Dalam setiap budaya menghormati orang yang lebih tinggi kedudukannya adalah hal yang lumrah. Simbol-simbol penghormatan itu beragam, dari yang menundukkan kepala sampai cium tangan. Dari sungkem sampai menyembah. Lain budaya lain bentuk dalam penghormatan. Dalam budaya Yahudi, membasuh kaki merupakan salah satu bentuk tindakan hormat. Budak akan membasuh kaki tuannya, murid membasuh kaki gurunya, rakyat jelata membasuh kaki raja. Tidak akan pernah terjadi seorang raja berlutut di depan kaki rakyatnya, atau seorang guru berlutut di depan kaki murid-muridnya.
Oleh karena itu wajar saja kalau Petrus dan teman-temannya tidak bisa mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Mereka tidak bisa memahami ketika Sang Guru tiba-tiba bangun, menanggalkan jubah-Nya, mengambil sehelai kain lenan, lalu mengikatkan itu di pinggang-Nya. Kemudian menuangkan air ke sebuah basi. Lalu, membasuh dan menyeka kaki para murid satu demi satu!
Ketika sampai giliran Petrus, ia bereaksi:
“Tuhan, Engkau hendak membasuh kakiku?”
Jawab Yesus kepadanya: “Apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu sekarang tetapi engkau akan mengertinya kelak,”
Petrus berkata kepada-Nya: “engkau tidak akan membasuh kakiku untuk selama-lamanya.” (Yohanes 13:6-8).
Petrus begitu manusiawi seperti kita. Ia hidup menurut budaya dan pola pikir serta bertindak sesuai dengan kebanyakan orang: Yesus lebih tinggi, Ia Tuhan dan Guru. Ia tidak pernah boleh membasuh kaki murid-murid-Nya yang lebih rendah, dan begitu seterusnya menurut strata atau kedudukan manusia.
Petrus tidak bisa mengerti arti tindakan ini. Ia membutuhkan Yesus yang berada di atasnya, bukan yang di bawahnya. Yesus yang berada di atas itu memberikan rasa aman. Yesus jelas mempunyai kuasa, kekuatan. Bukankah Dia itu Mesias, Anak Allah, Yang Mahakudus? Bagaimana mungkin kalau Ia kini ada di bawah; siapa lagi yang dapat diandalkan untuk memberi perlindungan? Bukankah kita juga seperti Petrus; menjadikan dan menempatkan Yesus harus berada di atas agar Ia selalu dan selalu memberikan perlindungan? Kita kuatir kalau Yesus berada di bawah, lalu siapa lagi tempat kita memohon?
Namun, Yesus ingin membangun relasi baru dengan Petrus, dan juga kita. Ia ingin agar kita bangkit dan menyadari bahwa kita dipanggil untuk mencintai orang lain, sebagaimana Yesus mencintai Petrus dan kita.
Semua kelompok, semua masyarakat dibangun dengan model piramida: yang berada di puncak adalah yang berkuasa, yang kaya, yang pandai. Mereka mengukuhkan diri untuk menguasai dan memimpin. Sebaliknya, yang berada di paling bawah adalah para imigran, budak, bawahan, pelayan, orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan, yang sakit mental atau penyandang disabilitas. Mereka dipinggirkan dan tidak pernah diperhitungkan. Di sini Yesus menempatkan diri pada tempat yang paling bawah, tempat paling akhir. Tempat para budak!
Bagi Petrus dan juga kita, ini tidak mungkin. Mustahil!
Petrus dan kita tidak menyadari bahwa Yesus sedang datang membawa perubahan. Ia sedang mengubah model piramida menjadi model tubuh. Bila piramida berbicara dan menempatkan si penguasa, kaya, dan pintar di puncak, namun model tubuh setiap orang mempunyai tempat, entah mereka itu kaya, miskin, terpelajar atau tidak; normal atau cacat, masing-masing saling membutuhkan dan saling tergantung. Bukankah virus corona saat ini mengajarkan itu? Setiap manusia terikat satu dengan yang lain, bagaikan satu tubuh! Kita masing-masing tergantung dan terhubung satu dengan yang lainnya. Namun juga masing-masing dipanggil untuk mengemban tugas panggilan dalam tubuh itu. Kita tidak boleh iri dengan kemampuan yang lain, tetapi juga jangan minder dengan apa yang bisa kita lakukan! Kalau diri-Nya menempatkan pada posisi hamba, Ia mau mengatakan bahwa setiap kita tidak ada yang disebut “tempat terakhir”!
Bayangkan Anda dan saya hadir dalam pembasuhan kaki itu. Ketika dengan rendah hati Ia berlutut di hadapan kita, lalu membasuh kaki kita, Ia berkontak pribadi dengan kita. Lalu Ia menyatakan kasih-Nya kepada kita, sekaligus menguatkan dan menantang. Ia melihat dalam diri kita masing-masing kehadiran Bapa-Nya, yang Ia kasihi dan layani. Kasih Yesus menyatakan bahwa Anda dan saya adalah penting! Bahwa kita adalah kehadiran Allah, dipanggil untuk melakukan pekerjaan Allah, untuk mencintai orang lain seperti Allah mencintai mereka. Untuk melayani orang lain dan membasuh kaki mereka. Dengan membasuh para murid, dan kita, Yesus tidak meniadakan kuasa-Nya. Ia mengatakan bahwa Ia mempunyai kuasa, bahwa Ia adalah Tuhan dan Guru. Namun, Ia ingin menyatakannya secara baru menjalankan kuasa, melalui sikap rendah hati, pelayanan dalam ketaatan dan kasih. Ia melakukannya melalui cara-cara persahabatan dan keterbukaan.
Melalui pembasuhan kaki, Yesus menyatakan cara baru menjalankan kekuasaan, tidak dari atas, melainkan dari bawah. Sebagai Gembala Baik, Yesus menjalankan kuasa-Nya dengan teguh: Ia memanggil setiap orang dengan nama mereka ke arah yang benar; meluruskan mereka kalau perlu. Di sini Yesus berlutut di depan kaki mereka, ingin mereka dan kita bangkit, Ia menempatkan diri sebagai pemimpin yang melayani.
Dengan menyatakan diri sebagai yang paling kecil dalam masyarakat, sebagai orang yang melakukan pekerjaan kotor, sebagai orang yang berada di tempat terakhir, Yesus mengajak para murid-Nya untuk memberi perhatian kepada mereka yang paling kecil, paling rentan, paling berisiko dalam masyarakat. Di dalam Yesus, Allah tidak berada di luar jangkauan, di langit atau di singgasana surga. Tidak! Allah bersembunyi di “langit” hati orang-orang yang berada di tempat terakhir: Injil yang diberitakan Yesus memutarbalikkan perhitungan dunia. Yesus mengajak para pengikut-Nya untuk berdiri pada posisi Ia berdiri, melakukan apa yang Ia contohkan.
Sesudah membasuh kaki para murid. Yesus mengenakan pakaian-Nya dan duduk. Lalu Ia meminta agar apa yang Ia lakukan bagi mereka, mereka lakukan juga satu terhadap yang lainnya. Ketika Yesus meminta kita untuk saling membasuh kaki, itu artinya Ia meminta kita untuk saling mencintai, melayani, dan mengampuni. Pembasuhan kakitidak berarti bahwa kita harus benar-benar membasuh kaki semua orang! Pembasuhan kaki adalah lambang yang sangat kuat; lambang penyangkalan diri dan bersedia menjadi orang yang terakhir.
Yesus datang untuk menjadikan semuanya baru. Bagi Yesus setiap pribadi itu berharga, setiap pribadi dicintai Allah, setiap pribadi dipanggil untuk menjadi “rumah Allah”; setiap pribadi mempunyai anugerah untuk diberikan kepada orang lain; setiap pribadi harus dihormati dengan sungguh-sungguh, bukan sekedar basa-basi. Namun sayangnya, sebagian kita masih saja menampilkan diri seperti piramida.
Hanya kerendahan hati dalam ketaatan yang akan menolong kita untuk melakukan dan meneruskan karya Yesus. Hari-hari belakangan inilah merupakan batu uji bagi kita semua, apakah pesan Yesus untuk saling membasuh kaki itu hanya sekedar simbolis basa-basi atau benar-benar kita mengupayakan untuk melakukannya.
Jakarta, Kamis Putih 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar