Jumat, 28 Agustus 2020

MEMAHAMI APA YANG DIPIKIRKAN ALLAH

Bolehkah kita bermimpi dalam hidup kita? Apakah mimpi ada gunanya? Ataukah kita harus melepaskan mimpi kita, dan hidup apa adanya saja? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini kita perlu memahami terlebih dahulu, apa itu mimpi, dan bagaimana ia di dalam perjalanannya bisa tersesat.

 

Mimpi adalah bentukan dari harapan dalam diri manusia tentang masa depannya. Ia bukan hanya bunga tidur belaka, tetapi juga cita-cita yang mengarahkan hidup seseorang pada suatu titik. Mimpi seseorang sering kali menjadi tujuan sekaligus makna hidupnya. Ia menjadi motivasi yang mendorong orang untuk terus berusaha, walaupun kesulitan datang silih berganti.

 

Cornell West, filsuf Amerika Serikat, memberi rumusan yang menarik tentang siapa itu manusia. Manusia adalah makhluk bertubuh dan berbulu halus, mengarungi hidup menuju kematian, dan di antaranya dia berhadapan dengan kecenderungan untuk menguasai dan dikuasai, berusaha berdialog, mengontrol kekuasaan yang ada, supaya tidak semena-mena, dan memiliki mimpi-mimpi yang menghantuinya. Di antara lahir dan mati, mimpi adalah makna hidup manusia, yang memberinya tujuan untuk setiap hari bangun dan beraktivitas.

 

Namun, mimpi tidak selalu tepat. Mimpi bisa juga menyesatkan, Ketika ia tidak diolah dengan pikiran kritis, yakni pikiran yang terus mempertanyakan, dan mengolah lebih jauh. Mimpi justru mengaburkan makna hidup seseorang, dan menggiring dia pada kehancuran hidup. Mimpi semacam ini adalah buah dari kesalahan pikir, yang biasanya muncul dari anggapan umum yang ditelan tanpa pemikiran lebih dalam.

 

Petrus dan saya kira murid-murid yang lain punya mimpi. Mimpi mereka diletakkan pada Yesus. Mimpi itu terungkap dalam pernyataan, “Engkau Mesias, Anak Allah yang hidup!” Mimpi itu adalah tentang Mesias sakti mandra guna, yang segera akan melumat habis kekuasaan yang sedang menindas umat Allah. Imperium Romawi! Mimpi inilah yang kemudian menutup realita bahwa Mesias itu harus menderita, ditolak, diadili dan dihukum mati. Tidak mungkin!

 

Yesus bernubuat dan dinyatakan kepada para murid-Nya yang punya mimpi itu. Ia akan dibunuh seperti yang sudah dirancangkan oleh kaum Farisi. Pernyataan Yesus sulit diterima oleh mereka. Lagi-lagi Petrus yang dulu paling depan mengatakan bahwa Ia adalah Mesias, Anak Allah yang hidup, ia menegur keras. Petrus menegur Yesus sambil menghalangi langkah-Nya. Ia menyerukan belas kasihan Allah (hileōs soi) ke atas Yesus. Allah tidak akan membiarkan Anak-Nya ditimpa penderitaan seperti itu. Di sinilah Petrus tanpa sadar meniru kata-kata yang diucapkan Iblis kepada Yesus, Anak Allah, di atas bubungan Bait Allah itu (Matius 4:5,6). Pemahaman murid-murid tentang Mesias, Anak Allah, masih bertolak belakang dengan apa yang sedang dijalani Yesus, yang terus akan diajarkan-Nya sampai Yerusalem dan kebangkitan-Nya. Di sinilah kita baru mengerti mengapa ketika Petrus menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup, Ia melarang untuk memberitahukan kepada siapa pun tentang identitas-Nya itu. Sebab, apa yang dipikirkan, dimimpikan dan dinyatakan Petrus berbeda dari apa yang sedang dikerjakan Yesus! 

 

Teguran Petrus yang berangkat dari mimpinya; dari apa yang dipikirkannya sehingga mau membelokkan jalan Yesus ditanggapi dengan teguran yang lebih keras. Petrus, yang baru saja dikukuhkan sebagai “batu karang”, dasar dari jemaat (Matius 16:18), kini dicela sebagai “batu sandungan” yang seperti Setan berbohong bahwa Allah akan melindungi Anak-Nya dari rasa sakit apa pun. Kepada Setan yang dulu mencobai-Nya, dan kini kepada Petrus, Yesus berkata, “Enyahlah!” Petrus yang tadi dikatakan berbahagia karena menerima pernyataan Bapa (Matius 16:17), kini dikutuk karena mengikuti nalar manusia yang percis seperti suara Setan.

 

Sama seperti Petrus yang dihardik Yesus dan ditunjukkan tempat untuk ada di belakang-Nya ketika Ia menghalangi jalan Yesus, begitu pula sekarang semua murid diajak untuk berjalan di belakang Yesus, ikut dari belakang menempuh jalan yang dijalani Yesus. Implikasinya adalah melepaskan kepentingan diri sendiri, kenyamanan, dan ambisinya, “menyangkal dirinya,” dan “memikul salibnya”. Kiasan “memikul salib” bermakna luas, yakni menanggung aneka kesusahan dan pengorbanan sehari-hari sebagai pengikut dan utusan Yesus, juga bisa saja memungkinkan risiko ekstrem yang dialami semua rasul menjadi martir seperti Yesus.

 

Manusia yang sudah mengakui Yesus sebagai Mesias dan Anak Allah, diajar untuk menerima-Nya pula sebagai Anak Manusia yang harus menderita dan dibunuh untuk bangkit dan masuk dalam kemuliaan Bapa. Cara Petrus menolak pernyataan bahwa Mesias harus menderita, mengungkapkan apa yang spontan dalam hati setiap pengikut Yesus, yang punya mimpi-pimpi triumpalistik, sukses-makmur yang enggan untuk menerima penderitaan dan kematian sebagai bagian dari jalan Tuhan untuk mencapai tujuan-Nya. Pengikut Yesus menutup mata terhadap sengsara Yesus oleh karena takut terhadap konsekuensi bagi dirinya. Keengganan itu membelokkan kita dari jalan hidup yang dikehendaki Tuhan bagi manusia.

 

Manusia tertarik dengan mimpi-mimpinya, yakni menjalani hidup kaya raya, makmur, mewah, nikmat, nyaman, tenar, berkuasa dan yang semacamnya. Namun, ingatlah bahwa jalan itu tidak memberikan makna hidup sejati yang akan bertahan; hanya menghantar orang ke tebing tinggi dan jatuh binasa. Sebaliknya, mengikut Yesus membawa serta tugas pelayanan, pengorbanan, penderitaan, dan salib, yang tidak terduga membuahkan hidup yang tidak pernah akan hilang, juga tidak dalam kematian atau pun pengadilan. janji dan harapan hidup kekal inilah yang menguatkan murid untuk menyangkal diri, memanggul salib, dan mengikut Yesus di jalan-Nya melalui Getsemani, via dolorosa, dan Golgota menuju kemuliaan.

 

Jadi, bolehkah bermimpi? Ya, jelas! Kita diciptakan sebagai makhluk yang bermimpi. Namun, ingatlah bahwa terkadang mimpi (apa yang kita pikirkan dan inginkan) bisa juga menyesatkan kita. Bisa membawa kita jatuh dalam pencobaan. Bermimpilah seperti yang Tuhan mimpikan; berpikirlah seperti apa yang Tuhan pikirkan, dengan demikian tidak akan menyesatkan kita. Mimpi yang seperti inilah yang akan menghantar kita berjumpa dengan kemuliaan yang sesungguhnya, meski melewati lembah air mata, via dolorosa itu!

 

Jakarta, 28 Agustus 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar