Jumat, 10 April 2020

KERAMAIAN DI TENGAH KESUNYIAN

Kematian selalu menyisakan kegetiran. Sayangnya, itu tidak bisa dihindari. Setiap makhluk hidup pasti akan berjumpa dengan kematian. Kematian akan lebih menyakitkan lagi apa bila menimpa orang yang kita sayangi, lalu di sana kita tidak dapat berbuat apa-apa. Begitulah kira-kira yang sedang dihadapi oleh segelintir orang-orang yang terdekat dalam hidup Yesus.

Rombongan orang yang menghadiri pemakaman itu hanya segelintir orang. Tidak ada kerabat yang mengiringi jenazah untuk berkabung, tidak ada upacara-upacara formal untuk penghormatan dan suasana lebih hikmat. Yang ada hanya beberapa orang perempuan yang benar-benar berdukacita. Mereka itu ialah: Maria Magdalena, Maria yang lain. Merekalah yang terus ada di seputar peristiwa salib. Mereka juga mengikuti jasad Yesus yang hendak dimakamkan. Lalu mereka duduk di kubur itu, seakan mencoba mengobati kepedihan yang menusuk dada! Perasaan pedih itu begitu mendalam sampai-sampai mereka tidak dapat menggerakkan kaki dan tubuh mereka untuk beranjak meninggalkan kubur itu. 

Bukankah situasi belakangan ini ada banyak Maria – Maria yang mengiring jenazah orang-orang yang dicintainya? Tidak ada upacara pemakaman, tidak ada penghormatan yang khidmat, tidak ada rombongan besar yang menangisi dan membanjiri jenazah dengan air mata, tidak ada kidung-kidung penghiburan dilantunkan. Yang ada hanya beberapa orang petugas dengan pakaian khusus mengusung peti yang berlapis dibungkus plastik. Belum lagi di beberapa lokasi, masyarakat menolak pemakaman seperti itu. Lengkap sudah kepedihan itu!

Lalu, apakah sama seperti pergumulan Ayub di tengah pedih derita kehilangan seluruh anggota keluarganya, yang merasa bahwa ini semua adalah hukuman Tuhan? Tuhan sedang menumpahkan amarah-Nya sehingga azab ini terjadi? Apakah Tuhan adil dengan segala kepedihan yang dirasakannya? Bagi Ayub, tangan Tuhan terasa sedang memukulnya dengan murka. Itulah sebabnya ia datang kembali kepada Tuhan dan meminta Tuhan untuk, “Menyembunyikanku di dalam dunia orang mati … sampai murka-Mu surut” (Ayub 14:13). Di dalam kekalutan dan kesedihannya, Ayub menarik kesimpulan bahwa musibah yang dialaminya merupakan ungkapan amarah Tuhan walau di ujungnya nanti Ayub meralat pendapatnya ini.

Betapa kita juga sering seperti Ayub. Lihat survey yang diadakan oleh Libang PGI tentang wabah virus yang melanda dunia ini. Tidak sedikit yang menghubungkannya dengan murka atau kemarahan Tuhan terhadap umat manusia.

Benarkah?

Ibarat perjalanan, pergumulan Ayub dengan derita dan kematian keluarganya belum sampai di ujung. Dalam persimpangan itulah ia mengambil kesimpulan sementara. Setelah melewatinya Ayub justru menemukan sendiri hikmat di balik musibah yang ia alami. Ia dapat “berhadapan muka” dengan Tuhan. Bukan lagi dari kata orang ia mengenal Allah, melainkan dirinya mengalami perjumpaan.

Tidak mengapa kalau kita menganggap bahwa kematian yang menyedihkan itu adalah bagian dari kemarahan Tuhan. Namun, mestinya bukan berhenti di sini. Mari terus berjalan dan telusuri dengan cermat. 

Kembali kepada cerita pemakaman Yesus. Kecuali beberapa orang perempuan dan Yusuf dari Arimatea, Ia ditinggalkan oleh para pengagum-Nya yang dulu berbondong-bondong mengikuti ke mana pun Ia pergi. Bahkan bukan hanya oleh penggembira mukjizat Ia ditinggalkan, tetapi juga oleh murid-murid terdekat-Nya. Semua kocar-kacir. Pilu dan sedih itu lengkap sudah. Setelah keramaian kini tinggal kesepian. 

Banyak orang mengatakan bahwa waktu yang sulit dalam menghadapi kematian bukanlah pada saat-saat kematian itu datang, melainkan setelah itu. Setelah urusan kematian selesai, barulah keluarga yang ditinggalkan benar-benar sepi. Mendiang yang biasa duduk di kursi itu, makan bersama sambil berceloteh, ketika pulang kerja ia langsung bercerita tentang banyak hal, kini tiada lagi. Di situlah hal yang menyedihkan!

Sengat maut memang luar biasa. Ia bisa merampas semua angan dan mimpi, bahkan harapan sekali pun. Begitulah yang terjadi dengan para murid dan khususnya para perempuan yang terus setia ada di dekat Yesus. Kematian begitu mencekam sehingga mereka lupa apa yang dulu dikatakan Yesus bahwa tiga hari setelah kematian itu Ia akan bangkit! Rupa-rupanya orang-orang yang memusuhi Yesus lebih percaya ucapan Yesus ketimbang para murid-Nya. Mengapa? Ya, kini mereka kuatir, mereka mencemaskan ucapan Yesus itu menjadi kenyataan maka mereka meminta kepada Pilatus agar makam tempat Yesus dibaringkan itu dijaga. Mereka berdalih bahwa bisa saja ada murid-murid Yesus yang mengambil mayat-Nya, lalu menguburkannya di tempat lain dan mereka kemudian mengatakan kepada orang banyak bahwa Yesus benar-benar bangkit! Jangankan mendekat makam Yesus, para murid itu justrus telah menyelamatkan diri masing-masing. Mereka takut! 

Di tengah-tengah kesunyian itu para perempuan murid Yesus terus digelayuti oleh duka nestapa. Di sinilah iman itu ditantang untuk melihat kesunyian bukan melulu harus diartikan dengan sepi. Bukankah kesunyian merupakan sarana kita dapat hening. Hening, bukan berarti pilu. Di dalam keheningan itu suara-Nya dapat didengar. Suara yang memberi kekuatan bahwa kita tidak sendiri dalam menjalani masa-masa sulit. Tuhan ingin kita menggenggam tangan-Nya dan mempercayakan penuh kepada janji-Nya. Maka tidaklah mengherankan orang-orang yang telah melewati masa-masa seperti ini akan dapat melihat bahwa tidak selamanya kematian itu menghancurkan hidupnya. Melainkan mengokohkan bahwa kini ia bisa menjadi saluran berkat untuk menguatkan mereka yang sedang dalam keadaan duka.

Tidak masalah, ketika orang-orang yang kita sayangi kematianya tidak kita selenggarakan dengan ibadah atau upacara penghormatan. Tidak mengapa juga kalau pemakamannya hanya dihadiri beberapa gelintir orang, atau bahkan hanya petugas pemakaman saja. Itu tidak mengurangi cinta kasih Tuhan terhadap orang-orang yang kita sayangi. Lihat, Yesus! Pemakaman-Nya juga tidak meriah, semua orang ketakutan menghindari jasad-Nya – hanya beberapa orang saja yang bertahan – lalu apakah kematian seperti itu tidak berharga di hadapan Allah? 

Kini, sebenarnya urusannya ada pada diri kita. Menata hati kita bahwa orang-orang yang kita cintai itu telah damai bersama-Nya. Kini, saat kita membangun iman yang runtuh bahwa kematian bukan akhir dari segalanya. Akan ada kehidupan kekal yang Tuhan janjikan. Mari kita nantikan saat-saat yang sunyi ini sambil terus berharap bahwa Tuhan berkenan memulihkan keadaan.

Sabtu Sunyi 2020.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar