Minggu Palem, sekaligus Minggu Sengsara.
Minggu Palem tahun A, didasarkan pada narasi penyambutan Yesus secara meriah ketika Ia memasuki Yerusalem (Matius 21:1-11). Injil Matius mengisahkan kedatangan Yesus sebagai Raja yang memasuki kota tempat kemuliaan-Nya. Disebut Minggu Palem mengacu pada sambutan kalayak ramai yang tidak hanya melepas baju mereka untuk digelar di jalanan yang akan dilalui Yesus yang menunggangi keledai, tetapi juga mereka mengibarkan daun-daun palem.
Sedangkan peristiwa-peristiwa dalam Kisah Sengsara menurut Injil Matius terjadi pada hari Rabu (Matius 26:14-16) ini menceritakan penghianatan Yudas. Hari Kamis (Matius 26:17-75) kisah mengenai Perjamuan Malam, penangkapan dan persidangan di Sanhedrin, serta penyangkalan oleh Petrus. Hari Jumat, kisah tentang penyaliban dan kematian Yesus, serta penguburan-Nya. Dan terakhir hari Sabtu (Matius 27:62-66) tentang penjagaan kubur Yesus.
Jadi, dalam Minggu Prapaskah yang terakhir ini kita memperingati dua hal yang sangat kontras. Di awal tampaknya ada kegembiraan, sukacita meriah umat menyambut kedatangan Yesus. Mereka rela melepas apa yang melekat pada diri mereka, mengelu-elukan Yesus. Namun ini tidak lama. Sesaat kemudian berubah menjadi gejolak yang memilukan. Bukankah sering kali ini terjadi pada diri kita? Mana kala apa yang kita harapkan terwujud; keinginan kita terpenuhi maka tidaklah sukar untuk berseru dan memuji Allah. Namun kerap kita pun sering berubah. Ketika kehidupan yang tidak menyenangkan menghampiri kita, harapan-harapan tidak terpenuhi, ancaman kian hari kian nyata dan mengerikan; di sini kita mudah berubah. Ya, yang tadinya antusias menyambut Tuhan, kini mempertanyakan, menyangkal bahkan menghianati-Nya!
Menurut Matius 21: 5, kedatangan Yesus di Yerusalem adalah sebuah peristiwa yang tidak datang serta-merta begitu saja. Nabi Zakharia sudah menubuatkannya, Zakharia 9:9, “Katakanlah kepada putri Sion (= Yerusalem beserta penghuninya): Lihat, Rajamu datang kepadamu. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai betina dan seekor keledai beban yang muda.”
Dalam pemahaman Injil Matius, dan orang-orang yang menantikan pengharapan pada zaman itu, sosok Mesias yang mendatangi mereka ialah Dia yang memiliki wibawa seorang raja (dalam teks Ibrani Zakharia, ada penjelasan “ia adil dan jaya”) dan sekaligus tokoh “lemah lembut”, maksudnya: seorang raja yang memahami kerapuhan manusia. Memang seolah-olah ada dua tokoh: satu sisi kebesaran dan keagungan, di sisi lain kelemah-lembutan. Kedua-duanya mendatangi Yerusalem secara bersamaan. Matius mengajak kita untuk melihat dengan mata batin kedua sisi Yesus ini: Sebagai Raja yang penuh wibawa tetapi juga sebagai utusan Allah yang lemah lembut. Dengan demikian kita akan bisa memahami dan melihat Yesus dalam kisah penghinaan, penderitaan, dan penyaliban-Nya sebagai tokoh yang anggun dan berwibawa.
Yesus memasuki Yerusalem dengan menunggang keledai yang telah dipersiapkan-Nya lebih dulu melalui para murid-Nya. Konon, orang lebih sukar mengendarai keledai ketimbang tunggangan yang lain, karena keledai biasanya bukan hewan penurut, lagi pula tidak bisa berjalan cepat seperti kuda. Oleh karena itu, keledai sering dijadikan orang sebagai hewan pengangkut barang, pemiliknya berjalan di depan untuk mengarahkan keledai itu. Jadi tidak dinaiki. Hanya orang yang pintar yang bisa mengendarai keledai tanpa ada yang menuntunnya di depan. Apalagi keledai yang sama sekali belum pernah ditunggangi. Ingat kisah mengenai Bileam? Ia seorang ahli ilmu gaib yang diminta Raja Balak menenung umat Tuhan. Ia kocar-kacir! Namun belakangan barulah Bileam Bin Beor yang menunggangi keledai betina itu memahami apa dan siapa yang sedang dihadapinya. Akhirnya ia tidak jadi menuruti permintaan Raja Balak itu (Bilangan 22:21-35).
Kini, Yesus memasuki Yerusalem di atas keledai, sebagai orang yang tahu mengarahkan tunggangan yang sukar ini. Maka jelas yang hendak dikatakan oleh penulis Injil Matius bahwa Yesus adalah seorang yang arif. Ia dapat menyatukan kejayaan, kebesaran dengan kelemah-lembutan. Dua karakter yang sangat sulit dipadukan oleh siapa pun.
Memiliki persepsi Yesus, itu berarti menempatkan diri pada gambaran Yesus dengan segala karakter-Nya. Sulit memang bagi kita ketika berada pada puncak kejayaan, keberhasilan, kesuksesan dan penuh kuasa untuk bertindak lemah lembut. Lazimnya orang yang sedang berada pada posisi “atas” akan melakukan apa pun untuk memenuhi ambisinya. Tidak segan-segan ia akan mengorbankan yang lemah untuk mempertahankan dan membesarkan keagungan-Nya. Sebaliknya, ada kalanya orang yang lemah lembut dipandang tidak berdaya dan dalam posisi yang rapuh. Di sinilah, hari-hari belakangan ini kita diingatkan bahwa sesungguhnya tidak ada kekuasaan yang mutlak, kecuali kuasa Allah sendiri. Terbukti dengan virus yang tidak kasat mata telah menguji tidak ada manusia yang digdaya!
Orang-orang menghamparkan pakaian di jalan ketika Yesus lewat. Apa maksudnya dari tindakan ini? Pertama-tama, Dia yang lewat itu pasti tidak akan menjejakkan kaki-Nya di tanah yang kerap dipakai untuk menggambarkan kerapuhan serta kelemahan manusiawi. Yang mendatangi Yerusalem ini adalah Raja yang mengatasi kelemahan dengan kebijaksanaan yang lembut tapi berwibawa. Sekaligus kegiatan menghamparkan pakaian itu juga menggambarkan kesediaan orang-orang untuk tunduk kepada Dia yang sedang datang itu. Pakaian membuat orang yang memakainya menjadi jelas. Pakaian adalah identitas! Bila dihamparkan berarti yang memakainya sedia menghamparkan diri di muka Dia yang sedang lewat. Memang, barangkali mereka melakukan hak itu sebelum kekuatan yang mengancam Yesus belum bertindak.
Bukankah kita suka bertindak layaknya seperti banyak yang menggelar baju mereka itu? Kita rela melakukan ini dan itu pada saat tenang, dan tidak ada ancaman. Namun, bagaimana ketika ancaman itu begitu nyata ada di hadapan kita?
Ketika para ulama dan penguasa berkolaborasi, sepakat menjerat dan membunuh Yesus; ancaman itu begitu nyata, mereka yang berteriak “hosana, hosana, Anak Daud”, membuka baju dan menggelarnya di jalanan untuk dilewati Yesus, ternyata kini berbalik dan meneriakkan “salibkan Dia, salibkan Dia!” Bayangkan, begitu besar dan mengerikannya kekuatan yang melawan kebijaksanaan itu hingga dapat menembus sampai lingkungan yang paling dekat – ring satu – Yesus sendiri: Yudas!
Begitu besarnya kekuatan yang mengerikan tidak hanya terjadi pada zaman Yesus. Sepanjang zaman ada! Sekarang pun begitu nyata. Ancaman kesulitan dan penderitaan ini benar-benar ada di depan mata kita. Ia bisa merampas kebahagiaan, merampas mimpi-mimpi kita hingga merenggut orang-orang yang kita kasihi. Kekuatan dasyat ini sedang merasuki tidak hanya fisik, tetapi juga mental spiritual kita; ia mampu menggerogoti iman kita!
Kita yang dulu telah menanggalkan baju, menggelarnya bagi Yesus: kita yang telah menerima baptisan dan berjanji untuk taat dan setia, kini dan saat inilah kita diuji! Apakah kita akan meneriakkan juga seperti orang banyak, “salibkan Dia!”? Ataukah kita tetap melangkah dalam iman yang kadang lemah dan rapuh ini, terus menelusuri jalan sengsara Tuhan?
Jika pilihan terakhir yang kita ambil, maka tidak bisa tidak, kita harus memiliki persepsi Yesus. Dia yang walaupun penuh kuasa, wibawa dan keagungan tidak menggunakannya dengan semena-mena. Meski disanjung banyak orang ketika memasuki Yerusalem, tidak menggunakannya untuk kepuasan diri. Namun, mau merendah, mengikut dan taat pada misi Bapa-Nya meski jalan sengsara yang Ia harus lewati. Dalam kesengsaraan-Nya, Ia menyerahkan segala sesuatunya kepada kehendak Bapa. Sekaranglah saatnya kita menanggalkan segala keangkuhan dan kebanggaan diri, tanggalkan ibarat kita menanggalkan baju kita untuk dilewati Yesus. Lalu, berjalanlah di belakang Sang Raja itu dengan ketabahan dan ketaatan mutlak. Sengsara akan kita lalui namun bukan dengan kehampaan, melainkan penuh dengan sukacita sebab kita tahu bahwa Tuhan bersama kita!
Jakarta, Minggu Sengsara 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar