Upah, sering kali menjadi alasan konflik. Hampir setiap tahun selalu saja ada demo dari pelbagai organisasi tenaga kerja (buruh) yang salah satu tuntutan utamanya adalah tentang upah. Upah yang terasa tidak adil dengan tenaga yang mereka keluarkan untuk bekerja.
Upah, bukan saja menjadi isu antara pengusaha dan pekerja. Namun, terbuka atau sembunyi-sembunyi; malu-malu atau terang-terangan mewarnai kehidupan spiritualitas manusia. Bukankah banyak orang mau beribadah, melayani, melakukan ini dan itu oleh karena ingin kehidupannya diberkati, bahagia, sukses, dan kelak kalau meninggal masuk surga? Bukankah kita mau menjadi umat-Nya karena Tuhan memberi ganjaran kehidupan yang lebih baik? Kalimat ,”Upahmu besar di surga”, saya kira bukan hanya menjadi guyonan saja ketika melihat seseorang melakukan sebuah pelayanan. Ini bisa serius!
Dalam bacaan Injil hari ini, Matius 10:40-42 Yesus tidak tabu berbicara tentang upah. Ia mengerti pola pikir dan kebutuhan manusia. Bahkan, hal kecil sekali pun yang dilakukan seseorang untuk kebaikan, Yesus menjamin tidak akan hilang atau dilupakan, “Dan barang siapa memberi air sejuk secangkir saja pun kepada salah seorang yang kecil ini, karena ia murid-Ku, Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ia tidak akan kehilangan upahnya dari padanya.” Jadi, untuk yang kecil saja Tuhan mengingatnya, apalagi untuk perkara yang besar. Dalam hal ini, Yesus mengingatkan pendengarnya untuk tidak perlu khawatir memikirkan imbalan yang akan diterima ketika seseorang berbuat baik. Bahkan dalam kalimat ini, tersirat motivasi kuat agar setiap orang yang mendengar-Nya menyambut karya Tuhan melalui para utusan-Nya dengan sukacita dan memberikan dukungan bagi pelayanan itu.
Pada pihak lain, Yesus meneguhkan para utusan-Nya bahwa siapa saja yang menyambut mereka itu artinya mereka menyambut diri-Nya sendiri. Pun demikian sebaliknya, siapa yang menolak mereka pada hakikatnya menolak Yesus sendiri yang mengutus mereka. Dalam dunia kuno tanpa media komunikasi yang cepat, peran seorang utusan sangatlah penting. Kalau kita melihat film-film kolosal Mandarin, seorang utusan Kaisar ke suatu daerah tertentu sangat dihormati, ini seperti kehadiran Kaisar itu sendiri. Dengan memperlihatkan mendali atau meterai Kaisar, seluruh rakyat langsung sujud menyembah dan mengucapkan doa berkat.
Dalam tradisi Yahudi, seorang utusan itu sama seperti si pengutusnya sendiri (Mishna, Berakot 3,5). Hal menyambut utusan di sini tidak pertama-tama menyangkut penyediaan makanan (ay.24) atau pemberian penginapan (ay.11), tetapi penerimaan pesan dari si Pengutus, yakni: Injil! Siapa yang menyambut utusan Bersama Injil yang disampaikannya, ia menyambut Yesus yang mengirim utusan itu, dan barang siapa menyambut Yesus, ia menyambut Allah yang telah mengutus Yesus untuk menyampaikan Injil Kerajaan Allah.
Melalui wejangan-Nya dalam bacaan Injil yang hari ini kita baca (Matius 10:40-42), ada dua pihak yang Yesus nasihati yang inti supaya kedua pihak ini tidak khawatir akan jaminan yang Tuhan berikan ketika mereka menyambut karya Allah di dalam Yesus Kristus. Kedua pihak itu adalah: pertama, orang-orang yang kepada mereka Tuhan percayakan tugas pengutusan. Mereka diminta untuk fokus sebagai utusan. Yesus menyamakan utusan itu dengan diri-Nya. Ia mengapresiasi dan tentu saja menjamin, melindungi sama seperti Bapa terhadap diri-Nya. Pihak kedua adalah umat yang kepada mereka Injil diberitakan. Bacaan ini memotivasi jemaat untuk turut berpartisipasi dalam pemberitaan Injil dengan menyambut mereka yang dipercayai memberitakannya dengan memberikan keperluan untuk mendukung tugas-tugas pemberitaan itu. Dengan berbuat demikian mereka menerima Kristus dan Bapa sendiri. Dan untuk itu mereka tidak akan kehilangan ganjaran yang sama yang disediakan bagi para utusan itu. Jadi, jangan khawatir, Yesus menjamin!
Minggu lalu kita belajar dari tokoh yang bernama Charles Spurgeon. Hari ini kita mau belajar dari Susannah, istri dari Charles Spurgeon (kisah dikutif dari Vance Christie, Timeless Stories). Untuk waktu yang cukup lama Susannah setengah difabel. Ia sakit dan harus tinggal lebih banyak di rumah. Pada 1875, Lectures to My Students karya suaminya diterbitkan. Susannah berkata kepada suaminya, “Aku berharap bisa mengirim Salinan ini ke setiap pendeta di Inggris!”
“Lalu mengapa tidak melakukannya?” jawab suaminya, “Berapa banyak yang akan kau beri?”
Untuk beberapa waktu Susannah membiasakan menabung. Dengan tabungannya itu, ia mampu membeli 100 eksemplar Lectures to My Students dan mengirimkannya kepada para pendeta yang membutuhkan. Apa yang dilakukan Susannah diam-diam, telah menyebar dan teman-temannya mulai mendukung dengan memberi bantuan dana sehingga ia bisa mengirim lebih banyak buku lagi. Ia juga memesan serangkaian seri tafsir Mazmur yang ditulis suaminya, The Treasury of David dan mengirimkannya kepada para pendeta yang membutuhkannya. Dalam waktu kurang dari setengah tahun, ia telah mengirim lebih dari tiga ribu buku.
Pelayanan ini berkembang bukan hanya menyediakan buku-buku untuk pendeta, tetapi juga melayani mereka yang membutuhkan pakaian yang lebih baik dan hangat. Susannah meluncurkan Dana Bantuan untuk keluarga pendeta. Permintaannya atas sumbangan uang, pakaian, dan selimut mendapat respon luar biasa. Banyak orang yang tergerak untuk tidak hanya memberi bantuan uang dan pakaian, tetapi juga mereka bersedia menjadi relawan.
Tentang pelayanan yang membuahkan berkat ini, Susannah Spurgeon menulis:
“Tuhan kita yang murah hati melayani anak-Nya yang menderita dengan cara yang paling manjur, ketika Dia dengan manis menuntunnya untuk melayani kebutuhan pelayanan-Nya. Dengan ini Dia memanggilnya menjauh dari kesedihan pribadinya, memberikan nada dan konsentrasi untuk hidupnya, membimbingnya untuk terus-menerus berhubungan dengan diri-Nya, dan membesarkannya lebih dekat ke pusat area tempat kegembiraan duniawi dan duka bukanlah hal yang utama.”
Untuk berkat ini, Susannah menulis:
Saya sendiri berhutang kepada sahabat terkasih yang telah melengkapi saya dengan cara membuat orang lain bahagia. Bagi saya, itu telah menjadi berkat ganda. Saya telah menjadi keduanya, baik penerima maupun pemberi. Hari-hari saya menjadi begitu cerah dan bahagia tak terlukiskan dengan tugas menyenangkan yang berhubungan dengan pekerjaan dan pengaturan kecil … sehingga sepertinya saya hidup dalam suasana berkat dan kasih, dan benar-benar dapat mengatakan Bersama pemazmur, “ … pialaku penuh melimpah”(Mazmur 23:5)
Itulah “upah” yang diterima Susannah Spurgeon, “Pialaku penuh melimpah!” Ia menjadi seorang penerima dan sekaligus pemberi. Ia tidak pernah berpikir tentang imbalan atau upah itu, apalagi menuntutnya. Tuhan mengerti dan Ia melimpahkannya. Susannah yang semula setengah difabel, kehidupannya sebatas di rumah. Namun, ia telah menjai berkat bagi banyak orang. Orang-orang menyamburnya dan pelayanan itu tumbuh berkembang.
Jadi, janganlah khawatir untuk ikut ambil bagian dalam pekerjaan Tuhan. Jangan khawatir tentang upah itu, sebab sebelum kita memintanya, Tuhan sendiri telah terlebih dahulu memberikannya kepada kita. Sebelum kita diminta mencitai orang lain, kita telah terlebih dahulu ditebus dan dicintai-Nya. Kini, lakukan tugas yang Tuhan percayakan kepada kita dengan segenap hati dan dengan ungkapan syukur!
Jakarta, 26 Juni 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar