Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “bijaksana” diartikan sebagai “selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya); arif, tajam pikiran, pandai dan hati-hati (cermat, teliti, dan sebagainya) apabila menghadapi kesulitan dan sebagainya. Tentu saja sikap bijaksana merupakan sikap yang baik. Siapa pun senang bergaul dengan orang yang bijaksana. Sayangnya, meski kita semua suka sikap bijaksana tidak serta merta kita berupaya, berjuang sekuat tenaga untuk mempunyai karakter diri yang bijaksana.
Dalam Injil Matius, bijaksana (phronimos) menunjuk kepada mereka yang melakukan firman Yesus tentang kehendak Bapa (Matius 7:24-25) dan dengan demikian siap untuk hari Tuhan kapan pun. Kebalikan dari sikap bijaksana adalah “bodoh”. Orang bodoh bukan berarti tidak mempunyai akal budi. Orang bodoh tahu, bisa juga mengerti firman itu namun tidak mau melakukannya. Merujuk pada Matius 7:26-27 orang bodoh berujung pada malapetaka.
Sikap bijaksana dan yang sebaliknya diangkat Yesus melalui perumpamaan. Perumpamaan itu berkisah tentang lima gadis bijaksana dan lima gadis yang bodoh. Perumpamaan ini dibuka dengan keluarnya sepuluh gadis dari rumah pengantin perempuan untuk menyongsong mempelai laki-laki. Sepuluh gadis ini adalah teman pengiring atau “dayang-dayang” yang mendampingi mempelai perempuan. Mereka mungkin sama seperti dayang-dayang di istana raja kuno. Mereka belum menikah, sehingga dalam bahasa Yunani, mereka disebut parthenoi (harfiah: perawan). Tampaknya peran mereka dalam pesta pernikahan ini sangat penting. Mereka bertugas menyongsong kedatangan mempelai laki-laki, sebuah tugas penting dan membahagiakan. Mereka datang untuk bersiap sedia melayani dan selanjutnya menjadi saksi dan tentu saja menikmati kebahagiaan dalam pesta kedua mempelai itu.
Lima gadis disebut Yesus sebagai gadis-gadis yang bijaksana. Karakter bijaksana diperlihatkan dalam kesiap-siagaan mereka dalam tugas yang maha penting itu. Mereka tidak hanya membawa pelita masing-masing, mereka juga menyiapkan cadangan minyak dalam buli-buli (Matius 25:4). Bi balik kesiapan menyediakan minyak cadangan, mereka mengantisipasi berbagai kemungkinan terburuk, yakni bahwa sang mempelai laki-laki dapat saja mengalami gangguan dalam perjalanan dan tiba larut malam. Ternyata sikap antisipatif ini benar. Mempelai laki-laki datang sudah larut malam. Sama seperti lima gadis yang lainnya, gadis-gadis bijaksana ini pun tertidur. Namun, ada yang membedakan, pelita kelima gadis bijaksana ini tetap menyala. Mereka menyambut mempelai laki-laki dan kemudian masuk dalam kegembiraan pesta.
Sebaliknya, tragis menimpa lima gadis lain yang disebut bodoh. Pelita mereka padam ketika sang mempelai datang. Lima gadis malang itu meminta berbagi minyak dari gadis-gadis yang membawa minyak cadangan. Bagaimana respons mereka? Lima gadis bijaksana itu menolak. Kejam! Ya, mereka seolah terlihat sangat egois dan tidak mau membantu teman-temannya sendiri. Apakah memang begitu, mereka egois?
Mari kita telisik alasan kelima gadis bijaksana yang enggan memberikan minyak cadangan kepada mereka. Gadis-gadis bijaksana itu menjelaskan bahwa mereka tidak dapat memberikan Sebagian minyak cadangan mereka karena ini adalah urusan serius. Membaginya, bisa saja menjadi tidak berguna, tidak cukup untuk keperluan pesta dan akhirnya padam semuanya. Di sinilah Yesus mau mengingatkan bahwa kesetiaan melakukan kehendak Allah memang bukan barang yang bisa dibagi-bagi seperti hanya minyak atau pulsa. Persiapan untuk menyambut hari kedatangan Tuhan pada hakikatnya menjadi tugas dan tanggungjawab masing-masing murid Yesus, tidak dapat dipinjamkan atau diwakilkan kepada orang lain. Maka tidak pada tempatnya mempermasalahkan bahwa gadis-gadis bijaksana itu adalah orang-orang yang egois! Anda dan saya tidak dapat menuntut orang lain untuk melakukan kebaikan kepada kita, sementara diri kita sendiri teledor dan tidak antisipatif. Orang lain tidak bisa dimintai pertanggung jawaban dari kekeliruan yang kita lakukan.
Meskipun demikian, gadis-gadis bijaksana itu tetap memberikan saran. Mereka diminta untuk membeli minyak ke warung yang menjualnya. Tengah malam cari tukang minyak di m ana? Ini mengandaikan kebiasaan bahwa ketika ada kenduri, maka warung-warung juga akan buka sampai larut malam mengikut keramaian yang ada. Sayangnya, warung penjual minyak itu jauh sehingga ketika mereka sedang mencari untuk membelinya, sang mempelai pria datang. Tugas utama penyambutan tidak dapat dilakukan oleh mereka.
Perjamuan pernikahan melambangkan pesta keselamatan pada akhir zaman bersama dengan Kristus. Dalam konteks akhir zaman, pintu yang terbuka atau yang tertutup berarti mendapat bagian dalam kebahagiaan kekal atau tersingkir serta terbuang. Bagi kelima gadis bijaksana, mereka mendapat bagian dari kebahagiaan. Ini melambangkan pintu itu terbuka bagi siapa pun yang hidup “bijaksana”.
Memasuki pesta “perjamuan pernikahan” bersama Tuhan itu mengandaikan suatu sikap antisipatif yang tekun. Tidak seorang pun tahu kapan akhir zaman itu tiba; kapan Yesus Kristus datang kembali. Orang yang ditemukan sedang melakukan kehendak Bapa akan menemukan pintu terbuka dan tentu saja ia dapat masuk. Sebaliknya, orang dapat juga menemukan pintu itu sudah tertutup, dapat dikucilkan, bila tidak senantiasa siap sedia di dalam iman dan kebenaran, dalam kasih yang bukan hanya sesaat, melainkan terus-menerus. Pada saat kedatangan Tuhan tidak mungkin mengandalkan jasa orang lain. Meskipun Yesus mengajarkan kita untuk saling mendukung dalam perjalanan, namun dalam hal menyambut kedatangan Tuhan merupakan tanggungjawab pribadi. Tidak ada pula rumusan mujarab dengan memanggil “Tuhan, Tuhan!” untuk membuka pintu.
Dalam hal inilah kita juga diingatkan untuk bukan sekedar ibadat bibir, ibadat ritual formal seperti pada zaman Nabi Amos yang mengutamakan ritual perayaan namun mengabaikan moralitas sebagai umat Tuhan. Akhirnya, hari Tuhan itu bukanlah “pesta kegembiraan”, melainkan kengerian. Tuhan menghendaki kita menjadi pelaku firman bukan sekedar pendengar saja untuk dapat merayakan sukacita yang sesungguhnya.
Kita semua senang berkawan dengan orang-orang yang bijaksana. Maka, jadilah kita juga orang yang bijaksana. Berjuanglah untuk menjadi orang yang bijaksana, jangan pernah mengandalkan jasa orang lain karena kita masing-masing akan dimintai pertanggungjawaban.
Jakarta, 30 Oktober 2020