Untuk sebagian besar orang berani menjalani hidup pada kondisi saat ini tentu saja tidak mudah. Kebanyakan dari kita masih didera kuatir, takut, dan bahkan kalut. Hidup ibarat sedang meniti seutas tali di ketinggian ekstrim mungkin itulah gambaran yang tepat dalam menjalani kehidupan di hari-hari belakangan ini. Hanya orang-orang yang bermental akrobatorlah yang berani menjalani kehidupan ini dengan kepala tegak! Pandemi Covid 19 telah mendera banyak orang bahkan dunia ini. Entah sampai kapan dan berakhir seperti apa, tidak seorang pun yang dapat memberi jaminan!
“Janganlah gelisah hatimu!” (Yoh. 14:1). Ucapan yang disampaikan Yesus pada murid-murid-Nya mungkin saja sering kita dengar dalam ibadah-ibadah penghiburan kematian. Mungkin saja kita menanggapinya dengan dingin. Mengapa? Bukankah Yesus sendiri dalam beberapa peristiwa sebelumnya menunjukkan kegelisahan. Kita masih ingat peristiwa kematian Lazarus. Bagaimana kondisi Yesus saat itu? Bukankah perasaan-Nya begitu kacau, campur aduk ketika Ia melihat Maria meratapi kematian Lazarus? Ia juga gundah dan gelisah ketika menyadari bakal mengalami kematian di kayu salib (Yoh.12:27), dan menyebut dengan berat hati bahwa salah satu di antara para murid itu akan berkhianat (Yoh.13:21). Lalu mengapa Ia kini mengatakan “Janganlah gelisah hatimu!”?
Ini tidak mudah kita fahami. Namun, setidaknya memberi gambaran bahwa Yesus sendiri tahu, mengerti, dan merasakan apa itu yang namanya gelisah. Yesus tahu, mengerti dan mengalami apa itu kekuatiran, ketakutan, dan kekalutan. Jadi, ketika Ia mengatakan, “Jangan gelisah hatimu!” pastilah ada sesuatu yang menolong para murid dan juga kita untuk melihat kehidupan ini bukan melulu dari sisi kekuatiran, kecemasan dan ketakutan. Dan, sesuatu yang menolong kita itu sifatnya bukan sekedar teori atau kata-kata penghiburan ketika kita berhadapan dengan sang maut. Bukan itu! Yesus mau menyatakan tentang perlindungan di dalam Bapa melalui diri-Nya.
Apa yang paling menyeramkan dalam kehidupan Anda dan saya? Tentu, masing-masing orang mungkin saja berbeda. Namun, mari kita lihat konteks pada zaman Yesus. Dalam kesadaran orang pada zaman itu, pengalaman paling menyeramkan adalah merasa “tertinggal” di luar, tak ada yang peduli dan mengurusi. Saya bisa membayangkan bagaimana WNI yang terjebak lockdown di India. Mereka sulit keluar dari negeri itu, sementara bahaya Covid 19 mengancam di depan mata, dan keberadaan mereka di sana adalah orang asing!
Dalam keadaan ini, orang merasa seperti berada di luar pintu gerbang kota pada malam hari. Pintu itu sudah tertutup, sewaktu-waktu ia bisa dimangsa oleh penyamun atau binatang buas. Dengan latar belakang inilah Injil Yohanes berbicara tentang tempat yang paling bisa memberi rasa aman. Tempat itu adalah kediaman Bapa sendiri: Rumah Bapa! Mengapa paling aman? Ya, di situlah Yang Mahatinggi berkuasa. Tidak ada yang bisa mengganggu gugat mereka yang diam di dekat-Nya, mereka yang diam dalam rumah Bapa itu.
“Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal.” Inilah cara Yesus untuk mengatakan kepada para murid-Nya bahwa siapa saja boleh dan bisa menemukan ketentraman dan perlindungan di dekat Yang Mahakuasa. Rumah Bapa menampung banyak orang, tidak pernah sempit dan dibatasi. Di rumah itu banyak tempat tinggal, tidak akan ada lagi yang bakal merasa tertinggal dan terbuang. Tidak usah berebut dan was-was bakal tidak punya tempat. Yesus datang memberitahukan hal itu karena Dia sendiri yang menyiapkan tempat itu, dan bila nanti Ia sudah selesai, Ia akan kembali dan membawa murid-murid ke tempat yang aman itu. Dan mereka tak akan berpisah lagi dengan-Nya. Murid-murid dikuatkan agar hati mereka mantap, tidak gelisah dan berani menghadapi kehidupan dengan segala tantangannya.
Sebagai Gembala Yang baik, yang pernah Ia nyatakan sendiri, tentu saja Yesus memperhatikan keadaan para murid-Nya. Ia juga berlaku sebagai “pintu”. Begitulah yang kita ingat dalam uraian firman Tuhan pada Minggu Paskah IV tahun A. Sekarang, ada kiasan lain untuk memperkenalkan siapa Yesus itu. Yesus menyatakan diri “jalan”. Jalan ialah arah yang perlu dilalui, ditempuh agar sampai pada tujuan. Yesus menyatakan tempat yang paling aman itu Rumah Bapa dan untuk sampai ke sana orang harus melalui jalan dan jalan itu adalah diri-Nya sendiri!
Sampai di sini mungkin kita merasa ada tumpang tindih dengan pernyataan Yesus sebelumnya, yakni tentang “Akulah pintu”. Sebenarnya tidak, justru di sini ada kesinambungan. Baik pintu maupun jalan, kedua-duanya harus dilalui. Pintu merupakan titik awal dan di luar itu ada jalan yang perlu ditempuh. Di luar pintu itu banyak bahaya. Namun, dalam pengawalan Sang Gembala baik yang menuntun pada jalan yang benar – dalam hal ini diri-Nya sendiri – maka setiap orang akan sampai pada tujuan. Jalan yang sejati itu bukan barang yang berhenti, statis, tinggal diam, melainkan jalan yang benar-benar bisa membawa sampai pada tujuan. Jalan itu, jalan yang hidup. Jalan itu hodos cara hidup dan bertindak dalam kehidupan (way of life). Dengan demikian, meyakini Yesus sebagai jalan berarti memperagakan, menjalani, dan mempraktikkan setiap ajaran Yesus itu sebagai cara kita hidup. Cara kita hidup seperti inilah yang akan menghantar pada tujuan yang sesungguhnya, yakni Rumah Bapa.
Ketika seseorang menjalani cara hidup yang seperti ini, maka dalam setiap langkahnya orang akan menemukan kebenaran itu. Kita akan menemukan kebenaran “aletheia” menjadi nyata dan berlaku di mana pun: sebab di dalamnya mengajarkan cinta kasih, kejujuran, ketulusan, pengampunan, kerendahan hati dan kedamaian. Jalan itu disebut kebenaran oleh karena di sana tidak ada kemunafikan, dusta, kebencian, kesombongan, iri hati dan permusuhan. Maka, ketika sesorang memutuskan melalui way of life ini, ia akan berjumpa dengan zoe; kehidupan!
Kehidupan yang dimaksud adalah kehidupan kekal. Kekal bukan berarti kehidupan di seberang kematian saja, melainkan dapat kita jumpai, kita rasakan kini dan di sini. Ketika Anda dan saya melalui jalan Kristus, kekekalannya dapat kita rasakan saat ini juga. Apa yang kita lakukan akan terus mengalirkan kehidupan, memancarkan aliran-aliran kasih yang tidak akan lekang ditelan waktu.
Di sinilah relevansi dari tema kita hari ini, “Berani menjalani hidup”. Berani berjalan dalam terang Kritus. Melangkah dengan kepastian untuk setiap hari mempraktikkan cara hidup yang Yesus ajarkan dan teladankan. Ketika kita berani menjalani hidup seperti ini maka seharusnya tidak ada lagi hal yang perlu menguatirkan kita. Selamat berjalan melalui jalan, kebenaran dan hidup!
Jakarta, Minggu Paskah V tahun A 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar