Suatu kisah tragis. Ini kisah tentang dua lelaki kakak beradik yang tidak beruntung, berusia 10 dan 8 tahun. Mereka berdua sempat dibesarkan oleh ibu mereka, yang menderita kejiwaan, yang ditinggal lari oleh sang suami. Penyakit sang ibu berupa suatu delusi keagungan. Si ibu merasa dirinya adalah seorang ratu, yang selalu harus diladeni oleh orang lain. Dan lebih parah lagi, si ibu juga mengalami ketergantungan alkohol.
Dapat dibayangkan seperti apa suramnya dan menyedihkan kedua kakak beradik ini. Hingga pada suatu hari, si ibu yang sedang mandi di bak mandi, dialiri listrik dari setrika oleh si adik yang sudah sangat stres, tanpa sepengetahuan sang kakak. Si ibu meninggal. Karena tidak punya sanak saudara, mereka ditempatkan di sebuah panti asuhan hingga usia remaja. Menjelang dewasa, mereka kemudian berpisah.
Sang kakak, karena kepandaian dan keterampilannya berhasil menjadi orang kaya dan terhormat. Ia menikahi seorang anak milyader, tanpa pernah menceritakan kepada istrinya soal Riwayat keluarganya, termasuk bahwa ia memiliki seorang adik. Suatu hari, si adik secara tak terduga menelepon sang kakak. Ia ingin bertemu dengan kakaknya, sembari sempat menuturkan bahwa kehidupannya susah. Sang kakak yang sudah terlena dengan hidup nyaman, menemui sang adik dengan terpaksa. Pertemuan itu amat dramatis. Sang adik yang senang dapat berjumpa dengan sang kakak, belum sempat bercerita banyak, karena sang kakak segera saja menembak mati sang adik. Sang kakak takut Riwayat keluarganya terbongkar.
Penyesalan sang kakak datang kemudian. Sang kakak baru tahu bahwa niat sang adik untuk bertemu adalah hendak mengakui pembunuhan yang dilakukannya terhadap sang ibu dan meminta maaf kepada sang kakak atas perbuatannya itu. Kakaknya tahu semua itu dari buku catatan sang adik yang tertinggal di hotel. Dan lebih menyedihkan lagi, umur sang adik diperkirakan hanya tinggal lima bulan lagi, karena ia menderita kanker. Kisah tragi situ adalah salah satu episode terbaik dari film serial televisi yang sangat terkenal, Law and Order-Criminal Intent.
Penyesalan sang kakak tidak ada gunanya. Karena, “Memaafkan adalah membebaskan tahanan dan sekaligus menemukan bahwa tahanan itu sesungguhnya Anda sendiri,” kata Lewis B. Smedes, teolog dari California. Sementara harapan besar sang adik tak terlaksana, yakni mendapatkan pengampunan dari sang kakak, sekaligus melepaskan diri dari belenggu rasa bersalah. “Dimaafkan, artinya Anda mendapat kesempatan untuk membuat permulaan baru,” kata Desmond Tutu, seorang pendeta dan aktivis kemanusiaan Afrika Selatan. Permulaan baru yang diharapkan sang adik tidak terwujud. Yang tersisa adalah penyesalan dari sang kakak. Dalam derajat tertentu kisah seperti ini sering kita jumpai. Atau bisa jadi kita mengalaminya.
Gengsi dan rasa sakit hati yang terus terpelihara dalam diri membuat orang lebih memilih untuk tidak mengampuni. Alasannya cukup sederhana: biar tahu rasa!
Kisah perjumpaan Yusuf dengan saudara-saudaranya merupakan kebalikan dari kisah dramatik serial televisi Law and Order Criminal Intent. Kisah Yusuf juga berlawanan dengan kisah kebanyakan orang. Dalam bacaan pertama Hari Minggu ini, kejadian 50:15-21 dilukiskan bahwa kini Yusuf berada di atas angin. Ia menjadi penguasa, orang kepercayaan Firaun. Sangat mudah baginya untuk melibas semua kakak-kakaknya yang telah melakukan kejahatan yang keji kepadanya. Mereka pernah menjual Yusuf sebagai budak dan membohongi ayahnya bahwa Yusuf telah mati diterkam binatang buas. Alih-alih Yusuf menuruti naluri sakit hati, dendam, ia menangis dan berkata, “Jangan takut, sebab aku inikah pengganti Allah? Memang kamu telah mereka-reka yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekanya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar. Jadi, janganlah takut, aku akan menanggung makananmu dan makanan anak-anakmu juga.” (Kejadian 50:19-21). Yusuf tidak naif, ia tahu dan sadar bahwa kakak-kakaknya mereka-reka apa yang jahat kepadanya. Sangat mungkin juga Yusuf sakit hati dan kecewa akibat ulah mereka itu. Namun ia memilih melihat kehidupan dan bukan kematian dengan melampiaskan dendamnya. Yusuf memilih yang oleh Smedes disebut, “membebaskan tahanan”, dalam hal ini mereka yang telah menjahatinya. Tetapi pada saat yang sama, Yusuf membebaskan diri sendiri sebagai orang yang terpenjara dari rasa sakit hati dan dendam.
Dengan memberikan pengampunan pada hakikatnya Yusuf telah membebaskan dirinya dari pelbagai perasaan benci, sakit hati dan dendam. Pada hakikatnya ketika kita mengampuni orang yang telah melukai kita, membuat kita sedih, susah dan menderita, tidak saja kita membebaskannya dari kungkungan rasa bersalah, melainkan juga pada saat yang sama kita sedang membebaskan diri kita dari segala akar kepahitan. Kita sedang memulihkan diri sendiri!
Pengampunan itu memulihkan semua, baik bagi orang yang bersalah maupun bagi orang yang terluka karena kesalahan orang lain itu. Pengampunan dalam kehidupan jemaat atau murid-murid Yesus mestinya juga berpatokan pada pengampunan Allah sendiri, yakni pengampunan tampa batas seperti yang diungkapkan Yesus ketika Petrus meminta legitimasi berapa kali harus mengampuni orang yang bersalah (Matius 18:21-35). Pinjaman atau utang yang tidak mungkin terbayar dihapuskan oleh raja. Ini menggambarkan belas kasih dan pengampunan yang tak terbatas dari Allah terhadap manusia. Pengalaman atas belas kasihan Bapa yang demikian murah hati itu memberi kekuatan kepada umat untuk mengaku bersalah satu terhadap yang lain dan saling mengampuni. Perumpamaan ini sebenarnya tidak lagi berbicara tentang frekuensi tanpa batas melainkan tentang besarnya pengampunan Allah yang tanpa batas dan mestinya memberdayakan kita untuk mampu mengampuni betapa pun besarnya kesalahan orang lain terhadap kita.
Pada pihak lain, perumpamaan ini juga berbicara tentang hamba yang telah dihapuskan hutangnya itu. Ia sama sekali tidak tergerak oleh belas kasihan terhadap rekannya yang berhutang hanya sebesar 0,005% dari kewajiban yang seharusnya ia bayar kepada raja. Murid yang sudah banyak diampuni Bapa, bisa saja tidak tergerak mengampuni saudaranya yang hutangnya tak seberapa. Penolakan itu bukan hanya menyedihkan tetapi juga berakibat fatal. Pada penghakiman terakhir, Tuhan tidak akan mengampuni orang yang hanya mau menerima pengampunan tetapi tidak rela meneruskannya kepada sesama yang bersalah terhadapnya.
Sangat kontras apa yang dilakukan oleh Yusuf terhadap saudara-saudaranya dengan apa yang diperbuat oleh hamba yang telah dilunaskan hutangnya yang begitu besar. Yang pertama jelas memulihkan. Mereka memulai kehidupan yang baru, tumbuh sebagai sebuah bangsa yang terpelihara dari kelaparan dan kemudian mereka menjadi umat Allah yang besar. Sedangkan yang berikutnya kita tahu nasib hamba yang telah dilunaskan hutangnya itu kembali ditangkap dan dimasukkan dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya itu. Kisah-kisah ini merupakan cerminan untuk kita dapat memilih: mengampuni atau tidak.
Jakarta, 9 September 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar