Pada umumnya manusia modern hidup dengan memakai alam dan manusia lain untuk kepentingannya sendiri. Inilah yang disebut oleh R.A.A Wattimena (Filsafat Sebagai Revolusi Hidup) sebagai cara berpikir eksploitatif, yakni cara berpikir yang melihat segala sesuatu semata sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan fisik maupun emosional kita sebagai manusia. Cara berpikir inilah yang melahirkan perbudakan manusia dan pengrusakan alam atas nama pengumpulan keuntungan ekonomi, karena alam dan manusia dianggap sebagai alat yang bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan kita. Cara pikir ini pula yang melahirkan kekosongan dalam hidup manusia.
Martin Heidegger dan Edmund Husserl, filsuf Jerman abad 20, melakukan kritik tajam pada cara berpikir ekspoitatif ini, dan menawarkan alternatif, yakni cara berpikir yang “tenang dan menghargai realitas (die Gelassenheit). Cara berpikir ini berusaha menghargai alam dan manusia lain sebagai subyek yang bernilai pada dirinya sendiri, dan bukan hanya nilai guna. Dengan kata lain apresiasi menggantikan eksploitasi sebagai landasan berpikir. Dengan cara berpikir ini, orang bisa merasa Bahagia, hidup cukup secara emosional, dan menjalin hubungan yang bermakna dengan ligkungan sekitar; alam dan manusia lain. Dengan kata lain, cara pikir apresiasi akan membebaskan kita untuk mencintai alam raya dan sesama manusia.
Selama landasan pikir kita selalu berpijak pada apa yang menguntungkan diri sendiri, tidak mungkin kita mau mengingatkan atau menegur orang lain mana kala orang tersebut melakukan kekeliruan, “Buat apa jaga ngurusin urusan orang lain, alih-alih menguntungkan, kita disebut kepo!” Sebaliknya, kalau ada dari kita yang dirugikan, misalnya reputasi kita terganggu, kehormatan kita terancam, dan kepemilikan kita dalam bahaya, barulah saat itu kita bertindak; menegur, marah atau kalau tidak berani, kita melakukannya sembunyi-sembunyi di belakang orang tersebut. Gosip!
Hanya landasan pikir apresiasilah yang mampu menolong kita melakukan tindakan kasih yang semestinya. Kasih yang bukan untuk kepentingan diri sendiri, melainkan kasih yang menghormati, menghargai dan memberdayakan orang tersebut. Kasih yang demikian lahir dari penghayatan bahwa segala sesuatu: alam raya dan sesama merupakan ciptaan Tuhan yang punya makna, yang diciptakan oleh Sang Pencipta dengan tujuan mulia. Kita mendapat contoh yang sangat utuh dari Yesus Kristus tentang cinta ini. Cinta kasih yang diajarkan dan dipraktikkan-Nya sama sekali bukan eksploitatif, melainkan kasih yang memuliakan, yang memanusiakan manusia seutuhnya. Manusia yang dicintai-Nya itu bukan obyek eksploitatif, melainkan subyek yang direngkuh dari dosa menjadi manusia baru yang mulia. Untuk itulah Ia rela menderita dan mati!
Demi cinta-Nya itu, Yesus bagaikan seorang gembala yang meninggalkan Sembilan puluh Sembilan domba demi mencari satu domba yang hilang (Matius 18:12-13), dan penegasan bahwa Allah Bapa tidak mau seorang pun hilang (ay.14). Kini, Ia mempersiapkan bagaimana caranya mendapatkan Kembali seorang saudara yang hilang atau tersesat karena dosa. Yesus memaparkan langkah-langkah untuk meraih Kembali “domba yang hilang” itu. Langkah-langkah itu dapat kita baca dalam Matius 18:15-17. Beberapa langkah dalam proses pendamaian itu sangat mungkin mencerminkan praktik penanganan orang yang dipandang salah langkah dalam Jemaat Matius yang diilhami oleh Taurat Musa (Imamat 19:17-18; Ulangan 19:15) dan oleh praktik kelompok Yahudi pada zaman Yesus (bnk. Aturan Komunitas Qumran, IQS 5:24-6:2).
“Apabila saudaramu berbuat dosa, tegurlah dia …”
Imperatif elegxon, “tegurlah” dalam konteks ini tidak berarti menegur dengan nada mencela. Menegur bukan dengan tujuan menuduh, menghakimi dan menunjukkan diri lebih baik; lebih saleh. Kalau yang begini, ini termasuk cara-cara eksploitatif, menjadikan orang yang dinilai berdosa itu sebagai obyek yang harus dihukum dan dipersalahkan. Bukan dengan maksud atau tujuan “meraih kembali yang hilang” itu. Elegxon barang kali lebih tepat diterjemahkan dengan “yakinkanlah dia”, dalam arti “jelaskan apa yang menjadi kesalahannya” dan bukan mencela atau memarahi orang itu, tetapi menyadarkannya atas kesalahannya dengan maksud agar orang itu berbalik kembali menjadi anggota persekutuan jemaat yang bertanggung jawab.
Bila saudara yang berdosa itu tidak dapat diyakinkan atau menolak penjelasan atas kesalahan yang diperbuatnya, perlu dipanggil satu, dua orang lain yang menambah kesaksian dengan maksud untuk membantu menyadarkan dan sama sekali bukan untuk memojokkannya. Petunjuk ini sesuai dengan peraturan tentang saksi-saksi dalam proses pengadilan (Ulangan 19:15). Namun, konteks dalam Injil Matius ini bukanlah perkara di pengadilan, melainkan usaha perdamaian secara persaudaraan.
Bila belum juga dapat diyakinkan oleh dua, tiga orang saksi – orang itu tetap ngeyel – permasalahannya perlu diserahkan kepada jemaat / ekklesia. Bila saudara itu tidak juga menyadari kesalahannya di depan jemaat, “haruslah ia bagi engkau sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai.” Kata “bagi engkau” (tunggal) mengesankan bahwa perintah itu mengenai sikap perorangan terhadap saudaranya yang tidak bertobat, dan tidak mengenai ekskomunikasi resmi dari pihak gereja. Menarik, meski masalahnya telah menjadi masalah jemaat – karena diperhadapkan kepada jemaat – dan tetap di sini, gereja secara resmi tidak pernah mengucilkan. Sikap memandang orang tersebut sebagai orang yang tidak mengenal Allah merupakan sikap pribadi perorangan. Jadi, sejak awal jemaat Tuhan diajak seperti sikap Yesus, mencari yang hilang. Bukan menghakimi, mengucilkan dan menutup pintu bagi orang berdosa.
Bagi orang Yahudi, memandang seorang pendosa sebagai orang yang tak ber-Tuhan atau pemungut cukai, berarti tidak lagi bergaul dengan dia (2 Tesalonika 3:14). Akan tetapi dalam konteks Injil, justru orang seperti itulah yang dicari oleh Bapa, Yesus, dan mestinya diteruskan oleh para murid dan pengikut Yesus. Seluruh pengikut Yesus ikut bertanggung jawab atas sesama saudara yang berdosa dan perlu menyadarkan mereka Ketika melakukan tindakan kesalahan. Penyadaran itu berbeda dengan memarahi dan mencela saudara yang bersalah. Sekali lagi tujuannya sudah jelas: pendamaian, mendapatkan saudaranya kembali!
Harus kita ingat bahwa usaha pendamaian itu bukan usaha manusia semata. Dalam kesatuan dan permohonan jemaat, tindakan pendamaian dibawa kepada Bapa. Dialah yang mengabulkannya karena Yesus yang hadir di tengah mereka. Karena itu pengampunan dosa dalam jemaat berlaku juga bagi Allah. Demikian pula dosa yang dinyatakan murid-murid tetap ada; juga tetap ada bagi Allah.
Apa yang diajarkan oleh Yesus Kristus ini adalah bentuk kita saling menjaga satu di antara yang lain. Saling menjaga dalam hal ini mengingatkan, menasihati, menegur, meyakinkan dan menyadarkan sama sekali bukan untuk mempermalukan atau bahkan mengucilkan orang yang berbuat salah itu, melainkan sebagai cara kita untuk mengasihi sesama saudara di dalam Tuhan. Cara inilah juga yang dilakukan Yesus Kristus untuk menjaga domba-domba-Nya.
Kita bisa meneruskan semangat saling menjaga ini apabila kita juga mempunyai hati seperti Yesus, hati yang tidak memandang sesama saudara sebagai obyek untuk dieksploitasi – dalam hal ini kesalahannya agar orang memandang kita lebih saleh, lebih mulia. Bukan itu! – melainkan subyek yang harus dijaga, diraih kembali dan dikasihi!
Jakarta, 28 Agustus 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar