Alkitab sering memakai metafor untuk menggambarkan keberadaan TUHAN dan karya-Nya. Metafor yang paling banyak disukai adalah TUHAN sebagai Gembala. Mazmur 23 seolah mewakili ungkapan TUHAN sebagai Gembala yang baik. Tentu saja gubahan madah ini begitu indah dan agung oleh karena tidak lepas dari si penggubahnya, Daud sebagai seorang gembala. Ia paham betul tugasnya sebagai gembala. Daud merefleksikan sosok ideal dari gembala itu tidak lain adalah TUHAN sendiri!
Kalau Daud dengan agungnya melukiskan TUHAN sebagai gembala lantaran ia menghayati sendiri tugasnya sebagai seorang gembala. Lebih dari itu, Yesus menyatakan diri-Nya sebagai Gembala yang baik (Yohanes 10:11). Tentu saja apa yang dinyatakan-Nya bukan sebagai propaganda. Namun, Ia menghidupi-Nya! Yesus menyatakan diri sebagai Gembala yang baik tidak lepas dari kualitas hidup yang diperlihatkan-Nya. Ia hadir untuk mencintai, mengasihi, menjaga, memberi makan, memulihkan, memelihara, dan melindungi domba-domba-Nya.
Dalam bacaan Injil Minggu Paskah IV tahun A (Yohanes 10:1-10) diperlihatkan dua kualifikasi khusus dari Sang Gembala yang baik. Yang pertama, Yesus mengumpamakan diri-Nya sebagai pintu bagi kawanan domba. Kedua, Ia mengibaratkan sebagai gembala bagi kawanan domba.
Dalam teks Yunani kata “thura” menggambarkan pintu sebagai jalan masuk dan keluar kebun, rumah, atau kandang. Mereka yang masuk tidak melewati pintu itu pastilah bukan sang pemilik, melainkan orang yang bermaksud tidak baik, mencuri atau merampok dan pastinya bukan orang yang dapat dipercaya. Dalam bagian awal Injil Yohanes 10 dikatakan bahwa yang memasuki tempat kawanan domba tidak melalui pintu adalah pencuri dan perampok. Mereka yang masuk bukan melalui pintu akan membuat kawanan domba terancam dan ketakutan.
Sebaliknya, gembala akan datang melalui pintu yang benar dan kawanan domba akan mengikutinya. Mengapa? Sebab, kawanan domba itu mengenal suara gembala mereka. Dalam ayat 7, Yesus mengatakan diri-Nya adalah “pintu”. Pintu dipakai untuk menutup jalan atau membiarkan orang melewatinya. Pintu dipakai untuk menjaga, melindungi atau membiarkan domba-domba melewatinya untuk menjumpai rumput yang hijau dan air yang tenang.
Jadi, ketika Yesus menyatakan diri-Nya sebagai “pintu”, itu berarti diri-Nya sebagai akses baik terhadap para gembala, dalam hal ini orang-orang yang kepada mereka dipercayakan untuk meneruskan tugas penggembalaan maupun terhadap domba-domba untuk menemukan rumput yang hijau dan air yang tenang. Dalam hal ini Yesuslah yang menjadi tolok ukur bagi setiap orang yang terpanggil untuk menjadi gembala bagi umat-Nya. Dengan demikian, karakter, kepemimpinan, pelayanan dan kepedulian Yesus harus menjadi “pintu” atau acuan bagi mereka yang terpanggil menjadi gembala. Jika tidak demikian, maka ia tidak memenuhi kriteria atau tidak dapat masuk melalui Sang Pintu itu.
Namun, orang-orang yang mengaku sebagai gembala ini sangat cerdik untuk memperdaya kawanan domba Tuhan itu. Dengan tutur kata yang memukau, kepandaian memainkan emosi, dan memanfaatkan keadaan-keadaan tertentu mereka “melompat pagar”. Pada pihak lain, sering kali domba-domba ini mudah terpukau, larut dalam bujuk rayu gembala bayaran dan akhirnya tergoda juga untuk melompat pagar! Melalui pernyataan “Akulah pintu”, jelas Yesus ingin menegaskan kepada para domba-Nya, bahwa hanya melalui Dialah domba-domba itu mendapatkan pemeliharaan yang sesungguhnya.
Setelah Yesus menyatakan diri-Nya sebagai “pintu”, Ia juga menyatakan diri sebagai Gembala. Bahkan dalam Yohanes 10:11 ditegaskan bahwa Ia adalah Gembala yang baik. Teks Yunani menggunakan kata “kalos” untuk “baik”. Kalos memiliki arti yang bukan sekedar baik, melainkan “mulia”, “indah”, “sempurna”, “mengagumkan”. Gembala baik yang mulia, indah, sempurna, dan mengagumkan itu mengenal satu per satu kawanan domba-Nya. Sehingga Sang Gembala dapat memanggil dan menyebut nama setiap domba-domba-Nya. Kawanan itu tidak diperlakukan anonim, mereka tidak dianggap sebagai barang, tetapi sebagai pribadi. Hubungan antara pemilik dan kawanan itu adalah hubungan pribadi. Bahkan dapat dikatakan bahwa tidak akan ada hubungan antara pemilik atau gembala dengan kawanan tadi bila tidak terjalin hubungan saling mengenal yang memberikan rasa aman dan rasa percaya.
Ketika disapa Yesus, “Bu, mengapa menangis? Siapa yang kau cari?”, Maria Magdalena malah mengira sedang berhadapan dengan penjaga taman kuburan. Namun, ketika Yesus memanggil dengan namanya, “Maria!” (Yohanes 20:16), maka Maria Magdalena langsung mengenali-Nya. Begitulah sapaan pribadi membuatnya melihat siapa yang mendatanginya.
Yesus Sang Gembala mulia, indah, sempurna, dan mengagumkan. Ia tahu siapa kita. Ia mengenal kita begitu baik. Ia dapat memanggil dan menyapa dalam batin kita. Sangat mungkin kali ini kita seperti Maria Magdalena yang sedang terlena dalam kesedihan, kehilangan dan duka mendalam. Tidak mustahil saat ini juga Sang Gembala itu sedang menyapa kita. Ia menyentuh hati kita. Seperti anak domba yang kehilangan induknya, Ia mendekapkan kita pada dada-Nya dan memberikan ketenangan. Ia yang juga sebagai “pintu”, membukakannya untuk kita dapat berbaring di rumput hijau dan air yang tenang.
Namun, ada kalanya kita tidak mendengar suara Sang Gembala itu. Kita larut dalam kelu kesah dan pergumulan kita! Dan dalam kesunyian kita menggugat, “Di manakah Engkau Sang Gembala baik itu, ketika justru saat-saat seperti ini aku membutuhkan-Mu?”
Sangat mungkin, kita berada dalam kondisi seperti itu. Namun, tunggu dulu. Jangan terburu-buru kita menggugat Sang Gembala. Selama ini kita meyakini, percaya dan mengimani bahwa Tuhan Yesus adalah Gembala yang baik. Kita sering menyanyikan banyak versi tentang Gembala baik. Kita hafal Mazmur 23. Kita menyaksikan dan membanggakan bahwa kita punya Tuhan sebagai Gembala yang baik. Namun, pernahkah kita mencoba merenung dan bertanya pada diri sendiri: Kalau Yesus adalah Gembala yang baik, sudahkah saya menjadi domba-domba yang baik? Sudahkah saya selalu melewati “pintu kandang” itu dengan benar? Atau malah kita senang melompat pagar, mencari kesenangan sendiri dan mengabaikan suara Sang Gembala itu?
Kalau kita mau jujur, betapa seringnya Sang Gembala itu berbisik dalam hati kita. Ia menyatakan kebenaran ketika kita hendak melompat pagar, melenceng dengan memanjakan keinginan kita. Bukankah kita lebih sering membungkam suara Sang Gembala itu, mana kala kita melihat ada keuntungan yang lebih besar? Bukankah kita juga sering mengikuti gembala-gembala palsu yang menjanjikan kemudahan dan kesuksesan sesaat?
Ketika hubungan kita terjalin dengan baik: kita mau tinggal dalam kandang Sang Gembala, keluar masuk melalui-Nya dan bersedia mengikuti-Nya, maka apa pun yang terjadi pastilah kita aman. Tidak ada apa dan siapa pun yang dapat merenggut kita dari kasih setia Sang Gembala. Ingatlah, sebelum kita menyadari dosa, sebelum kita meminta diselamatkan, Sang Gembala itu telah terlebih dahulu memberikan nyawa-Nya untuk domba-domba-Nya.
Jakarta, Minggu Paskah IV tahun A, 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar