Apa yang membuat kita sulit bersukacita khususnya dalam bekerja? Salah satunya adalah upah. Upah bekerja sering menjadi pokok polemik antara para pekerja dengan majikan. Lihat saja, setiap tahun pasti terjadi aksi-aksi demo para pekerja yang menuntut kenaikan upah. Upah yang terlalu rendah membuat kita tidak hanya murung, melainkan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ada alasan lain lagi kita tidak bisa bersuka cita dengan upah yang kita terima, yakni apabila kita membandingkannya dengan apa yang didapat orang lain. Kita tidak bisa menerima bahkan protes ketika sang majikan menyamaratakan upah padahal kita telah bekerja lebih lama dan menghasilkan pekerjaan lebih banyak.
Yesus menjelaskan hal Kerajaan Allah melalui perumpamaan dunia kerja, dalam hal ini aktivitas pekerjaan di kebun anggur (Matius 20:1-16). Hal Kerajaan Allah kata-Nya seperti seorang pemilik kebun anggur yang mencari pekerja-pekerja bagi kebun anggurnya pada lima saat yang berbeda.
Pagi-pagi buta pemilik kebun anggur itu keluar mencari orang-orang yang mau bekerja di kebun anggurnya. Dari kata pembukaan perumpamaan ini jelaslah bahwa cerita ini tidak sedang membahas tata ekonomi masyarakat pada waktu itu. Kebun anggur biasanya bahasa kiasan; melambangkan umat Allah. Perlakuan pemilik kebun anggur terhadap orang-orang upahan memberi gambaran tentang salah satu aspek Kerajaan Allah, tentang cara Allah akan mengganjari semua orang yang dari waktu ke waktu dipanggil oleh-Nya untuk bekerja dalam Kerajaan-Nya.
Sebelum menyuruh kelompok pertama, yakni kelompok pagi buta pergi bekerja di kebun anggurnya, sang pemilik membuat kesepakatan, mengupah sedinar sehari dengan mereka. Mata uang perak Romawi itu merupakan upah buruh harian yang pantas pada masa itu. Upah yang disepakati dari awal ini dinilai adil (Matius 20:13).
Lalu pada pukul Sembilan, pukul dua belas, dan pukul tiga, pemilik kebun mencari lagi pekerja-pekerja yang mau bekerja di kebun anggurnya. Keterangan tentang gelombang-gelombang pekerja berikut itu makin singkat. Dengan mereka ini, pemilik kebun anggur tidak mengadakan besaran upah yang akan diberikan kepada mereka. Hanya dijanjikan akan memberi “apa yang patut”. Pada jam lima sore pemilik kebun itu menemukan lagi pekerja-pekerja menganggur di pasar. Pun dengan mereka ini tidak disepakati apa pun perihal upah. Dalam dialog diungkapkan keadaan mereka yang malang; menganggur sepanjang hari karena tidak ada orang yang mengupah mereka. Situasi ini sudah cukup menjadi alasan untuk mengirim mereka bekerja di kebun anggurnya.
Pemilik kebun anggur ingin mengupah semua orang yang menyambutnya. Allah Raja menyambut setiap orang yang mencari Kerajaan-Nya, kapan pun, bahkan sampai detik-detik terakhir. menambah pekerja dapat melambangkan juga bahwa masa panen, lambang akhir zaman sudah dekat.
Senja telah tiba, kini saatnya upah itu dibayarkan. Pembayaran upah diawali instruksi sang tuan kepada mandornya agar ia membayar yang datang terakhir lebih dahulu. Jadi, urutannya dibalik. Kelompok terakhir yang datang bekerja harus dibayar terlebih dahulu! Pembalikan urutan itu mengacu pada bingkai perumpamaan ini: “yang terakhir menjadi yang terdahulu, dan sebaliknya (Matius 19:30 dan 20:16). Juga terlepas dari bingkai ini, dengan pembalikan urutan dalam pembayaran upah ini memaksa orang-orang yang terdahulu bekerja akan melihat berapa upah yang diberikan kepada mereka yang bekerja hanya sebentar saja. Bisa saja ketika mereka melihat yang datang terakhir diberi satu dinar, mereka berharap akan diberi lebih dari itu. Mengapa? Jelas, mereka bekerja lebih lama dan tentunya lebih banyak berproduksi. Namun, harapan itu ternyata buyar setelah mereka juga menerima upah yang sama: satu dinar!
Protes dan bersungut-sungut! Mereka lupa bahwa sejak dari awal sang pemilik kebun anggur sudah mengadakan kesepakatan tentang upah dan itu adalah upah yang adil atau pantas. Sungut-sungut kelompok yang merasa diperlakukan tidak adil ini kasar. Tanpa menyapa pemilik kebun anggur, mereka berargumentasi bahwa pekerjaan mereka jauh lebih lama dan lebih berat. Masalah pokok bukanlah pembalikan urutan tetapi penyamarataan orang-orang yang jasanya berbeda.
Murid-murid paling awal merasa berhak atas upah yang lebih besar karena jasa mereka lebih banyak. Perhitungan yang berlaku dalam ekonomi dunia mau diterapkan kepada tata Kerajaan Allah dan pengadilan terakhir yang dilambangkan oleh pemberian upah di senja hari itu. Tuan kebun itu menjawab seraya menyapa salah seorang dari mereka yang memastikan bahwa dia tidak berlaku tidak adil seperti yang dituduhkan mereka kepadanya. Ia menegaskan bahwa pemberian upah yang sama kepada yang pertama datang dan yang terakhir adalah hak dan kehendaknya sendiri, dan bahwa ia sebagai pemilik berhak bertindak sesuai dengan kehendaknya yang bebas itu. Jawabannya diakhiri dengan suatu pertanyaan yang menyingkapkan masalah manusia yang paling mendasar, “Iri hatikah engkau…” Harafiahnya, “Jahatkah matamu..?” ungkapan yang biasa dipakai untuk rasa cemburu, iri hati, dengki atas kebaikan orang lain. Pertanyaan yang tidak dijawab, tetapi harus dijawab oleh kita masing-masing.
Kita tidak akan dan tidak mungkin bersukacita dalam melakukan pekerjaan, apalagi pekerjaan Tuhan apabila hati kita masih diselimuti oleh iri hati, cemburu dan tidak suka kalau orang lain dihargai padahal kita merasa bahwa pekerjaan kita jauh lebih berat.
Berbeda dengan tata ekonomi dunia, ganjaran dari Allah bagi orang-orang yang terpanggil di lading-Nya tidak menghitung masa bakti. Orang berdosa yang lambat bertobat, diberi anugerah Kerajaan sama penuhnya dengan mereka yang sejak awal menjadi abdi Tuhan yang setia dalam pelayanannya. Bahkan penjahat yang disalibkan bersama Yesus, menjelang ajalnya ia diberikan upah Kerajaan Sorga yang sama.
Murid kawakan yang menghitung waktu dan jasa, tidak turut bergembira. Mereka tidak dapat bersukacita atas kelimpahan anugerah Tuhan kepada para pendatang baru. Perhitungan mereka membalikkan rangking mereka. Murid yang telah lama meninggalkan segalanya untuk mengikut Yesus, sebenarnya telah berlipat menerima upah dari Tuhan, sepanjang mengikut Tuhan itulah mereka akan mengalami persekutuan yang indah yang tidak bisa dinilai dengan materi. Tetapi ketika mereka memandang dirinya lebih berjasa dan berhak, janji dilengkapi peringatan bahwa pada hari pengadilan Tuhan, ia akan menjadi yang paling akhir.
Kita akan tetap bersuka cita manakala mensyukuri kebaikan Tuhan kepada sesama kita, meski bisa saja mereka baru mengenal Tuhan baru-baru ini saja. Hanya perasaan lebih baik, lebih lama, lebih berjasalah yang akan menghalangi kita untuk merasakan suka cita. Marilah, kita bersama-sama bekerja di lading Tuhan tanpa harus memikirkan dan menilai bahwa diri kita lebih baik, lebih lama, lebih berat, dan lebih segala-galanya dari pada orang lain. Anggapan yang seperti inilah yang tidak hanya menghalangi kita untuk turut bersuka cita dalam kegembiraan Allah tetapi juga menjadikan kita paling akhir dalam Kerajaan-Nya.
Jakarta, 9 September 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar