Rabu, 08 April 2020

KEAGUNGAN SEBUAH KEMATIAN

Berbicara tentang kematian, barangkali sebuah kata yang sumir, tidak enak didengar atau malah biasa saja. Lihatsaja setiap hari, setiap saat kita diperhadapkan dengan apa yang namanya kematian! Kian hari kian banyak manusia yang harus mati karena korban paparan virus. Bisa jadi, ketika kita berbicara kematian, bukan lagi menyangkut orang lain, melainkan dalam lingkungan orang-orang dekat kita. Kematian akhir-akhir ini begitu mengerikan! Lalu kalau tema Jumat Agung kali ini bicara tentang keagungan sebuah kematian, apanya yang agung? Bukankah kematian merupakan cerita tragis dari anak-anak manusia?

Ya, benar! Kematian selalu saja menyimpan duka, resah dan gelisah. Tak terkecuali dengan Yesus. Yesus sepenuhnya sendirian di atas tiang gantungan, salib itu. Ia kehausan dan kemudian berkata, “Sudah selesai!” Sudah selesai semua yang harus dijalani-Nya sebagai firman yang menjadi manusia. Lalu Ia menundukkan kepala dan menyerahkan nyawa-Nya. Kata-kata ini dapat dimengerti dalam berbagai cara. Dalam bahasa Yunani, kata-kata ini juga dapat berarti bahwa Yesus menundukkan kepala-Nya dan memberikan Roh. Kalau demikian, tindakan-Nya yang terakhir adalah memberikan anugerah Roh. Ia menghembuskan Roh-Nya. Bukankah setelah peristiwa kebangkitan, Ia akan menghembusi para murid dan memberikan Roh Kudus agar mereka mampu meneruskan karya Yesus di bumi ini?

Jadi, Yesus bukanlah korban, melainkan Ia memilih jalan itu. Jalan itu tidak dipaksakan untuk Ia jalani. Artinya dengan sadar Yesus memilih jalan salib. Belakangan kita mengerti bahwa jalan itu merupakan jalan yang agung!

Rupa-rupanya, para prajurit tidak puas dengan kondisi Yesus yang sudah sekarat dan mati. Untuk memastikannya, “Tetapi seorang dari antara prajurit itu menikam lambung-Nya dengan tombak dan segera mengalir keluar darah dan air.” (Yohanes 19:34). Dalam darah dan air, narasi Injil Yohanes melihat lambang pengharapan. Air melambangkan Roh. Bukankah itu yang dulu Ia katakan kepada Nikodemus, “… sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan roh, ia tidak dapat masuk dalam Kerajaan Allah.” (Yohanes 3:5). Air dan Roh menjadi tanda manusia dilahirkan kembali. Air pula yang Yesus janjikan kepada perempuan Samaria bahwa air yang hidup akan mengalir dari hatinya kalau ia minum dari air yang Ia berikan. Ada juga seruan Yesus di Bait Suci ketika Pesta Pondok Daun: “Barang siapa haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum.” (Yohanes 7:37).

Kini, air itu benar-benar mengalir dari lambung Yesus! Air ini adalah pertanda kasih-Nya dan lambang anugerah Roh yang akan memberikan kepada semua orang yang mau menerimanya sebuah kehidupan baru. Air ini menyembuhkan, membersihkan, dan memberikan hidup! Air ini mengubah ketertutupan, benci, dan kekerasan menjadi keterbukaan, kasih, dan pengampunan.

Air yang mengalir dari lambung Yesus yang tertikam tombak, secara simbolis menyatakan penerusan hidup, hidup dari dan oleh Allah, yang merupakan salah satu tema besar Injil Yohanes. Air itu menyatakan kehendak Allah untuk meruntuhkan tembok yang memisahkan kita dengan Allah, yang melepaskan belenggu kita dalam diri kita sendiri dan menghalangi kita sepenuhnya untuk menikmati kehidupan dari anugerah Allah. Allah ingin memerdekakan kita, hidup di dalam diri kita dan agar kita hidup di dalam Allah dalam pelukan kebahagiaan abadi. Kasih Yesus yang tanpa syarat, yang tampak dalam pemberian diri-Nya secara utuh inilah yang membuka diri kita untuk menerima hidup-Nya, hidup Allah dan dilahirkan kembali!

Kisah mengerikan mengenai kekerasan, kebencian, dan kekejaman berakhir dengan berkas cahaya yang menakjubkan: Kematian bukanlah kata akhir! Melalui kematian-Nya, kekerasan dan kebencian telah diubah menjadi kelembutan dan pengampunan, berkat kekuasaan Allah, Firman yang menjadi manusia; Air hidup mulai mengalir! Sekarang orang dapat menerima air sumber kasih dan persekutuan ini dan mengalami pembebasan batin. Sebagai murid, mereka akan menjadi sumber damai bagi dunia kita yang terus terpecah-pecah dan hancur.

Namun, anugerah Roh tidak diberikan tanpa rasa pedih. Pedihnya kematian Yesus, yang diterima bebas, diikuti oleh kepedihan dan kematian yang diterima dengan bebas oleh para murid-Nya. Sebagaimana hidup mengalir dari hati Yesus yang tertombak, hidup juga akan mengalir dari hati orang-orang yang akan menderita dalam nama Yesus. Para murid di sepanjang zaman mengalami penolakan, diejek, ditertawakan, dipinggirkan, kadang disiksa, dibunuh demi iman, kebenaran dan keadilan, mereka menjadi seperti Yesus. Para murid yang menderita bahkan mati dalam nama Yesus, menjadi sumber hidup bagi gereja dan dunia! 

Benar setiap kematian menyisakan kepiluan, namun juga harus kita ingat bahwa dalam kematian pun akan muncul keagungan. Keagungan kematian bukan terletak pada upacara pemakaman atau pengkremasian jenazah dan banyaknya orang yang melepas mendiang. Bukan itu! Keagungan itu terletak untuk apa dan siapa ia mati? Apa yang diperjuangkan dan dengan cara bagaimana ia menjadi berkat bagi sebanyak-banyaknya orang. 

Jelaslah jika kita berkaca pada peristiwa kematian Yesus, yang membuat kematian-Nya agung adalah oleh karena Ia memilih jalan itu untuk memberikan kehidupan baru kepada orang yang mau menerimanya. Ia memilih jalan kematian itu agar kebencian diubah menjadi kasih sayang, kekerasan menjadi kelembutan, dendam diganti dengan pengampunan dan pada akhirnya dosa dapat diampuni!

Jadi, ketika kita pun menginginkan bahwa kematian itu tetap membuahkan keagungan, tidak ada cara lain kecuali belajar mencontoh apa yang sudah dilakukan oleh Yesus. Mempergunakan kehidupan ini dengan sebaik-baiknya. Mengalirkan air sumber kehidupan yang kita terima dari Yesus untuk memberkati sebanyak mungkin orang. Berusaha mengubah kebencian menjadi cinta kasih, kekerasan menjadi kelembutan dan dendam menjadi pengampunan. Benar, mungkin kita akan mengalami kesepian ketika berjalan di jalan itu. Tidak mengapa, Tuhan Yesus pun demikian. Percayalah, bahwa penderitaan dan kesulitan yang kita alami pasti mendatangkan kebaikan!

Jumat Agung 2020.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar