Kamis, 18 Juni 2020

TETAPLAH NYATAKAN KEBENARAN KRISTUS

Charles Spurgeon (19 Juni 1834 – 31 Januari 1892, Pendeta Gereja Baptis Inggris), punya pengalaman takut ketika harus menyeberang jalan raya. Ia memerlukan orang lain untuk membantu menyeberang. Kala itu, jalanan kota London sering berbahaya, penuh kuda, kereta dan gerbong. Beberapa melintas begitu cepat, hampir tidak ada peraturan lalu lintas untuk mengendalikan mereka. Bisa ditebak, tentu saja banyak terjadi kecelakaan.

Suatu hari Spurgeon berdiri dekat Bank of England, di situlah salah satu persimpangan tersibuk dan paling berbahaya untuk menyeberang di seluruh kota London. Tiba-tiba ada orang buta memegang lengannya dan meminta agar ia memandunya untuk menyeberang di jalan berbahaya itu. Bisa dibayangkan, Spurgeon yang punya pobia menyeberang dan dia sendiri membutuhkan pemandu untuk menyeberang, sekarang ia diminta oleh orang buta itu untuk menolongnya menyeberang jalan berbahaya itu!

Spontan, Spurgeon berkilah bahwa ia juga takut menyeberang. Orang buta itu menjawab, “Tapi, bukankah engkau dapat melihat!”
“O, iya. Aku dapat melihat, tapi takut.”
“Jika engkau dapat melihat, “ ujar orang buta itu dengan logika sederhana, “Aku akan mempercayaimu.” 

Kepercayaan yang penuh itulah dengan sekejap melenyapkan ketakutan Spurgeon. Dan akhirnya sang pendeta itu berhasil membantu orang buta tadi menyeberang. “Aku tahu aku bisa mempercayaimu!” kata orang buta itu kepada sang pendeta ketika mereka berhasil menyeberang.

Pengalaman ini menjadi sebuah pembelajaran yang kuat dalam diri Spurgeon. Ia mengaitkan pengalaman itu pada kesempatan berikutnya. Spurgeon menyatakan bahwa untuk bisa dipercaya sedemikian rupa benar-benar mengangkat ia keluar dari dirinya (dalam hal ini ketakutan yang menghantuinya), dan ia tidak berani mengecewakan kepercayaan tersebut.

Hari Minggu yang lalu kita membaca Injil Matius 9:35 – 10:8. Tema yang kita bahas adalah tentang keprihatinan atau bela rasa Yesus terhadap orang banyak yang letih lesu. Bagai kawanan domba yang tidak punya gembala! Dari itulah Yesus memanggil para murid tidak hanya berdoa meminta Bapa mengirim utusan tetapi juga mereka ditugasi untuk menjawab keprihatinan Yesus itu. Yesus mengutus mereka! Dalam tugas perutusan itu mereka akan menemukan pelbagai tantangan. Bisa saja nyali mereka ciut. Takut!

Yesus tahu dan mengerti dunia yang harus mereka hadapi. Ia juga tahu dan mengerti rasa takut yang bisa menguasai hati para murid. Dalam konteks inilah Yesus memberikan wejangan-Nya. Yesus menjawab kegelisan para murid itu. “Jangan takut!” Dalam bacaan Injil hari ini, minimal tiga kali Yesus menegaskan, “Jangan kamu takut!” (Matius 10:26,28,31). Yesus mengajak menelusuri ketakutan itu. “Jadi, janganlah kamu takut terhadap mereka,..” Siapa mereka? Tidak dijelaskan secara eksplisit. Namun, kita dapat menduganya, mereka adalah masyarakat pada umumnya atau orang-orang yang tidak mau menerima pengajaran dan Injil Yesus Kristus, khususnya yang sudah disebutkan dalam Matius 10: 17,18, yakni mereka yang akan menyerahkan para murid kepada Majelis Agama, akan menyesah di rumah ibadah, penguasa dan raja-raja. Jadi, banyak yang akan memusuhi mereka ketika mereka menyatakan kebearan Kristus itu. 

Pekerjaan pengutusan yang dilakukan oleh para murid itu sama seperti yang dikerjakan Yesus, tantangannya juga sama. Bagaimana pun juga perlakuan yang akan diterima para murid itu akan sama seperti perlakuan yang diterima Yesus (10:24,25). Maka murid-murid diminta untuk tidak takut menghadapinya.

Yesus memberi motivasi kuat kepada para murid-Nya di tengah-tengah segala kemungkinan ancaman yang bakal diterima mereka. Di satu pihak, para murid hendaknya hanya takut dan gentar terhadap Allah serta pengadilan terakhir. Mereka diajak untuk memiliki “ketakutan” yang benar. Yesus mengajak mereka bernalar, “Bagaimana kamu bisa takut kepada kuasa yang terbatas, tetapi kepada Allah yang memiliki kuasa atas seluruh tubuh dan hidupmu, kamu tidak takut.” Dengan cara ini, Yesus sedang mengingatkan mereka untuk mengarahkan rasa takutnya hanya kepada Allah bukan kepada kuasa-kuasa yang hanya bisa membunuh raga dan tidak mampu membunuh jiwa. Jika mereka takut kepada kuasa-kuasa itu, maka artinya mereka mengabaikan takut kepada Allah, dengan begitu mereka tidak akan berani untuk menunaikan tugas panggilannya. Orang yang menyembunyikan dirinya bahwa ia seorang kristiani dan tidak menyatakan kesaksian kebenaran tentang Kristus dan Injil-Nya dengan perkataan dan perbuatan, dapat diserahkan Allah kepada kebinasaan, tanpa dapat mengharapkan pembelaan dari Kristus.

Di lain pihak, orang beriman yang memberikan kesaksian terbuka tentang Yesus dan perkataan-Nya, tidak perlu takut kepada manusia, juga tidak bila diseret ke pengadilan atau diancam kematian. Pertama-tama, berita Injil tidak mungkin tinggal tersembunyi dan sudah pasti akan tersiar ke khalayak ramai. Utusan yang mengakui Yesus di situ akan memberi kesaksian nyata tentang Injil, sangat mungkin menemui perlawanan dan ancaman, bahkan dari orang-orang terdekat sekali pun. Keluarga! 

Perkataan Yesus tidak perlu diartikan bahwa setiap orang Kristen harus mengadakan perlawanan, pertentangan dan permusuhan. Namun, harus dipahami: andaikata pun dalam pemberitaan Injil itu, terjadi penolakan bahkan dalam pihak keluarga terdekat; tetaplah harus setia pada kebenaran Kristus. Bukan mengkompromikan antara kebenaran Kristus dan ketidak-benaran yang sedang terjadi. Dalam hal ini orang Kristen harus dapat memilih prioritas sebagai murid yang berani menyaksikan kebenaran Kristus itu!

Ini kondisi sekali lagi, tidak mudah. Berat! Tetapi dalam kesaksian yang membahayakan secara jasmani dan penuh dilematis, setiap utusan Tuhan akan dibela oleh Kristus dan diperhatikan oleh Bapa. Sama seperti makhluk hidup terkecil tidak jatuh mati di luar perhatian Bapa di sorga, demikian juga setiap saksi-saksi kebenaran Kristus yang dimusuhi, dianiaya, atau dibunuh, berada dalam pelukan Bapa yang memelihara jiwa raganya untuk hidup kekal.

Apa yang sekarang Anda dan saya takuti dalam mewartakan kesaksian kebenaran Kristus? Kembali ke kisah Charles Spurgeon. Ia mempunyai ketakutan menyeberang jalan. Ketakutan itu bagi dirinya ril, nyata. Ia takut kecelakaan di jalanan yang ramai itu! Namun, seorang buta memercayainya. Ia “menyerahkan” hidupnya untuk dituntun Spurgeon. Dan, orang buta itu mengingatkan bahwa Spurgeon bisa melihat! Timbul kesadaran baru. Ketakutan Spurgeon lenyap dan mereka selamat tiba di seberang. 

Apa yang kita takuti, Tuhan sudah melengkapi kita. Dalam bahasa orang buta kepada Spurgeon, “Kita melihat…”. Tuhan memberikan kelengkapan kepada kita. Ingat, berita khotbah minggu lalu: Tuhan mengutus para murid dengan terlebih dahulu memberikan kuasa-Nya. Selain Tuhan melengkapi kita, Dia juga memberikan kepercayaan itu kepada kita. Spurgeon mengatakan, ia tidak mau mengecewakan kepercayaan yang diberikan oleh orang buta itu!

Tuhan memberikan kepercayaan agar kebenaran-Nya dapat kita beritakan. Apakah dalam hal ini kita tidak ingin menjaga kepercayaan itu? Ya, seharusnya kita punya semangat kuat untuk tidak mau mengecewakan mandat dari yang memberikan kepercayaan itu, yakni: Tuhan.

Jakarta, 19 Juni 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar