Ada dua orang dari murid-murid Yesus yang memutuskan untuk pergi ke Emaus setelah peristiwa kematian bahkan kebangkitan Yesus. Hanya Injil Lukas yang menceritakan kisah ini (Lukas 24:13-35). Tentu saja mereka pergi ke Emaus ada alasannya. Alasan itu tersirat dalam Lukas 24:21, “Padahal kami dahulu mengharapkan, bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel…” Dengan kalimat sederhana bisa dikatakan bahwa Kleopas dan temannya itu pergi ke Emaus lantaran kecewa. Ya, kecewa harapan mereka tidak terpenuhi. Sampai Yesus mati, jangankan tumbang, bergeser sedikit pun kekuasaan Romawi itu tidak. Israel belum terbebas, masih menjadi bangsa jajahan!
Mengapa mereka pergi ke Emaus dan bukan Galilea, Nazaret atau Samaria?
Emaus disebutkan oleh Lukas sebagai sebuah kampung yang berjarak sekitar tujuh mil, kira-kira 11 kilometer dari Yerusalem. Orang sering menyamakan Emaus ini dengan yang tercatat dalam 1 Makabe 3:40-57, 4:3, 9:50. Apa yang dikisahkan di sana? Pada sekitar 166 SM terjadilah pemberontakan terhadap penguasa Roma yang dipimpin oleh Yudas Makabeus. Meski tidak lama, Yudas Makabeus berhasil menang. Peristiwa inilah yang memicu semangat nasionalis patriotik dalam diri orang-orang Israel. Peristiwa ini pula yang makin menyuburkan perkembangan harapan akan seorang Mesias yang nantinya akan mengembalikan takhta kerajaan Daud. Harapan ini bahkan makin menjadi-jadi ketika gerakan Makabe dan penerusnya mulai mundur dan tertumpas.
Banyak orang bahkan termasuk murid-murid Yesus pun berharap dan mengira bahwa Yesus melakukan pergerakan seperti Yudas Makabeus. Ia yang datang itu akan bangkit untuk melawan dan menaklukkan penjajah asing itu. Memang pada akhirnya, Yesus resminya dihukum mati sebagai pemimpin gerakan politik, sebagaimana telah dinyatakan-Nya dulu, “…Ia akan terhitung di antara pemberontak-pemberontak. Sebab apa yang tertulis tentang Aku sedang digenapi.” (Lukas 22:37).
Namun, Emaus yang dibicarakan dalam Kitab Makabe itu letaknya 30 kilometer sebelah barat laut Yerusalem. Terlalu jauh bagi perjalanan pulang balik dalam satu sore dan malam. Lukas juga menyebut bahwa jarak Emaus itu tujuh mil saja dari Yerusalem. Jadi, jelas Emaus yang dimaksud Lukas bukanlah tempat kemenangan Yudas Makabeus. Beberapa tempat lain pernah di duga sebagai lokasi Emaus yang dimaksudkan Lukas. Namun, tampaknya bukan tempat goegrafis yang hendak disampaikan Lukas. Lukas memakai Emaus untuk menghubungkan semangat dan kerinduan orang-orang Israel akan kebebasan bangsa mereka dari penindasan. Lukas memakai Emaus untuk menekankan kerinduan datangnya sang mesias itu layaknya seperti Yudas yang nyata-nyata mengadakan gerakan perlawanan terhadap musuh mereka.
Emaus adalah perjalanan batin dua murid yang kecewa oleh karena harapan mereka menjadikan Yesus sebagai mesias penakluk itu tidak terwujud. Mereka kembali kepada semangat mula-mula. Mereka kembali kepada kerinduan yang pernah terjadi di Emaus itu; di mana kemenangan secara politis sempat mereka raih. Bukankah banyak di antara kita menaruh pengharapan atau tepatnya keinginan dan ambisi ketika mengikut Yesus. Keinginan itu bisa saja berupa hidup sukses, kesembuhan dari penyakit, terbebas dari permasalahan hidup dan yang semacamnya. Apa jadinya ketika keinginan itu tidak terpenuhi? Sederhana: kembali ke dalam kehidupan lama dan mencari sosok yang bisa memuluskan keinginannya!
Dalam kisah Emaus ternyata Yesus tidak membiarkan dua murid itu. Dia yang bangkit itu menjumpai murid-murid-Nya dan meluruskan gagasan mereka mengenai diri-Nya. Angan-angan keliru yang akan menjebak mereka pada kehidupan yang suram.
Lukas hanya menyebutkan satu nama dari dua murid itu, yakni Kleopas (Lukas 24:18). Inilah cara Lukas untuk membuat pembacanya ikut serta dalam kisah ini. Pembaca seakan-akan diajak menjadi murid yang tak disebutkan namanya itu. Dengan demikian, pembaca bisa merasa ikut disapa oleh musafir yang tiba-tiba menyertai perjalanan mereka ke Emaus.
Sekarang marilah kita tempatkan diri kita sebagai teman dari Kleopas, lalu tiba-tiba seseorang mendekati kita dan bertanya, “Apakah yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?” Ditanya demikian, kita yang punya segudang angan-angan itu terhenyak. Mengapa? Karena hingga saat ini kita berjalan menuju, “cita-cita yang berakhir dengan kekecewaan.” Kita kecewa mengapa sakit dan penderitaan ini tetap saja ada dan membelenggu. Kita kecewa mengapa orang-orang dekat kita pergi, padahal mereka adalah orang-orang yang baik. Kita kecewa, mengapa Yesus tidak segera menolong dan mengangkat penderitaan ini! Itulah kira-kira segudang kekecewaan kita. Inilah yang membuat kita ingin kembali kepada kehidupan lama dan mencari sosok lain yang bisa menyelesaikan masalah!
Kembali ke Kleopas dan temannya. Kleopas balik bertanya kepada Yesus yang belum mereka kenali, “Adakah engkau satu-satunya orang asing di Yerusalem, yang tidak tahu apa yang terjadi di situ pada hari-hari belakangan ini?” Dan musafir itu malah bertanya lebih lanjut mengenai apa yang terjadi. Maka mereka pun mulai bercerita tentang Yesus orang Nazaret yang berujung pada kematian lalu kekecewaan mereka terhadap Yesus.
Musafir itu menanggapi kedua murid itu dengan berkata, “Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi!” Dalam bahasa kita, kalimat ini terasa sebagai celaan. Tetapi, dalam cara berdiskusi para cendikia zaman itu, kata-kata seperti itu dimaksud sebagai ajakan untuk bersama-sama memikirkan kembali duduk persoalan yang sebenarnya.
Dengan menunjukkan pada nubuat para nabi mengenai penderitaan Mesias sebagai jalan kepada kemuliaan-Nya, Ia ingin mengingatkan kembali pada pemberitaan kesengsaraan yang pernah dikatakan-Nya bahkan sampai tiga kali (Lukas 9:22; 9:43b-45; 18:31-34), yakni bahwa Ia bakal dimusuhi, menderita, dan dibunuh, tetapi akan bangkit pada hari ketiga. Memang tiap kali ketika itu dinyatakan para murid tidak memahaminya. Mengapa? Bisa jadi hal itu tidak mungkin dalam benak mereka. Mereka lihat sendiri bagaimana Yesus penuh kuasa dan mukjizat.
Perjalanan dari Yerusalem ke Emaus ditampilkan sebagai penjernihan gagasan para murid – bahkan gagasan kita masing-masing tentang Yesus. Caranya sederhana, para murid itu diminta untuk mengingat-ingat kembali semua hal yang pernah didengar tentang Yesus. Tetapi kali ini mereka diajak membaca kembali pengalaman itu dengan pikiran yang merdeka yang tidak dikuasai oleh agenda tersembunyi. Merdeka oleh karena mereka tidak menyadari bahwa yang sedang berjalan itu adalah Yesus, jadi mereka leluasa berbicara tentang harapan yang sesungguhnya.
Namun kini, Yesus mengajak mereka kepada sumber-sumber kepercayaan yang sejati, “..mulai kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi.” (Lukas 24:27). Seperti mereka, kita juga diajak, dibimbing-Nya agar bersedia berdialog dengan sabda Tuhan sendiri dan membiarkan diri diperkaya oleh-Nya. Janganlah puas dengan apa yang dikatakan orang bahkan pengkhotbah top sekalipun, berilah diri kita disentuh oleh sumber-sumber hakiki dari kebenaran itu. Luangkan waktu berdialog dengan-Nya melalui saat hening.
Apa yang terjadi setelah itu? Dalam ayat 32, mereka berkata satu dengan yang lain “hati kita berkobar-kobar”.Yang berkobar-kobar itu biasanya nyala api. Api yang menerangi dan memiliki daya memurnikan logam campuran. Jadi, pikiran (“hati”) mereka yang tadinya gelap, niat mereka yang tidak murni dalam menanggapi panggilan Yesus kini terang menyala-nyala dan mulai dimurnikan. Murid-murid itu terbuka matanya dan mengerti siapa Yesus. Mereka tahu sekarang bahwa Ia menyertai mereka. Lalu, mereka segera berangkat kembali ke Yerusalem. Yerusalem yang tadinya dihindari, sebagai tempat yang mematahkan seluruh asa mereka. Kini, mereka kembali ke Yerusalem. Mereka ingin membagikan pengalaman mereka kepada murid-murid yang lain yang belum memahami makna kemesiasan dan kebangkitan Yesus.
Yesus Sang Firman yang hidup memakai kebenaran firman mulai dari Musa sampai kepada para nabi membarui kedua murid yang kecewa itu. Kini, mereka yang telah dibarui menjadi saksi untuk membarui teman-temannya. Hal ini juga mestinya terjadi dalam kehidupan kita: bersedia dibarui oleh Firman Kehidupan dan kemudian menjadi berkat bagi yang lain.
Jakarta, Paskah Minggu III tahun A 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar