Asthenes (Yun) bisa diterjemahkan dengan “sakit”, “lemah”, “tidak punya daya”, atau “tak berarti”. Itulah Lazarus! Kita adalah Lazarus, sakit, lemah, tidak punya daya dan tidak berarti. Secara sosial, fisik, mental, spiritualitas saat ini semua orang di dunia sedang sakit, lemah dan tidak berdaya! Betapa tidak, Covid-19 – virus yang tidak kasat mata itu – menyadarkan kita semua tentang kesakitan, kelemahan dan ketidak-berdayaan kita! Kita yang selama ini bangga sebagai mahkota ciptaan, ternyata oleh mahkota (corona) yang tidak kelihatan saking kecilnya menjadi lumpuh, tidak berdaya bahkan mati!
Covid -19 itu, mampu membuktikan bahwa kita dengan segala kepemilikan – harta benda, jabatan dan kehormatan – sesungguhnya tidak berarti. Uang, yang dikira bisa menjamin segalanya ternyata bukan apa-apa ketika dihadapkan dengan Corona. Presiden Trump menggelontorkan puluhan ribu triliun untuk menghadapi Corona, tetap saja si mahkota mungil itu menunjukkan keganasannya. Uang barangkali tidak menjadi masalah buat presiden Jokowi untuk membeli peralatan dan perlindungan kesehatan. Namun nyatanya, semua negara di dunia ini memperebutkannya sehingga sangat sulit mendapatkan barang-barang itu! Uang kehilangan taringnya! Kita adalah Lazarus, sakit-sakitan, lemah, tidak berdaya dan tidak berarti!
Beruntunglah Lazarus, ia sangat dicintai oleh kedua saudarinya; Marta dan Maria. Selain itu, Yesus sangat mencintai mereka sehingga di antara mereka ada hubungan yang istimewa. Pada saat genting dalam hidup Lazarus, saudari-saudarinya memberitahukan Yesus, “Tuhan, dia yang Engkau kasihi, sakit!” Narasi Yohanes menerangkan tentang kasih itu, “Yesus memang mengasihi Maria dan kakaknya dan Lazarus” (Yohanes 11:5). Selanjutnya Yesus mengatakan, “Lazarus saudara kita,” (Yohanes 11:11). Dan dalam kisah selanjutnya ketika orang melihat betapa terharunya Yesus karena kematian Lazarus, mereka berkata, “Lihatlah, betapa kasih-Nya kepadanya.” (Yohanes 11:36).
Di dalam kisah inilah kita dapat menemukan Yesus dengan jelas seperti kita, manusia! Ia bersahabat, Ia mengasihi, dan Ia juga sangat emosional: Menangis ketika kematian itu terjadi dalam keluarga sahabat-Nya! Di dalam kisah ini pula, untuk pertama kalinya Yohanes berbicara mengenai Yesus dengan menggunakan kata-kata agape dan philea. Agape adalah kata yang menggambarkan kasih di mana subyek mengambil peran utama bagi orang yang dikasihinya. Agape berarti kitalah yang berjuang mengusahakan sekuat tenaga dan daya kita untuk kebaikan pribadi orang yang kita kasihi tanpa harus sang pribadi yang kita kasihi itu membalasnya.
Philea mencerminkan realitas yang sama. Kasih itu dengan warna yang timbal balik, layaknya sebuah persahabatan. Persahabatan akan diwarnai oleh tindakan tulus saling mengasihi; saling memberi yang terbaik!
Marta dan Maria adalah kita, sering kali memandang pertolongan Tuhan yang kita andalkan itu terlambat. Bukankah kini terjadi? Kita merasa koq lama sekali Tuhan memberi pertolongan? Coba saja seandainya Tuhan segera menolong para ilmuwan itu menemukan vaksin Covid-19, tidak banyak orang meninggal!
“Tuhan, seandainya Engakau ada di sini, tentu saudaraku tidak mati!”
“Tuhan, seandainya obat itu sudah ada, seandainya pertolongan itu tidak terlambat, tentu orang yang saya kasihi tidak akan mati!” Ini pertanyaan bagi puluhan ribu orang yang kehilangan orang-orang yang dicintai mereka.
Diperhadapkan pada gugatan itu, Yesus menangis!
Yesus menangis di hadapan kematian! Yesus menangisi juga orang-orang yang pada saat ini sedang kehilangan pengharapan. Ia tidak abai! Ia menyentuh kematian yang menakutkan itu. Ia faham benar tentang kekosongan hati kalau seseorang yang dicintainya meninggal. Yesus mencintai Marta, Maria dan Ia tergerak oleh kesedihan yang dirasakan oleh mereka. Ia menangis Bersama Maria. Yesus menangis bersama dunia, bersama Anda dan saya pada saat ini, Ia merasakan emosi yang paling dalam dari anak-anak manusia!
Tidak mudah menggambarkan kedalaman emosi Yesus saat berhadapan dengan kematian sahabat-Nya. Hal ini sama juga dengan tidak mudahnya menerjemahkan kata Yunani yang dipakai, yakni: embrimaomai dan tarraso.Dalam bahasa kita kedua kata itu diterjemahkan masygulah dan terharu.
Embrimaomai adalah kata yang menyimpan berbagai emosi. Bukankah saat kita kehilangan orang yang dikasihi ada berbagai macam kecamuk di dalam diri kita? Kata ini juga sering dipakai untuk menggambarkan dengusan kuda. Lihatlah, ketika kita meluap dengan emosi kesedihan; nafas kita menjadi tidak teratur, tersengal dan seperti kuda yang kelelahan mendengus.
Tarraso dapat berarti gelisah, cemas, susah. Ini mungkin sekali menjadi gambaran kita atau orang-orang yang sedang dalam karantina. Entah sampai kapan, dan entah berakhir seperti apa? Yesus merasakan ini. Ia cemas, Ia gelisah, Ia mengeluh mengungkapkan rasa sakit yang terdalam. Yesus dalam keadaan sakit emosional. Ada sesuatu yang patah dalam diri-Nya. Kita tidak pernah melihat Yesus sebegitu manusiawinya. Jelaslah, Yesus sedang merasakan apa yang setiap orang pada umumnya merasakan kini. Ini sangat lain, sangat berbeda sekali dengan kebiasaan Yesus pada umumnya yang selalu tenang dan damai.
Apa yang terjadi? Apakah karena Ia diperhadapkan secara baru dengan penderitaan manusia; penderitaan karena kelemahan dan kematian; penderitaan karena perpisahan yang terakhir?
Jawaban untuk pertanyaan itu samar tetapi tidak sumir. Kelanjutan kisah ini dapat menolong kita. Peristiwa Yesus membangkitkan Lazarus dari kematian adalah pukulan telak bagi para pemimpin Yahudi. Karena mukjizat inilah mereka sepakat bahwa Yesus harus mati. Oleh karenanya, di sini – di hadapan maria, diri-Nya dihadapkan pada pilihan yang teramat berat: antara kasih terhadap Maria dan keinginan-Nya untuk memenuhi semua permintaannya dengan keyakinan diri-Nya bahwa apabila Ia memenuhi permintaan itu, Ia akan dibunuh. Ketegangan batin inilah rupanya yang membuat-Nya gelisah, kacau dan menangis. Yesus sungguh-sungguh sangat manusiawi. Yesus sungguh-sungguh sangat manusiawi, ringkih dan penuh kasih. Saya kira, ketegangan batin inilah juga yang dirasakan oleh ribuan perawat, dokter dan para medis ketika mereka sungguh-sungguh mencintai sesamanya manusia: menolong, mencintai berarti siap kehilangan nyawa!
Dalam kasih terdapat keringkihan dan dalam keringkihan kasih itu mewujud! Yesus dibawa ke makam Lazarus, lalu berkata, “Angkat batu itu!” Namun, Marta menyela dan mengatakan bahwa Lazarus sudah empat hari mati, tentu saja sudah berbau!
Marta adalah kita, sering mengatakan percaya namun dalam saat krisis, saat diperhadapkan-mukakan dengan kematian, kita menjadi ragu dan bahkan tidak percaya! Namun, apa yang terjadi ketika mereka menuruti apa yang dikatakan Yesus? Mereka melihat sendiri: Lazarus bangkit! Berita ini kemudian tersebar dan akhirnya perikop berikutnya (Yohanes 11:45, dst) terjadi kesepakatan di antara orang-orang Yahudi untuk membunuh Yesus! Cinta kasih Yesus di sini dibuktikan dengan memilih kematian untuk kebangkitan Lazarus!
Bukankah kita semua adalah Lazarus? Yang sakit-sakitan, lemah, tidak berdaya dan tidak berarti lalu ditelan kematian? Namun, menghadapi kenyataan ini: Yesus menginginkan kita bangkit, punya pengharapan sekalipun diperhadapkan dengan kematian! Yesus menghendaki kita bangkit dan hidup secara penuh. Ia memanggil kita keluar dari kubur yang kita bawa dari diri kita sendiri. Ini seperti Allah ketika memanggil Yehezkiel membangkitkan semua orang Israel yang terbaring dalam kubur keputusasaan (Yehezkiel 37:12,14).
Kini, Yesus berkata kepada kita, “Angkat batu itu!”
Mungkin kita seperti Marta, “Tidak Tuhan, kami sudah mati, sudah tidak ada lagi pengharapan!”
Sangat mungkin kini kita tidak berdaya mengangkat batu – beban itu – sampai Yesus sendiri mengatakan, “Marilah keluar!”
Keluar dari hati yang kosong, frustasi dan putus asa. Lihatlah cahaya wajah-Nya. Biarkanlah cahaya itu menembus kegelapan dan kekosongan hati kita. Kisah Lazarus adalah kisah kita masing-masing. Kisah itu adalah pernyataan bahwa Yesus datang untuk memanggil kita agar bangkit dan mempunyai pengharapan. Kebangkitan hendaklah kita fahami juga sebagai suatu proses yang mulai setiap pagi, setiap malam, setiap hari.
Hari-hari belakangan ini, bisa saja seperti empat hari Lazarus dalam kubur. Kita semua terhenti dan harus berada dalam rumah. Tidak mengapa, tetaplah setiap hari kita jalani sebagai sebuah proses kebangkitan. Di dalam Yesus selalu ada pengharapan!
Jakarta, Minggu Prapaskah V
Tidak ada komentar:
Posting Komentar