Pembubaran paksa yang disertai penganiayaan oleh kelompok yang disebut “intoleran” Kembali terjadi di Kota Solo. Peristiwa itu terjadi pada Sabtu, 8 Agustus 2020 dalam acara jelang pernikahan atau midodareni di Pasar Kliwon. Aksi tersebut mengakibatkan tiga anggota keluarga yang melakukan hajatan itu babak belur dan harus dilarikan ke rumah sakit. Karuan saja aksi ini menimbulkan kegaduhan, masyarakat disentak kembali oleh kelompok-kelompok intoleran yang merasa benar sendiri.
Kelompok yang merasa paling benar selalu saja ada dalam kehidupan masyarakat. kelompok-kelompok seperti ini tumbuh subur khususnya dalam kehidupan beragama. Dalam kalangan Yahudi, sejak dahulu mereka membagi strata sosial dengan purity system; sistem ketahiran yang menentukan siapa yang paling saleh dan bermartabat. Kalangan Yahudi tampaknya terbiasa membelah dan memisahkan diri mereka sebagai umat pilihan, sedangkan di luar mereka adalah bangsa-bangsa yang bukan pilihan; tidak tahir alias najis.
Halal dan haram bagi orang-orang Yahudi sangat sensitif. Perdebatan sengit sempat terjadi antara Yesus dan para ulama Yahudi (Matius 15:1-20). Setelah, Yesus membongkar tembok pemisah antara halal-haram; najis-tahir, kini terbukalah jalan bagi Yesus untuk masuk ke wilayah bangsa-bangsa lain. Di tengah-tengah bangsa non Yahudi inilah Yesus kemudian berkarya memberitakan Injil Kerajaan Allah dan memulihkan kelemahan manusia.
Kota Tirus dan Sidon adalah yang pertama. Sekarang kota ini adalah Sur dan Sayda, di wilayah pesisir Libanon Selatan. Dalam tradisi Perjanjian Lama, wilayah ini menjadi lambang atau ikon dunia Kanaan; dunia kafir. Di sinilah Yesus bersama dengan para murid-Nya berjumpa dengan seorang perempuan Kanaan, yang oleh Injil Markus disebut perempuan Siro-Fenisia (Markus 7:26).
Perempuan ini adalah seorang ibu yang anaknya sedang menderita sakit. Tampaknya ia mengenali dan tahu tentang Yesus, maka ia berseru kepada-Nya, “Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud”. Menarik, ibu rumah tangga yang sederhana ini menyapa Yesus dengan sebutan yang belum tentu digunakan oleh semua orang yang mengikuti Yesus pada waktu itu: Tuhan dan Anak Daud! Itu berarti si Ibu mengimani bahwa Yesus adalah Mesias. Perempuan Kanaan ini menyembah Yesus dan mengakui-Nya sebagai “Tuhan”. Ibu ini mendahului bangsa-bangsa yang pada penulisan Injil menjadi percaya bahwa Yesus adalah Tuhan dan Mesias. Pengakuan tulus dari seorang yang sederhana.
Meski pengakuan Ibu ini begitu tulus, dan ia menyembah-Nya, juga memperlihatkan iman yang luar biasa, namun nyatanya Yesus tidak serta merta memenuhi harapannya: memulihkan anaknya yang kerasukan setan. Bukankah Yesus sangat mampu, tinggal mengatakan sepatah kata saja, pasti anak si Ibu ini bebas dari belenggu setan? Mengapa Yesus seolah mengulur waktu dan malah enggan untuk memenuhi permintaan perempuan yang sungguh-sungguh beriman ini? Alasannya baru terungkap ketika murid-murid merasa terganggu dengan teriakannya meminta tolong, dan mendesak Yesus untuk segera mengusir si Ibu ini. “Lalu murid-murid-Nya datang meminta kepada-Nya: ‘Suruhlah ia pergi, sebab ia mengikuti kita sambil berteriak-teriak.’” (Matius 15:23).
Bukan kali ini saja murid-murid berani menyuruh Yesus mengusir orang yang berpotensi mengganggu mereka tanpa memenuhi kebutuhan mereka (Matius 14:15; 15:32-33). Sikap tidak mau diganggu dan tidak peduli para murid terhadap perempuan Kanaan, orang asing ini merupakan gambaran sikap Jemaat Matius yang dominan orang-orang Yahudi-Kristiani dan kurang peka bahkan cenderung mengabaikan orang-orang non Yahudi. Mereka enggan membangun dan menjalin relasi dengan mereka layaknya seperti saudara-saudara mereka sendiri. Alih-alih ramah, mereka cenderung membangun tembok dan merasa diri lebih baik ketimbang orang-orang non Yahudi itu.
Dalam penolakan itu, sangat mungkin mereka berargumentasi bahwa Yesus juga hanya menjalankan misi-Nya di tengah-tengah bangsa Israel. Mengenai hal ini, penulis Injil Matius tidak menyangkal, sebaliknya: berani menegaskan dan mengutip apa yang dikatakan Yesus, bahkan dua kali (terdapat dalam Matius 10:5,6 juga), bahwa Ia dan murid-murid-Nya “diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.”Namun, kita perlu berhati-hati menangkap makna dari kalimat ini. Penulis Injil Matius mengutip ucapan Yesus ini bukan dalam arti bahwa ia setuju dan menegaskan bahwa misi Yesus memang seperti itu. Bukan demikian! Sebaliknya, Matius menggunakannya untuk mempertajam kenyataan bahwa Yesus yang mula-mula membatasi diri kepada Israel, setelah mengalami penolakan oleh umat Allah itu dan setelah kebangkitan-Nya memperluas misi-Nya dengan mengutus murid-murid-Nya kepada segala bangsa (Matius 28:19).
Kita melihat sekarang kepada sikap dari perempuan Kanaan itu. Meski ditolak, perempuan Kanaan itu menyembah Yesus sebagai Tuhan, dan kembali meminta pertolongan dari Yesus. Apa yang dilakukan Yesus? Tanpa menyapa perempuan itu secara langsung, Yesus dengan memakai bahasa kiasan terkesan menolak permintaan si Ibu ini. Walau ini merupakan bahasa kiasan, namun tetap saja ada dikotomi antara Yahudi dan non-Yahudi. Lalu, kita bertanya: “Apakah ajaran-Nya tentang apa yang (tidak) menajiskan orang (Matius 15:1-20) sudah dilupakan Yesus? Apakah kiasan-Nya dalam ayat 26 membedakan umat pilihan Allah yang tahir dari bangsa-bangsa lain yang najis seperti anjing? Entah bagaimana maksudnya, roti bagi anak-anak menunjukkan bagi Israel, dan tidak bagi bangsa-bangsa lain: Yang seperti ini adalah keyakinan sebagian besar umat Yahudi. Ataukah Yesus seperti kebanyakan para politikus: hari ini ngomong A, besok lusa ngomong B? Barangkali sepintas pun kita memaknai demikian.
Tujuan kisah ini jelas bukan menggambarkan Yesus sebagai orang Yahudi yang diskriminatif, tetapi menampilkan perempuan Kanaan sebagai contoh atau figur orang beriman yang tangguh. Ia tidak mudah putus asa atau tersinggung dengan perlakuan para murid dan kata-kata Yesus yang tajam itu. Ia dengan rendah hati mampu memanfaatkan kata-kata itu untuk tujuannya: Anak-anak anjing tentu kebagian remah-remah yang jatuh dari meja tuannya.
Iman perempuan yang tidak kenal Lelah inilah yang kemudian dipakai Yesus menjadi contoh. Yesus kemudian mengabulkan permintaan perempuan asing ini sambil memuji imannya. Tanda utama seseorang beriman itu bukanlah bahwa ia kelihatan menyembah Yesus sebagai Mesias, bukan yang berseru-seru Tuhan-Tuhan! (Matius 7:21-23), melainkan keyakinan yang bertahan di tengah-tengah tantangan yang berat. Meski tidak dijawab bahkan ditolak dengan kata-kata yang tidak menyenangkan, dengan tabah dan rendah hati ia percaya bahwa akan ada anugerah keselamatan yang diperolehnya juga untuk putrinya. Iman yang seperti ini mirip juga yang dicontohkan oleh seorang perwira di Kapernaum.
Kisah ini juga dengan begitu jelasnya menyatakan bahwa kasih Yesus tidak mengenal sekat-sekat: bangsa pilihan atau bukan; najis atau tahir. Kasih-Nya berlaku dan menyapa semua orang. Tentu saja sikap atau respons orang dalam menyambut kasih dan anugerah Tuhan itu tidak bisa diabaikan. Nah, kalau kasih Allah di dalam Yesus itu mampu menjangkau semua orang – Yesus telah meruntuhkan sekat-sekat itu – mestinya, setiap orang yang percaya kepada-Nya juga punya sikap yang sama. Kita dipanggil tidak hanya mengasihi kelompok kita, kalangan sendiri, melainkan mengasihi semua orang tanpa membeda-bedakan. Inilah kasih yang lintas batas itu. Indonesia yang penuh dengan pelbagai keragaman menantikan karya kasih yang seperti ini. Dengan jalan inilah kita merayakan dan mengisi kemerdekaan. Siapa yang mencintai Indonesia, ia harus mampu mengasihi dengan kasih yang lintas batas!
Jakarta, 13 Agustus 2020
Dirgahayu Indonesia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar