Kita semua akrab dengan nasi, kacang-kacangan, dan sayur-mayur. Namun, meski setiap hari terhidang di meja makan kita, belum tentu kita tahu apalagi mencermati seperti apakah benih yang menumbuhkan makanan-makanan itu? Kalau kita menelisik benih beras saja, dapat dipastikan ada ratusan bahkan ribuan varietas. Menurut familinya, padi dibedakan menjadi tiga, yakni : Indica, Javanica dan Japonica. Indica itu padi yang tidak berbulu, Javanica yang paling banyak ditanam di Indonesia, sedangkan Japonica tumbuh di daerah subtropis seperti di Jepang. Berdasarkan warnanya, padi itu ada merah, hitam, putih, bahkan sekarang ada yang ungu. Badan Litbang pertanian sendiri sudah mengembangkan 100 jenis varietas padi unggul. Dari begitu banyak varietas padi, adalah satu hal yang teramat sulit seseorang dapat membedakan sebutir benih ini varietas apa kalau tidak ada merek atau label yang tertera dalam kemasan benih itu. Kita baru tahu ketika padi itu mulai tumbuh dan akhirnya menghasilkan buah.
Tema khutbah kali ini memang bukanlah tentang varietas padi. Namun, ada hubungannya dengan dunia cocok tanam. Yesus memberikan pengajaran tentang Kerajaan Surga dengan perumpamaan tentang tanaman : lalang dan gandum. Barangkali lalang dan gandum masih family dekat. Lalang dalam perumpamaan ini adalah sejenis tumbuhan beracun yang sering tumbuh di lading. Pada tahap awal pertumbuhannya, lalang sangat sulit dibedakan dari gandum. Sama sulitnya ketika kita membedakan varietas pada pada awal pertumbuhan. Tidak diketahui dengan pasti lalang jenis apa yang dimaksudkan Yesus dalam perumpamaan ini. Para ahli botanika menduga bahwa jenis lalang ini adalah lolium temulentum. Nama lalang ini (Yunaninya : zizanion).
Sekali lagi, baru pada waktu berbulir, di situlah tampak jelas mana yang lalang dan mana gandum. Pada bagian lain, Yesus mengingatkan dari buahnyalah orang mengenal pohon itu (Matius 7:20). Meski begitu, tampaknya para pekerja atau hamba-hamba sang pemilik ladang itu dapat membedakan mana lalang dan mana gandum ketika keduanya mulai tumbuh. Ini menandakan bahwa para hamba ini begitu mengenal apa yang ditanam dari benih sang pemilik ladang. Para hamba ini adalah orang-orang yang sangat setia dalam tugas yang dipercayakan kepada mereka. Sehingga ketika mereka melihat keganjilan ini – ada lalang di tengah-tengah ladang gandum – mereka segera bereaksi. Mereka meminta kepada sang tuan untuk memberi izin mencabut semua lalang-lalang yang tumbuh itu.
Bukankah apa yang diminta oleh hamba-hamba ini adalah hal yang baik dan terpuji? Namun, di luar dugaan, ternyata sang tuan tidak membolehkan mereka untuk mencabut lalang-lalang itu. Alasannya jelas, nanti kalau dicabut, gandum-gandum itu akan tercabut juga. Biarkan mereka tumbuh bersama, toh nanti pada saat panen akan ketahuan yang mana gandum dan yang mana lalang. Lalang akan dibakar dan gandum akan masuk lumbung sang tuan.
Dari kisah perumpamaan ini, kita dapat menangkap apa yang ingin diajarkan oleh Yesus. Di sinilah Yesus menanamkan kesabaran terhadap orang-orang yang berlaku jahat sampai pada waktu “menuai”. Istilah ini lazim digunakan untuk hari pengadilan Tuhan (Yoel 3:13; Wahyu 14:15; Matius 3:12). Sebelum hari itu tiba, orang-orang berdosa lazimnya diberi kesempatan untuk bertobat.
Kerajaan Allah yang hadir dalam diri orang-orang benar, selalu berada di tengah konteks masyarakat yang mengabaikan kehendak Allah. Pada kondisi ini, orang-orang yang merasa diri sudah benar menjalankan perintah Allah merasa tidak sabar. Seperti para hamba yang ingin mencabuti lalang itu. Bisa jadi, orang-orang yang tidak sabar dan ingin membasmi orang-orang jahat ini adalah mereka: para ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Bukankah dalam beberapa peristiwa perdebatan dengan Yesus mereka selalu menarik garis pemisah yang tajam antara si pendosa dan mereka sendiri yang menganggap lebih saleh. Para pendosa itu – dalam pandangan mereka – tidak layak untuk dikasihi. Mereka layak dihukum, dikucilkan bahkan dienyahkan!
Orang-orang yang merasa diri saleh, benar selalu timbul keinginan untuk membasmi segala kjahatan dan juga pelakunya, karena ketakutan yang jadi pepatah, “Tanam lalang tidak akan tumbuh padi”. Semangat puritan atau merasa diri paling benar dan saleh akan menjadi orang-orang yang siap kapan saja untuk lalang, mereka tidak menyadari bahwa dengan melakukan hal demikian justru akan mencabut juga gandum, karena dapat memprovokasi orang-orang benar lainnya menjadi orang-orang yang fanatik dan menghalalkan berbagai cara untuk membungkam bahkan membunuh orang-orang atau kelompok yang dipandang berbeda dari dari mereka. Inilah yang sering kali kita saksikan. Praktik kehidupan agama yang fanatik. Agama bukan dipakai untuk membangun kesejahteraan bersama, melainkan membangun kekuatan, memobilisasi umat dan siap mencabut atau menumpas siapa saja yang dianggap lawan.
Yesus sebaliknya, menghendaki orang benar untuk mampu hidup bersama-sama orang yang tidak benar dalam kesabaran dan belas kasihan, baik di dalam persekutuan murid-murid maupun di tengah-tengah masyarakat umum, sampai saatnya Tuhan sendiri yang menjadi hakim yang menentukan itu. Lalu, sangat mungkin kita berpikir: Apakah kita pasif, diam saja? Bukankah kejahatan itu harus dilawan sebelum terus berkembang? Bukankah kejahatan semakin inten oleh karena orang-orang benar itu diam saja?
Meski sepintas perumpamaan ini tampaknya pembiaran terhadap perilaku jahat, namun kita diingatkan bahwa lalang adalah lalang dan gandum adalah gandum. Gandum harus menghasilkan buah yang bernas. Ia harus berani tumbuh ditengah-tengah impitan bahkan tekanan perilaku jahat. Caranya? Seperti diingatkan oleh Paulus, hiduplah menurut Roh, “Semua orang, yang dipimpin oleh Roh Allah, adalah anak-anak Allah.” (Roma 8:14). Hidup menurut Roh, meski tidak mudah akan menolong kita untuk senantiasa berpengharapan bahkan menghasilkan buah. Dari buahinilah sebenarnya setiap orang percaya dimampukan untuk “melawan” kejahatan itu.
Kejahatan tidak perlu dilawan dengan kejahatan. Bisa saja seseorang ketika melawan kejahatan ia merasa sedang membela kebenaran. Namun, disadari atau tidak, perilaku itu sama saja dengan praktik kejahatan. Contoh, Anda muak melihat orang-orang yang berperilaku jahat; koruptor, perampok, pemerkosa, dll. Lalu, dalam kejengkelan Anda itu, Anda mengambil tindakan untuk membunuh si koruptor, si perampok, si pemerkosa itu. Dengan demikian Anda merasa sedang berbuat baik, memerangi kejahatan. Anda sedang mencabuti lalang itu! Satu hal kita lupa, bahwa dengan berperilaku demikian, bukankah kita sama saja dengan orang lain yang berbuat jahat itu? Kita menjadi pembunuh!
Ada cara lain. Bukan dengan mencabut lalang, tapi menumbuhkan gandum itu sampai berbuah serratus kali lipat, enam puluh kali lipat, dan tiga puluh kali lipat. Buah-buah yang kita hasilkan sebagai anak-anak Tuhan itulah yang seharus menjadi kesaksian yang indah. Kejahatan terus berkembang, ya memang benar oleh karena orang-orang baik, orang-orang benar diam. Ya, diam tidak menghasilkan buah! Makin hari kita makin kekurangan teladan orang-orang yang mampu menjadi panutan dan contoh. Gereja semakin sedikit diisi oleh orang-orang yang punya integritas dan dapat dijadikan contoh.
Mahatma Gandhi adalah contoh dan teladan. Ia tidak menggunakan kekerasan dalam perjuangannya. Namun, menampilkan nilai-nilai luhur yang terinspirasi oleh ajaran Yesus sendiri. Ia mempraktikkannya dan menjadi contoh. Kalau kehidupan kita dalam berelasi dengan Tuhan menghasilkan buah, maka di rumah kita, kita akan menjadi contoh dan panutan untuk anggota keluarga. Anak-anak akan mencontoh perilaku yang baik. Dari rumah kitalah terbentuk peradaban sebuah komunitas masyarakat.
Lewat perumpamaan ini, justru Yesus mengajak kita melawan kejahatan dengan kesabaran dan buah nyata!
Jakarta, 17 Juli 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar