Kamis, 02 Juli 2020

JANGAN TERUS MENENTANG

Selalu ada celah untuk menolak apa yang tidak kita sukai, meski dalam hati kita mengakui apa yang kita tolak itu ada nilai kebenarannya. Sebaliknya, selalu ada alasan pembenaran ketika kita menyukai sesuatu, walau ada banyak keburukan dalam apa yang kita sukai ini. Ini sangat tergantung pada posisi mana kita berdiri. Ketika kita tidak menyukai seseorang, meski begitu banyak kebaikan yang ditampilkan orang itu, maka yang kita lihat adalah kejelekannya. Sebaliknya, ketika kita menyukai seseorang, hampir dipastikan sisi buruknya tidak akan kita hiraukan.

Yesus berkeliling mewartakan Injil Kerajaan Allah di daerah-daerah seperti Khorazim, Betsaida, dan Kapernaun namun tampaknya, desa-desa yang berada di wilayah Galilea ini tidak antusias meyambut-Nya, bahkan mereka cenderung menolak pelayanan Yesus. Ada saja alasan yang dicari-cari untuk menentang-Nya. Yesus sangat sedih melihat kebusukan tabiat manusia. “Dengan apakah akan Kuumpamakan angkatan ini?”Demikian pertanyaan retorik Yesus terhadap para penentang-Nya.

Yesus mengumpamakan mereka seperti anak-anak yang sedang bermain di tanah lapang, di pasar. Sekelompok anak mengajak kepada teman-temannya, “Mari kita bermain seperti dalam pesta kawin; kami meniup seruling dan kalian akan menari.” Bagimana respon teman-teman yang diajak bermain itu? “Kami tidak merasa senang hari ini, jadi kami tidak mau menari!” 

Jadi, kalau tidak sedang merasa senang, “Baiklah kita bermain bukan permainan pesta perkawinan, tetapi permainan dalam acara penguburan!” 

“Kami tidak sedang merasa sedih hari ini, jadi kami tidak mau bermain acara penguburan!” Mereka menolak ajakan itu. William Barclay menyitir ungkapan orang Skotlandia bahwa orang-orang yang seperti ini adalah “orang-orang yang selalu menentang”. Tidak peduli apa pun yang diusulkan, mereka tidak mau melakukannya; tidak peduli apa yang ditawarkan, mereka selalu menemukan kesalahan di dalamnya. Demikianlah orang-orang yang menentang pekerjaan Allah itu selalu mencari-cari kesalahan yang dapat dijadikan alasan untuk menentang, menyerang bahkan menyingkirkan utusan Allah yang menyatakan kasih dan kebenaran itu. 

Yesus memberi contoh alasan yang dicari-cari untuk menolak utusan Allah itu. Yohanes datang, ia tinggal di padang gurun, berpuasa dan menolak makanan, mengucilkan diri dari masyarakat. Tentang hal ini mereka berkata, “Orang itu gila sebab ia memisahkan dirinya sendiri dari masyarakat dan dari kenikmatan manusiawi dengan cara hidup yang aneh itu.” Kemudian setelah Yohanes, Yesus mulai tampil. Yesus datang, bergaul dengan semua ragam manusia. Ia ikut merasakan kesedihan dan kegembiraan mereka, menemani mereka pada waktu sukacita; dan mereka berkata tentang Dia, “Dia adalah seorang pelahap; Ia tukang pergi ke tempat pesta; Ia adalah kawan orang-orang yang tidak pantas bergaul dengan orang terhormat.” Mereka menyebut cara hidup Yohanes Pembaptis yang asketis (mengasingkan diri) sebagai kegilaan; dan mereka menyebut keramahtamahan Yesus sebagai tidak bermoral. Mereka selalu dapat menemukan alasan untuk melontarkan kritik dengan cara apa pun.

Adalah sebuah fakta yang jelas bahwa ketika orang tidak ingin mendengarkan kebenaran, mereka dengan mudah menemukan alasan untuk tidak mau mendengarkannya atau menentangnya. Mereka bahkan tidak berusaha untuk bersikap konsisten dengan kristik mereka; mereka akan mengkritik orang yang sama, dan Lembaga yang sama dengan alasan yang bisa berlawanan. 

Bukankah kita juga bisa bersikap seperti ini? Ketika kita tidak suka mendengarkan sebuah argument kebenaran kita dengan segera akan menemukan alasan untuk mendebat, menolak, menentang, bahkan mencemooh kebenaran itu. Mengapa? Selain pertama-tama tidak suka, bisa jadi ketika mendengarkannya akan memaksanya untuk mengakui dan mengubah sikapnya. Dan, untuk hal ini orang harus berani keluar dari zona nyamannya. Orang-orang Farisi dan orang-orang Galilea menolak dan menentang Yesus oleh karena mereka merasa diri sudah hidup lebih baik, saleh dengan menjalankan tradisi Taurat. Orang-orang Galilea menentang Yesus oleh karena mereka merasa lebih tahu masa kecil Yesus dan orang tua-Nya. Jadi, mereka merasa terhina kalau harus menuruti apa yang diajarkan Yesus. 

Di sinilah Yesus menggambarkan bahwa orang dewasa bisa punya sifat dan sikap kekanak-kanakan. Seperti anak-anak manja yang menolak bermain, tidak peduli permainan apa pun, selalu ada alasan untuk menolaknya.

Menghadapi orang-orang yang terus menentang-Nya, Yesus menutupnya dengan kalimat, “Tetapi hikmat Allah dibenarkan oleh perbuatannya.” (Matius 11:19). Keputusan terakhir tidaklah terletak pada para pengkritik yang lekas naik darah dan jahat, tetapi pada peristiwa. Waktu yang membuktikannya: Orang Yahudi boleh saja mengkritik Yohanes Pembaptis karena kehidupannya yang mengasingkan diri. Namun, waktu membuktikan bahwa apa yang dilakukan Yohanes telah menggerakkan hati banyak orang kepada Allah, yang selama berabad-abad sebelumnya tidak tergerak untuk mencari Allah dan bertobat. Orang-orang Yahudi boleh saja mengkritik Yesus karena kehidupan-Nya yang bebas bergaul dengan siapa saja termasuk dengan orang-orang yang dilabeli pendosa. Namun nyatanya, di dalam Dia orang-orang menemukan kasih sayang Bapa, hidup baru, kebaikan baru, dan kekuatan baru untuk menjalankan hidup sebagaimana yang seharusnya mereka jalani dan menemukan jalan baru untuk menghampiri Allah.

Pada saat ini entah kita berdiri sebagai orang-orang yang selalu menentang atau masuk dalam kelompok seperti orang-orang yang mendengar suara Yohanes Pembaptis dan Ajaran Yesus. Kita sangat mudah berada dalam kelompok penentang. Apa saja dapat dijadikan alasan untuk kita menentang gereja kita dan segala aspek pelayanannya. Pada masa-masa sulit seperti ini pun, tidak hanya para politisi yang gemar mencari kesalahan pemimpin negara dalam menangani pandemi Covid 19 ini: dilonggarkan salah, dilockdown keliru. Ada banyak celah menyerang pemerintah. 

Dalam gereja pun bisa seperti itu; sudah menjadi rahasia umum, bahwa yang sering memberikan kritik hampir dipastikan tidak memberi solusi, apalagi menjadi bagian dari jalan keluar dengan berpartisipasi nyata dalam tindakan. Hampir dipastikan orang-orang yang bisanya mengkritik tidak mampu melihat kebaikan-kebaikan yang sedang terjadi, apalagi mengapresiasinya. Yang dilihat adalah bagian kekurangannya.

Lalu kalau begitu, apakah gereja tidak boleh dikritik? Jelas tidak begitu. Gereja yang sehat adalah di mana anggota-anggotanya dapat memberikan masukan atau saran yang baik. Gereja yang sehat adalah gereja yang memiliki anggota-anggotanya yang bersedia bekerja sama dalam pembangunan jemaat. Gereja yang sehat adalah gereja yang anggotanya bukan para penentang dan orang-orang yang terus mencari-cari kesalahan, melainkan para pelaku firman yang bersedia terlibat aktif dalam setiap pergumulan pelayanan.

Jakarta, 2 Juli 2020


Tidak ada komentar:

Posting Komentar