.

 

Melalui Nabi Yesaya, dalam bacaan pertama hari Minggu ini (Yesaya 5;1-7), Allah menggunakan perumpamaan tentang “Kebun Anggur” untuk menegur umat-Nya. Kebun anggur tentu saja tidak asing buat mereka. mereka banyak bekerja di kebun-kebun anggur. Benar, sebagian besar dari mereka tentu saja bukan sebagai pemilik kebun anggur, melainkan sebagai penggarap atau orang-orang upahan. Dengan menggunakan perumpamaan tentang kebun anggur ini mestinya mereka memahami.

 

Allah menceritakan bagaikan seorang yang mempunyai kekasih. Kekasihnya itu mempunyai kebun anggur. Kebun anggur itu dipersiapkan sedemikian rupa, dikelola, digarap, dan dijagai. Sepertinya, yang empunya kebun anggur itu telah melakukan segalanya dengan optimal untuk kebun anggurnya. Tentu saja, pemilik kebun anggur menghendaki agar kebun anggur itu menghasilkan buah yang berkualitas: manis, banyak, dan besar.

 

Alih-alih menghasilkan buah yang berkualitas, kebun anggur itu ternyata menghasilkan buah yang buruk: anggur yang asam! Buah anggur yang asam adalah buah dari sifat bobrok, yang menginjak-injak keadilan dan mengabaikan kebenaran. Buah anggur masam itu juga adalah kemunafikan dalam hidup beragama yang sama sekali tidak berkenan kepada Allah. Di akhri perumpamaan, dijelaskan siapa yang dimaksud dengan kebun anggur itu:

 

“Sebab kebun anggur TUHAN semesta alam ialah kaum Israel, dan orang Yehuda ialah tanaman-tanaman kegemaran-Nya; dinanti-Nya keadilan, tetapi hanya ada kelaliman, dinanti-Nya kebenaran tetapi hanya ada keonaran” (Yesaya 5:7).

 

Tentu saja keadaan ini membuat Allah kesal, kecewa: harus berbuat apa lagi? rupa-rupanya keadaan ini tidak jauh berbeda setelah lima ratus tahun lebih berlangsung. Yesus berhadapan dengan tabiat “kebun anggur” yang sama. Mereka diberikan tanggung jawab, namun nyatanya tidak melakukannya seperti yang Allah kehendaki. Kalau dalam bacaan pertama terungkap bahwa Israel dan Yehuda bagaikan kebun anggur itu sendiri; dalam perumpamaan Yesus, mereka diungkapkan sebagai orang-orang yang dipercayakan menggarap dan bekerja di kebun anggur itu (Matius 21:33-46).

 

Perumpamaan yang disampaikan Yesus ini bisa saja terjadi dalam kenyataan sebenarnya: orang diupah, dimodali, diberi kepercayaan dan nantinya diharapkan menyetor hasilnya. Namun, sikap ingin memiliki, menguasai dan tidak bertanggung jawab membuat para pekerja yang diberikan mandate ini justru ingin mengambil alih dan menguasai. Seolah tak mau menyerah, si empunya modal ini mengirim utusan-utusannya mengingatkan dan menuntut tanggung jawab. Diambaikan bahkan dianiaya. Terakhir ia mengutus anaknya sendiri, namun akhirnya anak itu pun mereka bunuh.

 

Tampaknya semua cara tidak dapat menembus kekerasan dan kebebalan hati mereka terhadap kebenaran. Mereka merasa diri sedang menjaga dan melakukan kebenaran dan tidak perlu menanggapi apa yang diminta oleh tuan tanah itu. Dalam perumpamaan ini jelas, para imam dan orang Farisi yang memusuhi Yesus mengerti apa yang dimaksudkan oleh Yesus melalui perumpamaan penggarap-penggarap kebun anggur itu. Bangsa Yahudi telah membunuh para nabi utusan Allah. Ada yang dilempari batu, digergaji, dibunuh dengan pedang dan sangat menderita. Dan kemudian tidak lama lagi mereka akan membunuh Anak-Nya yang diutus! Tampaknya, semua cara yang dilakukan Allah tidak dapat menembus kekerasan dan kebebalan hati mereka.

 

Kisah seputar kebun anggur kebanyakan diungkap dalam Alkitab bernada sumbang. Baik kebun anggur itu sendiri maupun penggarap-penggrap kebun anggur merupakan gambaran yang tidak sedap didengar. Kisah kebun anggur adalah kisah kegagalan umat dalam merespon kebaikan Allah. Kisah kegagalan dalam bertanggung jawab atas mandate yang Tuhan berikan.

 

Kebun anggur adalah komunitas umat Tuhan. Komunitas terkecil umat Tuhan adalah keluarga. Dan keluarga kita pun bisa bercermin dari kisah-kisah kebun anggur Tuhan itu. Apa yang terjadi dalam keluarga kita? Apakah berhasil menghasilkan “buah yang manis”? yang diharapkan Tuhan? Buah yang manis dalam arti menghadirkan Tuhan dan Kerajaan-Nya di tengah-tengah keluarga. Buah yang manis dalam arti semua merasakan kasih sayang; setiap anggota mengalami cinta kasih Tuhan itu melalui anggota keluarga yang lain. Ada penerimaan dan pengampunan, dimengerti dan diperlakukan sama seperti diri kita ingin diperlakukan. Dan akhirnya melalui keluarga-keluarga kita Tuhan dimuliakan. Keluarga menghasilkan buah anggur yang baik; bukan yang asam atau pahit!

 

Mungkinkah setiap keluarga kita menjadi kebun anggur-Nya yang baik? Tentu saja sangat mungkin. Kita dapat menjadi kebun anggur Tuhan yang baik dengan cara tidak ada yang memonopoli kebenaran; tidak ada yang terus-menerus menuntut untuk dilayani. Dalam keluargalah mestinya kita belajar menghargai, belajar demokrasi, belajar melayani dan belajar memperlakukan sesama dengan baik.

 

Marilah kita rayakan bulan keluarga tahun ini dengan segala keterbatasannya untuk menata ulang keluarga kita. Untuk membentuk keluarga sesuai dengan apa yang Tuhan ingini. Dan tentu saja sesuai dengan tema kita, untuk menjai kebun anggur-Nya yang menghasilkan buah yang berkualitas!

 

Jakarta, 2 Oktober 2020

KELUARGA SEHATI

Kenduri atau pesta dalam budaya Timur erat kaitannya dengan keluarga, tak terkecuali pesta pernikahan. Lihatlah dalam pelbagai budaya dan adat istiadat di Nusantara kita ini. Tidak ada sebuah pesta pernikahan yang terpisah dari keluarga. Yang menikah bukan hanya pasangan: laki-laki dan perempuan yang sepakat mengikat janji setia, tetapi lebih dari itu. Kini kedua pihak keluarga menjadi satu keluarga besar. Pesta ini pun dirayakan, dinikmati dengan mengundang banyak orang. Orang-orang yang diundang itu tidak hanya diajak untuk bersukacita menikmati hidangan, melainkan diajak untuk bersilahturahmi dan diminta doa restu. Mereka datang diminta untuk sehati mendukung keluarga baru, pasangan mempelai itu.

 

Dapat dibayangkan kalau yang empunya hajat itu adalah seorang pembesar atau raja. Betapa meriah dan luar biasanya pesta yang digelar. Bisa saja pesta itu berlangsung berhari-hari. Pastilah dalam sukacitanya, raja akan menyajikan hidangan-hidangan kerajaan yang terbaik. Acara-acara hiburan yang paling meriah. Tujuannya jelas, raja ingin mengajak rakyatnya bersama-sama larut dalam kegembiraan. Raja mengundangrakyatnya sebagai keluarga untuk ikut serta dalam sukacitanya. Namun, sayangnya dalam kisah perumpamaan yang dipakai Yesus untuk menggambarkan tentang Kerajaan Allah keadaan ideal tidak terjadi(Matius 22:1-14). Alih-alih para undangan menyambut dengan sukacita, mereka mengabaikan, menolak bahkan membunuh utusan yang menyampaikan undangan itu.

 

Perumpamaan tentang perjamuan kawin ini merupakan perumpamaan ketiga dalam polemik Yesus dengan ahli-ahli Taurat dan orang Farisi. Perumpamaan Yesus kali ini bercerita tentang seorang raja yang mengundang banyak tamu untuk pesta pernikahan anaknya. Namun, dengan pelbagai alasan orang-orang yang diundang itu tidak mau datang. Raja mengutus para utusannya sekali lagi untuk mengatakan bahwa hidangan telah disiapkan: lembu-lembu jantang dan ternak piaraannya telah disembelih. Tetapi para undangan tetap bergeming: tidak mau datang! Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang pergi ke ladang, mengurus usahanya, bahkan ada yang menangkap utusan raja itu lalu membunuhnya.

 

Bagaimana reaksi raja? Karena penolakan para undangan itu, sang raja memerintahkan agar undangan itu diberikan kepada semua orang yang dijumpai di persimpangan-persimpangan jalan. Para utusan itu menyapa, mengundang mereka; orang jahat maupun orang baik sehingga penuhlah ruang pesta itu.

 

Kiasan perjamuan kawin dengan indah mengungkapkan kebersamaan, kegembiraan, dan damai sejahtera dalam Kerajaan Allah atau tepatnya suka cita Keluarga Besar Kerajaan Allah. Maka cukup mengherankan bahwa ada banyak orang yang diundang justru menolak undangan itu. Orang-orang yang sudah lama disiapkan, pada saat yang menentukan kehilangan perhatian karena tenggelam dalam urusan-urusannya sendiri, yang tentu saja menurut mereka urusan-urusan itu jauh lebih penting ketimbang memenuhi undangan sang raja. Inilah sebuah penggambaran bahwa sering kali kesenangan pribadi membuat orang lupa akan panggilannya untuk merayakan kehidupan bersama yang membahagiakan; bahkan menyebabkan orang akhirnya memusuhi utusan-utusan Allah.

 

Perumpamaan ini juga menggambarkan teguran Yesus terhadap sikap para pemimpin Yahudi yang menolak Yesus. Para pemimpin Yahudi diundang untuk menghadiri pesta perjamuan penyelamatan yang penuh sukacita. Namun, seperti perumpamaan penggarap-penggarap kebun anggur, mereka tidak hanya menolak, melainkan juga berusa menganiaya, menyingkirkan dan membunuh utusan sang tuan. Bahkan akhirnya mereka berusaha dan memang berhasil membunuh anak sang tuan itu.

 

Dalam perumpamaan yang senada ini, karena mereka menolak untuk bersukacita bersama dalam penyelamatan, undangan itu akhirnya berubah menjadi malapetaka bagi mereka. Lalu, undangan itu akhirnya disebarkan untuk semua orang; orang-orang yang kebetulan dijumpai, yang sama sekali tidak pernah menduganya. Orang-orang yang kebetulan dijumpai itu melambangkan sisa umat Yahudi yang terpinggirkan, orang-orang berdosa dan orang-orang yang mereka anggap kafir.  Di sinilah, Allah yang diperkenalkan Yesus adalah Allah yang penuh rakhmat dengan kasih-Nya.

 

Semua orang layak dan pantas menerima rakhmat kasih-Nya, Allah merangkul semua! Namun, tentu saja bukan dengan semau-maunya orang datang ke “pesta perjamuan kawin” itu. Ternyata, sang raja menjumpai ada orang yang tidak mengenakan pakaian pesta. Lalu orang ini ditangkap, diikat dan dicampakkan untuk dihukum. Mengerikan! Ini merupakan gambaran bagi mereka yang telah menerima undangan itu, yakni Injil Kerajaan Sorga. Kepada mereka juga harus waspada dan jangan berpikir bahwa karena dipanggil dan karena telah menanggapi Injil, lalu mereka berpikir pasti akan selamat. Sehingga kehidupan mereka “tidak memakai pakaian pesta”, mereka tidak mengenakan Injil itu sebagai way of life, tidak menghidupi Injil dalam kehidupan mereka. Dengan kata lain mereka sembrono karena menganggap diri sudah pasti selamat. Akhirnya, justru mereka dicampakan.

 

Tidak cukup seseorang mengakui nama Yesus, tidak cukup seseorang berteriak, “Tuhan-Tuhan” akan diselamatkan. Pengikut Yesus harus terus mengenakan pakaian pesta, artinya melaksanakan karya yang dituntut oleh kebenaran (Matius 7:21). Jadi, waspadalah “orang dalam”, para pengikut Yesus yang asal-asalan pun suatu ketika dapat saja dibuang. 

 

Di sinilah kita perlu punya kesehatian dengan si empunya pesta. Kita yang diundang dalam sukacita Kerajaan Allah, harus berpikir bahwa Allah memanggil kita untuk ada dalam persekutuan dengan-Nya. Layaknya, Bapa kita, Orang Tua kita, kita adalah keluarga besar Kerajaan Allah oleh karena itu mempunyai kesehatian merupakan keniscayaan. Artinya, kita mengerti, memahami apa yang menjadi kehendak-Nya. Dalam hal inilah kita masuk dalam suka cita perjamuan.

 

Keluarga kita adalah cerminan Keluarga Besar Kerajaan Surga. Keluarga yang sehati sepikir dalam mengerjakan apa yang Tuhan kehendaki supaya kelak tidak ada seorang pun dari anggota keluarga kita yang dibuang karena tidak “mengenakan pakaian pesta”. Dalam keluargalah kita belajar untuk saling mengingatkan dan mempraktikkan firman-Nya. Kesehatian keluarga itu tercermin bukan hanya dalam kata yang sepakat. Melainkan setiap anggota keluarga mau melakukan firman itu dalam kehidupan sehari-hari.

 

Jakarta, 8 Oktober 2020