Jumat, 17 April 2020

DUTA DAMAI SEJAHTERA

Semua Injil memberitakan tentang kebangkitan Yesus Kristus. Meski tema besarnya sama, yakni bahwa Yesus menang atas kuasa maut. Namun, tentu saja di sana-sini ada kisah-kisah yang khas dari masing-masing Injil. Itu sangat tergantung dengan konteks jemaat di mana Injil itu ditujukan. Yohanes misalnya, peristiwa kebangkitan diwartakan dengan tujuan untuk menjelaskan mengapa Yesus yang baru saja dimakamkan itu tidak lagi ditemukan jenazah-Nya di makam dan bagaimana para murid tidak lagi merasa kehilangan Yesus secara fisik alih-alih kini mereka merasakan kehadiran-Nya. Hal ini agak-agak mirip dengan ingatan orang-orang yang sudah mendahului, alias meninggal tetapi masih menjadi bagian dari hidup kita. Contohnya, ketika ada orang yang begitu dekat hubungannya dengan kita, lalu meninggal, kita merasakan seolah-olah dia ada, tidak jauh dari kehidupan kita.

Meski ada kemiripan seperti itu, peristiwa kebangkitan Yesus bukan sekedar ingatan, orang merasakan kehadiran-Nya, apalagi halusinasi. Bukan demikian! Bagi para murid, menimang-nimang ingatan akan Dia yang pernah begitu dekat dengan mereka di dunia ini bukanlah hal terpenting. Sebaliknya, mereka kini semakin merasakan menjadi bagian dari Yesus yang bangkit itu ketimbang Dia yang menjadi kenangan bagi mereka. Itulah persepsi mereka akan kebangkitan Yesus.

Berangkat dari pengalaman dan pemahaman itu, mereka mengalami perubahan. Perubahan itu adalah cara pandang dan hidup mereka: dari yang dirundung ketakutan, kini menjadi pribadi-pribadi yang disertai kedamaian. Hal itulah yang kelak memungkinkan mereka membuka pintu-pintu yang terkunci untuk keluar memberitakan damai sejahtera. Mereka menjadi agen atau duta damai sejahtera. Tentu saja proses perubahan ini tidak segampang membalikkan telapak tangan. Yesus yang sudah bangkit itu menjumpai dan meneguhkan mereka.

Dikisahkan dalam bacaan Paskah Minggu ke-2 ini (Yohanes 20:19-23) bagaimana Yesus menampakkan diri kepada para murid-Nya sewaktu mereka sedang mengunci diri karena takut kepada para penguasa Yahudi. Ya, mengunci diri merupakan cerminan atau refleksi orang yang sedang ketakutan. Mungkin juga saat ini kita sedang mengunci diri; takut dari berbagai ancaman mengerikan. Pada saat pintu-pintu terkunci itulah Yesus tiba-tiba ada di tengah-tengah mereka, menyapa mereka dengan sebuah ucapan salam, “Damai sejahtera bagi kamu!” kata-Nya.

Eirene atau Shaloom adalah sapaan biasa dalam masyarakat Yahudi, “semoga Anda dalam keadaan baik!” Salam yang biasa diucapkan – bahkan oleh kita sekalipun – ini menjadi “tidak biasa” ketika Yesus yang menyampaikannya. Ia – salam itu – tidak hanya ucapan basa-basi. Namun, Yesus benar-benar menghadirkannya. Ia mengucapkan, sekaligus juga mewujudkan harapan dan doa itu. Murid-murid tidak hanya mendengar, tetapi sapaan itu memberi kekuatan baru. Ia bagai udara segar yang memulihkan setiap sel dan butiran darah yang dirasuki oleh ketakutan, ketiadaan harapan dan tentu saja tidak ada damai sejahtera. Ketakutan itu berubah menjadi kedamaian dan keterkung-kungan menjadi penuh daya hidup.

Yesus mampu menghadirkan shalom itu bukan dengan menunjukkan tanda-tanda kemahakuasaan-Nya. Justru sebaliknya, Ia menunjukkan luka-luka-Nya. Luka itu tidak disembunyikan! Bekas luka ini menunjukkan bahwa yang kini hadir, menampakkan diri di depan mereka adalah tidak lain dari Dia yang tersalib itu. Yang hadir di tengah-tengah mereka bukan sekedar ingatan atau halusinasi. Luka-luka itu kini mampu membalut luka-luka pilu yang ada di setiap murid dalam ruangan itu. 

Luka-luka yang diperlihatkan Yesus bisa saja menjadi inspirasi buat kita semua. Kita semua tentu saja punya luka. Luka akibat tertolak, luka karena kehilangan, luka karena kecewa dan seterusnya. Yesus ingin membalut dan memulihkan luka-luka itu. Namun sayangnya, tidak setiap orang bersedia untuk memperlihatkan lukanya. Tidak setiap orang mau dibalut dan dipulihkan. Pada pihak lain, luka-luka dan kelemahan kita tidak selamanya menjadi penghalang. Luka-luka itu juga dapat membalut dan menyembuhkan luka orang-orang yang ada di sekitar kita.

Tidak hanya kehadiran-Nya, ucapan shalom, dan memperlihatkan luka-Nya, Yesus pun menghembusi para murid itu dengan Roh Kudus. Ini mengingatkan kita akan pemahaman Roh sebagai nafas kehidupan yang dulu pada waktu penciptaan Allah menghembuskan nafas kehidupan kepada manusia ciptaan-Nya (Kejadian 2:7 atau sama seperti kisah kebangkitan tulang-tulang Israel dalam Yehezkiel 37:5). Injil Yohanes mengisyaratkan bahwa dalam memberikan atau menghembuskan Roh, Allah telah menciptakan kemanusiaan yang baru. Kristus yang bangkit itu memberikan Roh Kudus, seperti yang Ia janjikan. Pemuliaan dari penyaliban adalah kebangkitan dan membuahkan hasil dalam bentuk baru dari kehadiran ilahi.

Roh Allah yang dihembuskan kepada para murid itu menggambarkan bagaimana Yesus kini berbagi kehidupan dengan para murid. Dalam Perjamuan Terakhir disebutkan bahwa Ia sadar betul bahwa Ia berasal dari Bapa dan akan kembali kepada-Nya. Ini telah terjadi. Dan kini, Ia telah kembali bersatu dengan Bapa-Nya itu berbagi nafas dengan para murid. Artinya kini, mereka benar-benar dapat menjadi anak-anak Bapa.

Anak- anak Bapa, jelas bukan sekedar slogan kebanggaan. Namun, di dalamnya terkandung maksud, misi yang harus terus dilakukan, ada hal yang harus dikerjakan oleh manusia ciptaan baru yang telah dihembusi Roh Kudus, yaitu: “Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu.” (Yohanes 20:21). Tugas Yesus telah dilaksanakan dengan baik, hingga Ia kembali kepada Bapa-Nya, paralel dengan pengutusan Bapa terhadap Yesus, demikian juga Ia memandatkan misi yang sama kepada setiap kita.

Yesus menghadirkan damai sejahtera di bumi ini dengan berbagai konsekuensi yang harus Ia tanggung. Misi menghadirkan damai sejahtera itulah yang harus menjadi keprihatinan dan perjuang dari setiap murid Yesus; dari semua anak-anak Bapa di surga. Menghadirkannya jelas tidak cukup hanya dengan memberi ucapan shalom. Melainkan dengan mewujudkannya. Lihatlah, kondisi saat sekarang sebagian besar orang sedang mengunci diri, ketakutan, dilanda kecemasan bahkan putus asa. Di sinilah kita yang mengimani kebangkitan Yesus mestinya juga mengalami apa yang namanya kebangkitan itu. Saat inilah kita membuka pintu-pintu hati kita yang rapat terkunci itu untuk bersama-sama memulihkan keadaan dunia saat ini. 

Memulihkan bukan dengan menunggu kita menjadi kuat, perkasa dan kaya. Tidak! Lihatlah, Yesus mengajarkannya kepada kita dengan memerlihatkan luka-luka-Nya. Bisa jadi Anda dan saya pada saat ini masih terluka, masih perih batin ini dengan banyak kesedihan dan air mata. Namun, tidak mengapa, yakinlah bahwa Tuhan yang bangkit itu mampu membalut dan memulihkan luka kita sehingga kita dimampukan juga untuk membalut dan memulihkan luka-luka sesama kita. Bangkitlah dengan Yesus yang bangkit dan menang itu. Jadilah manusia-manusia ciptaan baru yang siap berkarya untuk menghadirkan damai sejahtera di bumi ini!

Jakarta, Paskah-2 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar