Jumat, 05 Juni 2020

HIDUP DALAM PENYERTAAN BAPA, ANAK, DAN ROH KUDUS

Hari Minggu ini (7 Juni 2020) dalam tahun gerejawi disebut Minggu Trinitas. Trinitas merupakan inti dari pengakuan iman orang Kristen. Namun sayangnya, tidak cukup mudah untuk menjelaskan Trinitas itu agar mudah dicerna oleh nalar kita. Itulah pergumulan setiap orang Kristen. Ya, pergumulan sejak dari lahirnya kekristenan itu sendiri. 

Dahulu para pemikir, teolog, ulama Kristen memandang dunia ini sebagai drama. Pemeran drama itu adalah Bapa yang memperkenalkan diri sebagai “pengasal”, penggagas atau inisiator untuk tindakan penyelamatan. Tokoh berikut, Anak. Anak berperan sebagai “pelaksana” atau penerima mandat dari Sang Bapa. Dan yang berikut adalah Roh Kudus. Roh Kudus berperan untuk “melanjutkan” dan memelihara apa yang digagas Bapa dan dilaksanakan oleh Yesus Kristus.

Ketiga tokoh ini menjalankan peran yang berbeda-beda tetapi dengan maksud dan tujuan yang sama, yakni: penyelamatan dunia dan isinya. Tokoh-tokoh dalam lakon drama ini disebut prosopon (Yunani) atau persona(Latin), yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “pribadi”. Arti harafiah dari kata Yunani dan Latin itu ialah gambar wajah atau topeng yang dikenakan tokoh sehingga para penonton langsung dapat menangkap peran yang mana yang sedang dipentaskan. Cara mengungkapkan seperti inilah yang dulu dipakai untuk menjelaskan Trinitas itu sebagai karya penyelamatan Allah.

Harus kita fahami; ini adalah cara atau metode. Bukan realitasnya begitu! Maksudnya, tentu saja Allah tidak sedang main drama dan kemudian memerankan tokoh-tokoh itu dengan memakai wajah atau topeng. Bukan itu! Jalan pemikirannya begini: Karya keselamatan itu berasal dari Bapa dan dilaksanakan oleh Anak, yakni Yesus Kristus, dan kemudian dijaga kelangsungannya oleh Roh Kudus. Demikian disadari iman mengenai Trinitas. Di sana juga dijelaskan tentang inti keilahian. Kesatuan di antara tiga pribadi itu sedemikian mendalam sehingga keesaan Allah tidak berubah: Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah tiga pribadi dari Allah yang satu.

Masih samakah makna iman Trinitas bagi kita kini dan di sini? Ya, tentu saja. Namun, tidak dipungkiri ada banyak teori dan doktrin tentang Trinitas satu dengan yang lain berbeda. Sering orang Kristen terjebak mengimani Allah Trinitas dalam perangkap triteisme: seolah-olah ada tiga Allah yang masing-masing berdiri dan disembah sendiri-sendiri: Allah Bapa; Allah Anak; dan Allah Roh Kudus. Pemahaman Trinitas itu bukan demikian. Melainkan hanya ada satu Allah dengan tiga pribadi dan cara menyapa kita yang berbeda. Atau, ada juga yang memahami bahwa ketiga pribadi Allah itu terikat dalam ruang dan waktu: Allah Bapa berperan ketika penciptaan, banyak menginspirasi orang-orang saleh pada masa Perjanjian Lama, Ia yang mengutus nabi-nabi untuk mengingatkan umat-Nya. Lalu, zaman semakin tidak terkendali, umat Allah Perjanjian Lama gagal melaksanakan misi penyelamatan dan akhirnya masuk era Perjanjian Baru dengan Yesus Kristus sebagai tokoh utamanya. Tentu saja setelah itu dapat kita tebak: Roh Kudus yang akhirnya berperan utama dalam menjaga kelangsungan karya penyelamatan Allah itu.

Nah, kalau kita cermati dengan baik, sejatinya ketiga pribadi Ilahi ini telah ada sejak dari mulanya. Prolog Injil Yohanes (Yohanes 1:1-18) telah membuka keyakinan itu: Pada mulanya adalah firman, firman itu bersama-sama dengan Allah dan firman itu adalah Allah sendiri. Sang Firman itu kemudian turun menjadi manusia. Lalu, bukankah gambaran Roh Allah juga terungkap di sana-sini dalam Perjanjian Lama, mulai dari kisah penciptaan, bahwa Roh Allah melayang-layang. Dan bukankah kita juga banyak menemukan kisah-kisah bahwa Roh Allah menyertai orang-orang saleh? Jadi, sesungguhnya ketiga pribadi yang Ilahi ini sudah ada sejak kekal sampai kekal. Mereka berkelit kelindan bagaikan tarian perichoresis yang terus berputar, setiap konteks akan muncul yang dominan, bisa Bapa, Anak, atau Roh Kudus.

Dalam dunia fotografi ada tiga komposisi atau hal utama untuk menghasilkan gambar yang baik. Tiga unsur itu adalah kecepatan rana (shutter speed), bukaan diafragma lensa (aperture) dan iso (tingkat sensitifitas sensor kamera). Komposisi ketiganya ditentukan berdasarkan konteks atau keadaan pencahayaan di mana kita akan mengambil gambar. Misalnya, ketika situasi minim cahaya, maka kita perlu memperlambat kecepatan rana dan menaikkan iso. Sebaliknya, ketika cahaya berlimpah seharusnya kita menurunkan iso dan meningkatkan kecepatan rana. Untuk menghasilkan gambar tajam, blur, dan kondisi-kondisi tertentu, maka  kecepatan rana, bukaan diafragma lensa dan iso sangat menentukan hasil gambar itu. 

Saya tidak bermaksud untuk membandingkan apalagi menyamakan Trinitas itu dengan dunia fotografi. Tidak! Karena dengan apa pun digambarkan Trinitas tidak akan bisa dianalogikan. Namun, meminjam dunia fotografi itu yang hendak saya katakan adalah: Trinitas itu sebagai satu kesatuan, ada dari kekal sampai kekal. Ia hadir sesuai dengan konteks atau keadaan dunia yang disapa-Nya. Ia begitu jelas hadir sebagai Sang Bapa yang pengasih dan pemelihara. Ia bisa begitu nyata hadir sebagai Sahabat yang rela mati, berkorban untuk kita. Dan, Dia juga dapat sungguh-sungguh sebagai Penolong dan Penghibur saat kita mengalami duka dan air mata.

Trinitas tidak harus sama dipahami dan dirasakan oleh tiap-tiap pribadi manusia. Benar ada unsur pokok yang sama, yakni Bapa, Anak, dan Roh Kudus: peran dan karakternya berbeda-beda. Namun, cara Ia atau mereka menjumpai dan menyapa saya atau Anda tidak harus sama. Itu semua tergantung dari konteks dan kebutuhan masing-masing orang. Lalu, kita bertanya kalau begitu kita tidak usah pakai nalar dong, cukup dengan perasaan dan pengalaman saja? Tentu, tidak begitu juga. Tuhan Yesus mengajarkan kita untuk mencintai Allah dengan segenap jiwa, kekuatan dan akal budi. Dalam hal ini kita harus menyadari, bahwa Allah itu Mahakuasa dan tak terbatas. Sementara, kita adalah manusia yang terbatas. Albert Einstein sorang fisikawan jenius mengatakan bahwa manusia menggunakan otaknya untuk berpikir tidak lebih dari lima persen. Jadi begini, perlu disadari otak dan kemampuan kita sebagai manusia itu sangat terbatas. Yang terbatas ini juga maksimal digunakan hanya lima persen. Mampukah menampung ketidak-terbatasan Allah dalam logika otak kita? Rasanya sulit untuk mengatakan, “ya”! Oleh karena itu mestinya, otak dan logika kitalah kita benamkan dalam misteri kehadiran Allah Trinitas ini. Kitalah yang harus mengizinkan diri direngkuh oleh Allah, kitalah yang masuk dalam persekutuan dengan Allah Trinitas itu, bukan sebaliknya memasukkan Allah dalam logika kita.

Sama seperti Yesus Kristus yang terhisab masuk dalam relasi intim dengan Sang Bapa, dan Roh Kudus, Ia pun ingin para murid-Nya merasakan hal yang sama. Merasakan keindahan dan kedamaian yang tiada tara. Indahnya persekutuan inilah yang membuat Yesus meminta agar para murid-Nya juga menjadi saksi dan menjadikan semua orang, semua bangsa menjadi murid-Nya, membaptisnya dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Perintah ini sekali-kali bukan dalam tujuan yang kita kenal sekarang sebagai kristenisasi. Bukan!

Para murid diutus untuk menjadi saksi. Sebelumnya, Yesus diutus oleh Sang Bapa untuk menyatakan cinta kasih-Nya pada dunia ini. Yesus telah mengalami persekutuan dan relasi yang indah maka Ia melibatkan para murid juga untuk masuk dalam tarian Trinitas ini. Mengapa? Hanya dengan jalan itulah manusia dapat kembali menemukan citranya, menemukan kedamaian yang sesungguhnya. Hidup kekal! Nah, kini giliran para murid diutus untuk memperluas lingkaran persekutuan itu: kepada semua bangsa, semua umat manusia agar merasakan relasi dan persekutuan yang indah itu. Caranya? Tentu saja harus sesuai dengan cara Yesus mengajar dan memberi teladan kepada mereka. Inilah yang dimaksudkan, “dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.” (Matius 28:20a). 

Ketika kita masuk dalam tarian Trinitas ini, maka penyertaan Bapa, Anak, dan Roh Kudus itu merupakan sebuah keniscayaan, Yesus menyatakannya dengan, “Dan ketahuilah, Aku akan menyertai kamu senantiasa sampai pada akhir zaman.” (Matius 28:20b).

Jakarta, Minggu Trinitas 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar