Senin, 11 Mei 2020

BERGEREJA DALAM KASIH DAN RELASI

Kamus Bahasa Indonesia mengartikan relasi sebagai “hubungan”, “perhubungan”, “pertalian”. Dalam relasi terkandung juga makna ikatan yang saling memahami, mengerti, menguatkan, memberdayakan dan menguntungkan. Sejatinya, seperti itulah relasi yang terjadi di antara umat Tuhan bahkan, sesama manusia. Namun sayangnya, yang terjadi bukanlah relasi, melainkan transaksi. 

Benar, transaksi kita kenal dalam dunia bisnis, perdagangan. Saya memberikan apa, lalu saya mendapatkan apa. Transaksi ternyata merembes hampir pada semua aspek kehidupan manusia. Dalam keluarga, hubungan suami-istri misalnya: Selama suami saya mencintai, setia, perhatian, memberikan uang belanja, saya akan mengasihinya, mencintai dan melayaninya. Namun, kalau dia mulai cuek, tidak perhatian bahkan coba-coba serong, saya pun bisa melakukannya! Demikian juga dengan orang tua – anak. Anak akan menuruti perintah orang tuannya, manakala orang tua memberikan kebutuhan, memenuhi keinginan sang anak. sebaliknya juga demikian! Inilah transaksi, bukan relasi.

Bagaimana dengan kehidupan gereja yang sering mengatas-namakan pelayanan? Kalau mau jujur, tidak lepas dari transaksi. Saya rela melakukan ini dan itu: bernyanyi, melawat, menyambut jemaat, melakukan aksi-aksi diakonia, asal saja tidak ada yang mencela. Dihargai! Buat apa melayani, berlelah-lelah – memang gak ada kerjaan – kalau ujungnya banyak kritik, usulan tidak digubris bahkan sering dicela! Bagaimana pula hubungan kita dengan Tuhan? Lagi-lagi kalau mau jujur, kebanyakan diwarnai transaksi. Kita memberi persembahan, banyak berdoa, melayani, melakukan ini dan itu yang katanya kesaksian dan pelayanan; agar Tuhan memperhatikan doa-doa saya, Tuhan menjawab dan mengabulkan keinginan saya. Kalau, tidak? Ya, buat apa melayani, buat apa berdoa, buat apa beribadah kepada-Nya? Inilah transaksi.

Dalam Minggu Paskah VI, bacaan Injil tahun A terambil dari Yohanes 14:15-21. Bacaan ini berarti kelanjutan bacaan Injil Minggu yang lalu. Minggu lalu kita diingatkan bahwa Yesus menguatkan, membesarkan hati para murid. Mereka diajak tetap teguh di jalan yang benar yang memberi hidup kekal. Keteguhan inilah yang menumbuhkan iman. Iman yang bagaimana? Ya, iman yang berpusat pada relasi yang baik dengan Allah. Bukan iman transaksional!

Jika kita perhatikan bacaan Injil Minggu Paskah VI ini ada hal yang menarik. Awal dan akhir berita Injil ini berbicara mengenai “menuruti perintah-perintah-Ku.” Dalam ayat 15 dikatakan, “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku.” Tentu saja kita akan bertanya, perintah-perintah mana yang dimaksudkan Yesus itu? Sebelum melangkah lebih lanjut, baiklah kita teliti dulu pernyataan dalam ayat itu. Sepintas, kalimat ini bernada transaksional. Kita mengartikannya, “Kalau kalian betul-betul mengasihiku, mestinya kalian menaati segala perintah-Ku.” Seolah-olah kecintaan terhadap Guru, terhadap Yesus itu perlu dibuktikan dengan melakukan hal-hal yang diperintahkan. Bukankah kalau seperti ini, Yesus juga mengisyaratkan transaksi.

Kalimat pernyataan Yesus ini sebenarnya kebalikan dari yang kita fahami. Ringkasnya, Yesus mau mengatakan bahwa kalau seseorang mengasihi-Nya itu bakal membuat orang dapat mengenal perintah-perintah-Nya dan kemudian menurutinya. Jadi, mengasihi Sang Guru itu menjadi jaminan bahwa seseorang itu dengan suka cita akan melakukan kehendak-Nya. Ini sama seperti kalau kita menyukai sebuah pekerjaan atau hobi. Kalau kita menyukai berkebun, menanam pohon atau sayur, di situlah hati kita mulai tergerak untuk merawat, menjaga, memperhatikan, dan memberikan kebutuhan nutrisi dengan baik. Pekerjaan itu tentu saja tidak dilakukan dengan terpaksa. Lambat-laun ada relasi, Anda dengan tanaman itu. Anda benar-benar jatuh cinta!

Jadi, mengasihi Sang Guru menjadi jaminan agar dapat memperhatikan dan melakukan kehendak-Nya dengan sukacita. Begitulah nantinya pada ayat 21 terungkap bahwa siapa saja yang memegang dan menuruti perintah-perintah-Nya, dia itulah yang nyata-nyata mengasihi-Nya, “Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi AKu. Dan barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Aku pun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku kepadanya.”

Dalam ayat-ayat di atas, “mengasihi” Yesus dipakai dalam arti mengakui kebesaran-Nya dan meluangkan tempat bagi Dia; layaknya seperti kita mencintai seseorang atau pekerjaan. Pasti ada perhatian dan ruang hati yang disediakan untuknya. Ini dari sisi murid. Dari sisi Sang Guru, tentu saja Ia sudah begitu rupa memberikan yang terbaik bahkan nyawa-Nya sendiri untuk mengasihi para murid-Nya. Inilah relasi. Hubungan kasih yang saling memberi! Di sinilah juga yang menggerakkan setiap hati para murid untuk setia melakukan perintah-perintah-Nya.

Yang dimaksud dengan perintah-perintah di dalam perkataan Yesus ini, ialah kekuatan-kekuatan yang menggerakkan dari dalam dan muncul dari hubungan batin dengan Sang Guru sendiri: lagi-lagi inilah relasi. Relasi inilah yang membuat tindakkan para murid dijiwai oleh kehadiran Sang Guru dalam melakukan pelbagai tindakkan. Hidup mereka seakan-akan menyuratkan perintah dari atas yang dapat dibaca oleh orang banyak. Di sinilah mereka menghadirkan kesaksian yang otentik. Ya, otentik oleh karena bersumber dari relasi yang tulus dengan Sang Guru.

Selanjutnya, dalam melakoni kesaksian kehidupan Yesus menyadari tidak selamanya mudah bagi para murid. Akan ada banyak tantangan dan hambatan, untuk itulah Ia menjanjikan Roh Kudus yang akan menolong mereka. Dalam ayat 16, disebutkan bahwa Yesus akan meminta kepada Bapa agar memberi Penolong yang lain agar menyertai para murid sampai selama-lamanya. Dalam bahasa Yunani, Penolong yang dimaksud disebut paraklētos, yakni Dia yang selalu siap dipanggil datang untuk membantu, memberi uluran tangan di saat-saat gelap, menuntun di jalan yang licin agar tidak tergelincir. Dialah yang akan dikirim dari atas sana untuk menyertai para murid. Ia akan menunjukkan jalan ke pegangan yang sesungguhnya, yang bisa dipercaya, yang bukan tipuan dan mencelakakan. Maka itu, Ia disebut Roh Kebenaran. Jadi para murid boleh merasa aman? Ya, tentu saja!

Bagaimana Roh Kebenaran itu kehadiran-Nya dapat dirasakan? Bagaimana Roh Penolong itu bertindak? Tentu saja dalam diri para murid sendiri, dalam batin mereka, dalam wujud kepekaan hati Nurani mereka: dalam batin Anda dan saya! Dalam bahasa Injil Yohanes, dalam konteks ini, gerakan-gerakan batin yang datang dari kepekaan terhadap Roh itulah yang disebut “perintah-perintah”, karena dengan itu kita digerakkan untuk melakukan tindakan. Tindakan-tindakan inilah yang harus disaksikan pada dunia yang sering kali bertentangan bahkan bermusuhan dengan suara Roh Kebenaran itu. Namun demikian, setiap orang yang punya relasi baik dengan Sang Guru akan terus dimampukan melakukannya! Ingat Roh Kudus siap menolong!

Demikianlah mestinya yang terjadi dalam kehidupan orang percaya. Bukan membangun transaksi, melainkan menjalin relasi yang semakin lama semakin intim dengan Tuhan. Kehidupan yang demikian tentu saja akan sangat mempengaruhi kehidupan bergereja kita. Jadi, ketika komunitas umat Tuhan mengembangkan relasi kasih dengan Tuhan maka yang terjadi adalah, kita dapat menghadirkan kesaksian yang benar di tengah-tengah dunia yang sering kali tidak bersahabat dengan kita. 

Sudah saatnya kita meninggalkan kehidupan iman yang diwarnai dengan transaksi. Kembangkanlah relasi kasih yang baik, maka gereja akan terlihat sebagai Kitab Suci yang terbuka, yang dapat dibaca oleh setiap orang!

Jakarta, Minggu Paskah VI tahun A 2020.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar