Lazimnya ketika seseorang telah melakukan sesuatu yang menakjubkan maka ia menantikan sambutan: tepuk tangan, pujian, dukungan, dan yang semacam itu. Namun tidak dengan Yesus. Alih-alih menantikan pujian, Ia mengajak para murid-Nya untuk segera meninggalkan tempat di mana Ia telah melakukan mukjizat; memberi makan lima ribu orang dengan lima roti dan dua ikan.
Mengapa Yesus mendesak para murid-Nya untuk secepatnya naik perahu? Meminjam catatan Injil Yohanes (Yohanes 6:5), dapat disimpulkan bahwa Yesus berbuat demikian oleh karena orang banyak begitu antusias sehingga mereka mau menjadikan-Nya sebagai raja. Mukjizat penggandaan roti ditanggapi oleh khalayak ramai sebagai tanda zaman Mesias, sehingga mungkin saja diharapkan keuntungan materi dari Yesus. Mengikut Yesus pasti terjamin, tidak akan ada kelaparan!
Namun apa yang terjadi? Yesus sama sekali tidak mau murid-murid-Nya terpengaruh dengan antusias seperti ini. Yesus juga tidak mau diri-Nya dijadikan raja: raja roti? Ia tidak menghendaki sikap bela rasa-Nya terhadap kebutuhan pokok itu dijadikan dasar atau landasan utama untuk orang datang dan percaya kepada-Nya. Mukjizat dan tanda hanyalah penegasan bahwa Ia berasal dari Allah. Mukjizat adalah tanda kepedulian Allah kepada penderitaan manusia dan dunia. Mukjizat bukan landasan orang mencari dan percaya kepada Allah.
Yesus memisahkan diri dari orang banyak dan dari para murid-Nya. Ia meminta para murid-Nya untuk mendahului-Nya ke seberang. Jadi para murid naik perahu tidak Bersama Yesus. Yesus melepaskan diri dari orang banyak dan Ia naik ke atas gunung seorang diri untuk berdoa sepanjang malam. Berkarya dan berdoa adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan Yesus.
Sementara itu perahu yang ditunggangi para murid terombang-ambing diterjang badai. Namun, beruntunglah mereka Yesus datang menjelang pagi, suatu petunjuk yang berlatar tradisi Perjanjian Lama: “Allah akan menolongnya menjelang pagi” (Mazmur 46:6, 30:6, dan Yesaya 17:14). Cara Yesus menolong di luar nalar mereka. Ini hanya dapat dilakukan oleh Allah sendiri: “Ia melangkah di atas gelombang-gelombang laut” (Ayub 9:8; Mazmur 77:20; Yesaya 43:16; 51:10). Demikianlah Yesus menyatakan diri sebagai Anak Allah yang menaklukkan kuasa maut!
Bagaimana reaksi para murid? Murid-murid yang kurang percaya, terkejut dan berteriak karena mereka mengira melihat roh hantu datang menghampiri mereka. Yesus menenangkan mereka dengan memperkenalkan diri-Nya. Ia mengatakan, “egō eimi!” {Aku ada (di sini)} yang dalam terjemahan Yunani Septuaginta adalah bentuk yang sama seperti Allah memperkenalkan diri-Nya kepada Musa (Keluaran 3:14; Ulangan 32:39, Yesaya 43:10, 25). Di sinilah rahasia jati diri-Nya yang ilahi dinyatakan kepada para murid.
Petrus tampil mewakili teman-temannya menanggapi pernyataan diri Yesus : “Aku ada” dengan “Apabila Engkau ada” (Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air. Dalam hal ini Petrus juga mewakili kita. Para murid yang sedang dalam ancaman maut oleh badai yang bergelora merespon pernyataan Yesus itu dengan sebuah pembuktian. Bukankah kita juga demikian; dalam badai kesulitan, kita bertanya, “Apabila Engkau ada…”. Ini sebuah tuntutan pembuktian: meminta Tuhan menunjukkan bukti keberadaan-Nya. Meminta Tuhan melakukan hal ajaib! Dan Yesus menjawabnya: “datanglah!”
Mulanya Petrus memusatkan pandangannya kepada Yesus. Namun Ketika matanya beralih dari Yesus ke angin badai yang memukul-mukul permukaan laut, seketika itu juga rasa takut menguasai dirinya. Ia takut akan kuasa maut yang sedang mengancamnya. Kita adalah Petrus! Betapa seringnya kita berteriak meminta pertolongan dan pembuktian dari kuasa Tuhan. Namun, permintaan kita itu tidak dibarengi sikap fokus pada Tuhan. Kita lebih memilih dikuasai ketakutan ketimbang diselimuti oleh kuasa Tuhan.
“Tuhan tolonglah aku!” Teriakan Petrus yang berisikan doa permohonan yang menyapa Yesus sebagai kurios, “Tuhan”, dan meminta diselamatkan, mengulangi permohonan murid-murid dalam Matius 8:25, menurut model Mazmur 69:2, 14-15. Permohonan Petrus dikabulkan dan Yesus mengulurkan tangan-Nya, lalu memegangnya, hal mana menggenapi doa pemazmur yang memohon Allah untuk mengulurkan tangan-Nya dan memegang dirinya (Mazmur 144:7; 18:16).
Yesus menolong Petrus dari kebinasaan, tetapi Ia juga tidak membiarkan sikap kurang percayanya. Yesus mencela dan menegur sikap kurang percaya itu. Celaan ini berulang kali dipakai dalam Injil Matius untuk melukiskan kerapuhan iman para murid (Matius 6:30; 8:26; 16:8; 17:20) iman ada, namun tidak memadai. Seperti benih yang jatuh di tanah berbatu-batu, Petrus segera percaya tetapi tidak bertahan Ketika kesulitan dan ancaman datang. Petrus adalah murid yang kuat sekaligus rapuh. Petrus memberi gambaran tentang iman semua murid dan jemaat yang masih terombang-ambing.
Perahu murid-murid yang diguncang oleh angin dan ombak mengacu kepada gereja yang setelah kebangkitan Tuhan dalam perjalanan misinya “ke seberang” mengalami rintangan, ancaman, dan penganiayaan, sehingga umat yang masih kurang percaya menjadi takut. Dalam krisis itu Yesus datang mendekati umat-Nya, sama seperti yang dilakukan Allah sendiri: dengan berjalan melalui air, membawa pertolongan waktu pagi. Ia sama seperti Allah yang memperkenalkan diri kepada Musa : DIA YANG ADA, Yesus pun memperkenalkan diri sebagai AKU ADA. Ia mengulurkan tangan-Nya dan menolong orang yang berseru kepada-Nya. Yesus menyatakan diri sebagai Allah yang beserta kita; Imanuel, sebagai Anak Allah yang membawa keselamatan untuk umat yang terguncang.
Perahu murid-murid yang diguncang oleh angin dan ombak adalah kita. Kita yang dihimpit oleh onak duri dan lalang. Kita yang sedang mengalami badai kehidupan, di sinilah Yesus menyapa, Ia datang kepada setiap kita yang meminta tolong. Ia mengulurkan tangan-Nya dan siap memeluk kita. Namun, persoalannya apakah mata hati kita tertuju kepada-Nya? Ataukah justru badai itu mengalihkan, merampas pandangan kita sehingga tidak lagi memercayai Kristus yang mendekap kita?
Yesus jauh lebih besar dari badai kehidupan kita, namun nyatanya kita sering tidak benar-benar percaya dan mempercayakan diri pada genggaman tangan-Nya. Sehingga kita mengukur badai kehidupan itu dengan kemampuan sendiri dan bukan dengan kemahakuasaan Allah. Jelaslah kita akan terhempas, tenggelam dan mati!
Yesus, dari dahulu, sekarang dan selama-lamanya tetap ADA bagi setiap orang yang masih bimbang dan kurang percaya. Ia terus menumbuhkan iman dengan memberikan pertolongan maupun teguran. Ia menyadarkan kita dari ketakutan, dan membatu kita untuk mengimani dan menyembah-Nya sebagai Anak Allah. Masihkah kita meragukan-Nya?
Jakarta, 7 Agustus 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar