Kamis, 11 Juni 2020

DIUTUS MENGHADIRKAN TANDA KERAJAAN ALLAH

Peristiwanya lebih dari seabad yang lalu, seorang gadis kecil ikut bersama sekelompok pengunjung galeri seni rupa. Gadis itu berada di tengah-tengah kerumunan orang yang berdiri di depan sebuah lukisan indah yang berjudul “Kristus di hadapan Pilatus”. Lukisan itu menggambarkan adegan memilukan saat Pilatus secara simbolis mencuci tangan, sebelum Yesus dijatuhi hukuman salib. Sementara semua orang menikmati lukisan itu dengan decak kagum, sang gadis kecil itu berteriak spontan, “Mengapa tidak ada yang mau menolong-Nya?”

Sang gadis kecil itu adalah Evangeline Booth, lahir tahun 1865 dan meninggal pada 17 Juli 1950, anak bungsu dari pendiri Bala Keselamatan William Booth. Ia kelak menjadi salah seorang pemimpin Bala Keselamatan – sebuah organisasi kemanusiaan yang menjangkau seluruh dunia, yang menjadikan pelayanan untuk sesama manusia sebagai aturan spiritual. Matanya berbeda dari mata kebanyakan orang yang menikmati lukisan Kristus di hadapan Pilatus. Kegelisannya tidak berhenti ketika ia mempertanyakan “Mengapa tidak ada yang menolong-Nya”. Ia mulai berkhotbah ketika berusia 15 tahun, dan kepemimpinannya diakui dua tahun setelah itu. 

Keprihatinannya terhadap penderitaan umat manusia membuat Evangeline Cory Booth tak segan menyingsingkan lengan bajunya. Terkadang ia menggunakan pakaian compang-camping, menjadi seorang penjual bunga demi merangkul mereka yang tersisih. Maka tidak keliru kalau kemudian orang menjulukinya dengan sebutan “Malaikat daerah kumuh”.

Di hadapan Yesus berdiri orang banyak. Maka tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka..(Matius 9:36). Dalam bahasa Yunani “tergerak hati oleh belas kasihan” diungkapkan dalam satu kata saja, yakni: esplankhnisthe yang berakar dalam nomina splankhna =usus-usus, isi perut, yang oleh orang Yahudi dipahami sebagai pusat emosi manusiawi. Tentu saja kata ini tidak melulu dimengerti sebagai perasaan yang kini kita sebut emosional belaka. Melainkan jauh lebih dari itu, yakni perasaan haru yang menimbulkan semangat dan kreativitas untuk menolong atau memberdayakan mereka. Bela rasa mungkin istilah yang mendekati dengan esplankhnisthe.

Dalam Perjanjian Lama, belarasa dikaitkan dengan Allah sendiri. Allah yang turut merasakan penderitaan umat-Nya lalu kemudian bertindak, membela dan menolong. Yesus berbela rasa ketika melihat orang banyak itu. Penyebabnya, mereka bagaikan domba-domba yang tidak mempunyai gembala. Gambaran ini dalam PL dipahami sebagai situasi di mana pemimpin politik dan atau pemimpin agama hanya memanfaatkan mereka; memeras dan mengabaikan bahkan “menjual” mereka demi kepentingan politik, kekuasaan atau popularitas mereka. Gembala di sini mengacu kepada para pemimpin yang lalim.

Yesus melihat situasi ini bagaikan tuaian yang banyak, tetapi pekerja sedikit. Banyak orang yang perlu ditolong, dikuatkan, dibangkitkan pengharapannya, namun sayangnya tidak cukup banyak orang yang bersedia mengerti, memahami dan menolong mereka. Maka dalam konteks inilah Yesus memanggil dan menetapkan kedua belas murid untuk melakukan tugas itu. Sederhananya, titik tolak misi kedua belas muriditu bukanlah semata-mata menjaring pengikut sebanyak-banyaknya. Bukan! Melainkan mewujud-nyatakaniba, keprihatinan dan bela rasa Yesus. Yesus berbela rasa kepada orang banyak yang nasibnya hanya dimanfaatkan oleh para penguasa. Kini, Ia ingin menjawab dan memberi kelegaan kepada mereka. Dan kini, Ia memanggil sejumlah orang untuk mewujudkannya.

Pemanggilan kedua belas murid ini jelas berlatar belakang pada belas kasih Yesus terhadap orang banyak yang seperti domba-domba tanpa gembala. Yesus sudah meminta agar para murid berdoa supaya dikirim banyak gembala, agar Allah mengirim lebih banyak lagi pekerja untuk tuaian yang melimpah itu. Sekarang, Yesus sendiri memilih dua belas orang di antara mereka untuk menjadi penuai, gembala. Dari apa yang dilakukan Yesus, kita belajar bahwa para murid tidak hanya harus berdoa meminta, melainkan mereka harus bersedia melibatkan diri dalam proses penggembalaan itu. Demikian juga dengan orang-orang Kristen sekarang; doa memang penting dan harus! Namun, bukan hanya menunjuk atau memohon supaya Allah atau orang lain yang mengerjakannya. Bukan begitu! Melainkan, kita juga diminta untuk mewujudkan apa yang kita doakan itu. Kita harus bersiap sedia ke mana pun Tuhan mengutus kita untuk mewujudkan bela rasa-Nya. Tidak cukup diam, lipat tangan, pejamkan mata dan doa saja!

Sama seperti diri-Nya diberi kuasa oleh Bapa, maka ketika Ia mengutus kedua belas murid itu pun diberi-Nya kuasa. Kuasa seperti yang ada pada diri-Nya. Kuasa yang bukan untuk membesarkan diri, melainkan kuasa untuk melayani dan memulihkan!

Mereka tidak diutus untuk mewartakan pertobatan, tetapi menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, menahirkan orang kusta, dan mengusir setan-setan. Praktis, apa yang harus mereka lakukan adalah apa yang selama ini dikerjakan oleh Yesus sendiri, kecuali tugas mengajar. Tugas ini masih akan terus ditangani oleh Yesus sendiri sampai pada saat Ia berangkat dari dunia ini . Tugas mengajar baru akan diberikan oleh Yesus yang bangkit.

Kehadiran Yesus dengan segala keprihatinan dan keberpihakan-Nya kepada mereka yang menderita merupakan tanda bahwa Kerajaan Allah sedang ada; datang menyapa kerapuhan umat manusia, “Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu”. (Matius 12:28). Kini, Yesus meminta para murid-Nya menghadirkan Kerajaan Allah itu dengan melenyapkan penderitaan umat manusia yang dipahami buah dari kuasa setan itu. Jadi, pewartaan Kerajaan Allah dalam konteks ini jelas bukan menjanjikan surga yang jauh di seberang kematian. Melainkan, menghadirkan damai sejahtera di bumi ini.

Gereja yang kita percaya sebagai penerus tugas perutusan para rasul itu, mau tidak mau harus berada dalam koridor ini. Bukan meninabobokan orang dengan janji-janji sorga saja. Melainkan, berjuang untuk mewujudkan keprihatinan dan kerinduan Yesus, yaitu menggembalakan domba-domba terlantar. Artinya, gereja harus dapat memberi jawab dan mampu menghadirkan damai sejahtera itu kini dan di sini. 

Di sinilah Tuhan menempatkan kita dalam konteks kesulitan yang sedang kita alami bersama. Jelas, di sekeliling kita banyak sekali “domba-domba” yang tidak punya gembala. Banyak orang-orang yang tidak lagi punya pegangan, tidak punya pekerjaan, tidak punya penghidupan dan harapan di masa depan. Mereka terseok-seok berbalut kesulitan dan penderitaan. Kini, Tuhan telah memberikan kepada kita “kuasa-Nya” untuk dapat mewujudkan tanda-tanda Kerajaan-Nya. Masing-masing kita punya peluang dan tingkat kesulitan tersendiri dalam mewujud-nyatakan keprihatinan Yesus itu. Namun, percayalah bahwa kuasa yang diberikan Yesus kepada murid-murid-Nya itu lebih dari cukup untuk menopang tugas perutusan kita.

Evangeline Booth mempunyai mata seperti mata Yesus ketika memandang mereka yang dalam keadaan memprihatinkan. Selanjutnya, ia menggunakan hidupnya untuk menghadirkan bela rasa Allah kepada mereka yang tersisih. Ia mempunyai motto “Yang penting bukan berapa lama kita hidup, tetapi apa yang kita lakukan dengan hidup kita. Itulah yang terpenting!” Jadi, gunakanlah segala kesempatan yang Tuhan berikan kepada kita untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah!”

Jakarta, 11 Juni 2020  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar