Kamis, 30 Juli 2020

ARAHKANLAH HATIMU KEPADA TUHAN

Sejarah mencatat, Socrates menghadapi masalah serius ketika Anytos menuduhnya mengajarkan filsafat sesat: “Socrates bersalah karena tidak percaya pada dewa-dewa Yunani dan mengajarkan praktik religius yang baru. Ia juga bersalah, karena telah membawa pengaruh buruk pada kaum muda di Athena.” Demi kebenaran yang dipertahankannya, Socrates dengan tenang minum cawan berisi racun. Ia menjalani eksekusi dengan dikelilingi para sahabatnya.

 

Socrates menganggap bahwa mitologi tidak benar, meskipun demikian ia tidak pernah secara frontal menentang politeisme Yunani. Socrates percaya bahwa Tuhan Mahabaik dan Mahabijak, yang menciptakan dan menguasai kehidupan manusia. Ia menganggap kearifan dirinya dalam berfilsafat sebagai misi hidup yang dipercayakan Tuhan kepadanya. Socrates mengaku bahwa semasa kanak-kanak ia sering mengalami apa yang disebut daimonion sémeion: suatu pertanda ilahi yang menuntun atau melarang dirinya melakukan hal-hal tertentu. Socrates yakin bahwa orang akan berbuat benar apabila ia mengetahui apa yang baik baginya. Perbuatan salah adalah akibat kurang cerahnya pengetahuan dalam diri manusia.

 

Seperti Socrates, Daud memiliki keyakinan yang lebih valid tentang kebenaran, baginya Tuhan adalah sumber kebenaran, “Tuhan itu baik dan benar; sebab itu Ia menunjukkan jalan kepada orang yang sesat. Ia membimbing orang-orang yang rendah hati menurut hukum, dan Ia mengajarkan jalan-Nya kepada orang-orang yang rendah hati. Segala jalan Tuhan adalah kasih setia dan kebenaran bagi orang yang berpegang pada perjanjian-Nya dan peringatan-peringatan-Nya” (Mazmur 25:8-10). Itulah daimonion sémeion, pertanda Ilahi yang menuntun Anda, saya, dan siapa pun yang beriman dan intim dengan Tuhan. Hanya orang-orang yang punya hubungan intim dengan Tuhan yang akan mampu mengarahkan hatinya terus-menerus kepada Tuhan.

 

Membangun relasi dengan Tuhan membutuhkan kerelaan dalam kepatuhan atau ketaatan. Kepatuhan itulah yang menolong kita untuk memahami kehendak dan tentu saja kebaikan serta kebenaran yang Tuhan berikan. Lagi-lagi ini pekerjaan yang tidak mudah. Mengapa? Sebab menyangkut penyangkalan ego diri. Setidaknya inilah yang digambarkan dalam bacaan pertama Minggu ini (Yesaya 55:1-5). Yesaya menyerukan pertobatan. Suara pertobatan ini berisi seruan untuk mengarahkan hati dan kehidupan mereka kepada Tuhan. Selama ini mereka kerap kali berpaling dari Allah, mengandalkan diri sendiri, berhala-berhala dan bangsa lain untuk menjamin keamanan mereka. Yesaya menyerukan umat itu agar kembali kepada Allah sebelum hukuman pembuangan itu menimpa mereka. Dengan tegas, sang nabi mengatakan, “Dengarkanlah Aku … Sendengkanlah telingamu dan datanglah kepada-Ku … “ (Yesaya 55:2-3). 

 

Mengarahkan hati dan mendengarkan suara Tuhan merupakan pergulatan antara ego dan ketaatan. Bacaan Injil yang kita baca hari ini adalah kisah kelanjutan dari pesta perjamuan yang dilakukan oleh Herodes di istana raja. Perjamuan itu penuh kemewahan, kebanggaan, bahkan juga diwarnai dengan pembunuhan. Ya, pembunuhan Yohanes Pembaptis lantaran ia berani menyuarakan kebnaran ilahi. Yohanes menegur kehidupan moralitas Herodes dalam pernikahannya dengan Herodias yang sebelumnya istri dari Filipus, saudaranya sendiri. Sang suara yang mengajak Herodes kembali kepada kebenaran dibungkam bahkan dipenggal!

 

Kini, Yesus pun mengadakan perjamuan. Tempat Yesus dan orang banyak bukanlah di istana. Tetapi di erēmos: tempat yang sunyi, padang gurun. Perjamuan itu terjadi hanya dengan hidangan lima roti dan dua ikan untuk lima ribu orang lebih! Dalam kondisi ini, para murid bersikap realistis: tidak akan cukup lima roti dan dua ikan untuk menjamu semua orang yang ada di tempat sunyi itu. Oleh karena itu, mereka meminta supaya Yesus menyuruh orang banyak itu pergi ke kampung-kampung untuk mencari makanan sebelum mereka mati kelaparan.

 

“Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan!” (Matius 14:16). Perintah ini senada dengan apa yang sudah disampaikan Yesus pada peristiwa sebelumnya, yakni tentang permintaan untuk mengirim para pekerja di ladang. Pada waktu itu, dalam keprihatinan yang sama, Yesus iba terhadap orang banyak yang bagaikan kawanan domba tanpa gembala, meminta para murid agar meminta kepada Sang Empunya tuaian untuk mengutus lebih banyak lagi pekerja-pekerja untuk mengurus tuaian itu. Akan tetapi, meminta atau berdoa saja tidak cukup. Para murid sendiri harus terlibat dalam lading Sang Tuan itu. Selanjutnya, Yesus mengutus mereka untuk mengerjakan juga apa yang selama ini dikerjakan Yesus.

 

Hal yang sama terjadi di padang gurun sunyi ini. Mereka sekarang berhadapan dengan banyak orang. Lima ribu lebih yang membutuhkan makanan. Yesus tidak mengabulkan permintaan para murid yang meminta-Nya agar menyuruh orang banyak itu pergi ke kampung-kampung untuk mencari makanan. Alih-alih menyuruh orang banyak itu pergi, Yesus meminta para murid-Nya itu melibatkan diri untuk memberi mereka makan. Unik cara Yesus melibatkan mereka, bukan dari yang tidak ada, melainkan apa yang mereka punya, yakni lima roti dan dua ikan. Dengan apa yang mereka punya, mereka diajak untuk melayani orang banyak itu!

 

Yang diminta dari para murid selain apa yang ada – dalam hal ini makanan – tetapi juga kesediaan untuk mendengar dan mengarahkan hati kepada Yesus. Dalam hal ini para murid belajar untuk melepaskan ego mereka. Mereka diajar untuk bertanggung jawab terhadap kawanan domba itu. Para murid diajak untuk mempunyai bela rasa yang sama dengan Guru mereka. Benar, adalah lebih mudah untuk menyuruh orang banyak itu pergi membeli makanan sendiri, namun Yesus tidak menyetujui ide ini. 

 

Alih-alih Yesus menuruti permintaan para murid, para muridlah yang harus menyendengkan telinga dan mengarahkan hati mereka kepada Yesus. Satu saja yang diminta dari mereka yaitu: melakukan apa yang mereka dengar; mengerjakan apa yang diperintahkan Yesus dengan ketaatan penuh. Maka mukjizat itu terjadi!

 

Dalam kehidupan bergereja dan keseharian kita, bukankah kita juga terbiasa dengan cara berpikir para murid Yesus? Lebih mudah kita melepas mereka untuk “membeli makan” sendiri ketimbang menyiapkan dan memberi mereka makan. Bayangkan, betapa repotnya menyediakan ini dan itu untuk memenuhi kebutuhan mereka. Melalui kisah ini kita diajak untuk mengarahkan hati kepada Tuhan agar kita juga mengerti dan memahami apa yang menjadi keprihatinan Tuhan. Kita diajak untuk menjadi rekan sekerja-Nya yang tidak hanya pandai meminta, tetapi juga ikut terlibat dalam pelayanan-Nya. Dia tidak meminta apa yang tidak ada pada kita, melainkan apa yang ada. Bisa jadi apa yang ada pada kita sama seperti yang dimiliki para murid: hanya lima roti dan dua ikan. Namun, apa yang terjadi ketika kita rela melepaskannya dan dipakai oleh Tuhan? Ya, mukjizat itu nyata!

 

Saat ini Tuhan menginginkan kita bukan hanya sebagai penonton atau penikmat mukjizat, melainkan terlibat aktif untuk menghadirkan mukjizat itu bagi orang banyak yang sedang membutuhkan. Mengarahkan hati pada Tuhan akan menolong kita untuk tahu apa yang harus kita kerjakan dalam lading pelayanan Tuhan!

 

Jakarta, 30 Juli 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar