Setelah melintas Sidon dan Tirus – yang meninggalkan kesan mendalam, tentang iman dan pengakuan seorang perempuan kafir yang luar biasa – Yesus dan para murid terus berkelana di negeri kafir ini. Sampailah mereka di Kaisarea Filipi. Kota ini berada di ujung utara wilayah Israel, tepatnya wilayah yang berbatasan dengan Siria. Nama belakang kota ini mungkin saja ada kaitannya dengan orang yang membangunnya, yakni Herodes Filipus, raja wilayah yang berkuasa di situ. Ia membangun kota ini dan dipersembahkan untuk Kaisar Agustus. Dari kota yang paling jauh dari Yerusalem itu, Yesus akan merintis perjalanan-Nya menuju Yerusalem (Matius 16:21).
Di wilayah perbatasan, negeri kafir, kota paling jauh dari pusat kultus ibadah Bait Allah, Yesus bertanya tentang jati diri-Nya; tentang opini orang terhadap diri-Nya. Masa pelayanan Yesus di Galilea meninggalkan kesan mendalam tentang identitas-Nya pada orang banyak dan murid-murid. Di mata kebanyakan orang yang bersentuhan dengan pelayanan Yesus, mereka memberi kesan positif. Mereka menempatkan Yesus sejajar dengan tokoh-tokoh ternama dalam tradisi Yahudi, seperti: Elia, Yohanes, dan Yeremia. Dari semua jawaban tentang identitas Yesus ini mudah disimpulkan bahwa orang banyak itu tidak cukup menangkap siapa Yesus yang sesungguhnya.
Lalu bagaimana pendapat para murid sendiri tentang Guru mereka? Tidak seperti orang banyak, murid-murid mengikuti dan ada bersama-sama dengan-Nya begitu dekat; khusus. Seharusnya pemahaman mereka tentang jati diri Yesus lebih tepat. Petrus, seperti biasa ia tampil dan segera menjawab pertanyaan Yesus itu, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” (Matius 16:16). Dalam pengakuan Petrus ini, gelar Anak Manusia dan Mesias untuk pertama kali disatukan dengan gelar Anak Allah, “Anak Allah yang hidup”. Allah diakui Israel sebagai Allah yang hidup dan menghidupkan. Para raja keturunan Daud sudah lazim disebut anak-anak Allah, yakni diangkat menjadi anak Allah saat diurapi (“Anak-Ku, engkau”, Mazmur 2:7). Dalam konteks Injil Matius, gelar Anak Allah melampaui gelar rajawi itu karena menunjuk kepada hubungan unik antara Yesus dan Bapa, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi…” (Matius 3:17).
Pengakuan Simon Petrus ini ditanggapi Yesus dengan tiga sabda untuk Simon bin Yunus yang juga selanjutnya ditujukan kepada gereja. Ucapan pertama dalam bentuk sabda bahagia. “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus, sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di surga.” (Matius 16:17).
Sabda ini menyatakan Simon bahagia karena pengakuannya bukanlah buah pikiran manusia yang rapuh. Simon telah menerima penyataan yang diberikan Bapa bukan kepada orang bijak melainkan kepada orang kecil; murid-murid Yesus. Penyataan yang diberikan Bapa tentang Anak-Nya kepada murid-murid di Galilea ini dapat dibandingkan dengan penyataan yang kemudian diberikan Allah kepada Paulus untuk mengenal Yesus yang bangkit sebagai Anak Allah (Galatia 1:16).
Sabda kedua yang disampaikan Yesus kepada Simon berisi pengakuan dan pengukuhan Yesus terhadap Simon, “Dan Aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.” Simon diakui sebagai Petrus, batu karang, suatu pengakuan yang diiringi dengan keterangan dan janji bahwa di atas petra (batu karang) itu Yesus akan mendirikan Jemaat-Nya. Karena didirikan di atas batu karang, jemaat tidak akan runtuh, meskipun dirongrong kuasa maut.
Sabda terakhir berisikan janji, Petrus akan diberi kunci Kerajaan Allah (Matius 16:19). Yang diberikan kepada Petrus bukanlah kunci masuk ke surga. Kerajaan Surga adalah idiom Yahudi untuk Kerajaan Allah yang diprakarsai Yesus di dunia ini. Dalam menegakkan pemerintahan Allah di bumi ini, Yesus yang kelak bangkit akan mendelegasikan pelaksanaan kuasa-Nya kepada Petrus. Ada kemiripan dengan Elyakim yang diserahi kuasa eksekutif dinasti Daud dengan kata-kata, “Aku akan menaruh kunci rumah Daud ke atas bahunya: apabila ia membuka, tidak ada yang dapat menutup: apabila ia menutup, tidak ada yang dapat membuka” (Yesaya 22:22). Petrus diberi wewenang membuka pintu; menunjukkan jalan masuk ke dalam Kerajaan Allah, suatu hal yang seharusnya dilakukan oleh para ahli Taurat yang sebaliknya justru menutup pintu itu (Matius 23:13). Ahli-ahli Taurat memegang “kuasa kunci” dalam arti mereka memutuskan apa yang sesungguhnya menjadi kehendak Allah dalam kitab-kitab suci. Dalam Matius 5:21-48 wewenang itu telah beralih kepada Yesus, yang kemudian pada peristiwa ini, Yesus mempercayakan kuasa itu kepada Petrus. Petrus menjadi mitra atau kawan sekerja di mana melaluinya orang dapat merasakan dan mengalami Kerajaan Allah; persekutuan yang indah dan menghidupkan.
Tiga penyataan Yesus kepada Petrus patut kita renungkan dalam perayaan ulang tahun GKI yang ke-32. Gereja percaya bahwa tiga sabda Yesus kepada Petrus berlaku juga bagi Gereja-Nya. Ini berarti bahwa pengakuan Yesus adalah Anak Allah yang hidup dan sekaligus Mesias bukanlah pengakuan yang berangkat dari buah pikiran sendiri, melainkan kuasa Allahlah yang menyatakan-Nya. GKI berada dalam alur ini. Jika GKI mengaku dan mengimani bahwa Yesus adalah Anak Allah yang hidup dan menghidupkan serta Mesias, itu bukanlah buah pikiran manusia yang rapuh yang kemudian dinyatakan dalam akta sidang-sidang gerejawi. Melainkan kuasa Allah melalui Roh-Nya yang kudus itu yang menuntun kesadaran kita untuk menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah dan Mesias. Meski demikian, sama seperti Petrus, bukan berarti kita berlaku seperti robot, melainkan dibutuhkan pengakuan dan kesetiaan untuk mengimani apa yang diakui itu.
Dalam perjalanannya, gereja itu seperti bahtera, yang sangat mungkin harus melewati bukan saja riak, melainkan gelombang dan badai. Di sinilah, pengakuan Yesus Kristus sebagai Mesias dan Anak Allah yang hidup itu diuji, apakah pada masa-masa seperti ini pengakuan itu menolong kita untuk terus melanjutkan tugas dan panggilan kita ataukah justru menyangkalnya.
Sabda Yesus kedua kepada Simon adalah pengukuhannya sebagai petra (batu karang) yang di atasnya dibangun jemaat Tuhan. Kita semua adalah bagian dari apa yang Yesus bangun di atas petra itu. Menurut tradisi Perjanjian Lama, Allah sendirilah cadas, Sang Batu Karang itu. Ia tidak pernah berubah. Dia adalah Gunung Batu Israel. Kalau Yesus menyatakan akan mendirikan jemaat-Ku, ini adalah sebuah kiasan, bukan bangunan fisik, melainkan komunitas orang percaya akan Yesus Kristus. Di atas dasar pengakuan Petrus itulah jemaat Tuhan akan terus kokoh berdiri. Selama orang percaya berpegang teguh pada pengakuan bahwa Yesus adalah Anak Allah, Dia adalah Mesias, selama itu pula alam maut tidak akan pernah menguasai gereja. Dalam sejarahnya Petrus juga memperlihatkan kerapuhannya, namun ia segera bangkit kembali dengan Yesus yang bangkit. Dalam perjalanannya, GKI juga bisa rapuh. Namun, dalam kerapuhan ini mestinya sebagai komunitas yang didirikan di atas batu karang itu, kita harus kembali pada pengakuan: Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!
Sabda terakhir Yesus kepada Petrus adalah bahwa ia dipercaya untuk memegang kunci Kerajaan Allah. Yang dimaksudkan adalah bahwa Petrus diberi kewenangan untuk menunjukkan orang kepada Kerajaan Allah. Gereja terpanggil untuk meneruskan tugas ini, sehingga melalui gereja orang tidak hanya mengenal melainkan merasakan, mengalami dan diam dalam Kerajaan Allah itu. Melalui komunitas orang percaya, setiap orang merasakan damai sejahtera itu. Dalam hal ini juga GKI terpanggil untuk menjadi kawan sekerja Allah dalam hal menunjukkan orang kepada Kerajaan-Nya itu.
Tentu saja untuk memenuhi apa yang Tuhan kehendaki, kita harus berani mengoreksi diri, membenahi apa yang keliru dan membarui diri terus-menerus supaya kita tidak melakukan kesalahan yang sama seperti ahli-ahli Taurat yang justru menutup jalan orang untuk memasuki Kerajaan Allah.
Jakarta, Dirgahayu GKI ke-32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar