Kamis, 13 Februari 2020

MELAMPAUI KATA, MENEMUKAN MAKNA

Ini kisah kelu kesah. Seorang teman bercerita, konon ia membeli lima buah pemotong kuku untuk dipakai di rumahnya. Memang ia gemas, karena sudah sering kali terjadi, saat di rumah ia membutuhkan alat untuk memotong kuku itu, barangnya tidak ditemukan. Seisi rumah ditanya perihal keberadaan benda itu. Namun, semua hanya bisa menggeleng dan menyahut, “Tidak tahu!”

“Ngeselin,” ujarnya. “Aku sudah taruh alat itu di tempatnya, di laci dekat meja makan supaya ketika membutuhkannya aku tahu di mana harus mengambilnya. Namun, ternyata setiap kali membutuhkan barang itu tidak ada di tempatnya. Aturan tata-tertib sudah kita sepakati serumah, semua barang peralatan rumah tangga ada tempatnya masing-masing. Itu aturan nomor satu. Nomor dua, sesudah barang itu dipakai, harus segera dikembalikan ke tempat semula. Kan, sangat sederhana? Kok, susahnya bukan main!” Ia berceloteh Panjang lebar.

Saya kira banyak di antara kita mempunyai pengalaman seperti teman kita itu. Ada aturan-aturan rumah yang sangat sederhana, mulai dari mematikan saklar lampu, menutup kembali keran air sampai menekan odol yang sulit sekali diberlakukan. Hal-hal yang tampaknya sepele namun justru menjadi biang konflik. Hal-hal kecil ini juga yang sekaligus mengkonfirmasi bahwa manusia sulit untuk menaati aturan alias sulit diatur.

Orang Yahudi terkenal dengan segudang aturan baik yang berhubungan dengan ibadah atau tatanan sosial. Tentu saja sumber dari segala peraturan itu adalah Taurat. Tauratlah yang membedakan mereka dari bangsa-bangsa lain. Mereka harus menghidupinya sedeteil mungkin. Taurat telah mengurat-daging dan menjadi bahan percakapan sehari-hari. Suatu hari Yesus pun membicarakan Taurat. Pokok yang dibahas Yesus dalam Injil Matius 5:21-37 antara lain tentang: membunuh (Matius 5:21-26), perzinahan (Matius 5:27-30), perceraian (Matius 5:31-32) dan mengenai sumpah palsu (Matius 5:33-37). Pembahasan pokok-pokok hukum tersebut dimulai dengan formula yang sama, “Kamu telah mendengar firman…”  atau “Telah difirmankan…”. Setelah menyebut masing-masing ketentuan dalam Taurat itu, Yesus menyarankan, “(TetapiAku berkata kepadamu…”. Yesus tidak berhenti pada apa yang tertulis. Apakah Yesus mengubah ketentuan Taurat itu? Padahal sebelumnya Ia sendiri telah mengatakan, “Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang rendah di dalam Kerajaan Surga…” (Matius 5:19).

Yesus sama sekali tidak sedang mengubah hukum Taurat. Sejak awal Ia menegaskan, “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.” (Matius 5:17). Yesus menggenapi apa yang kurang dalam hukum itu. Ia tidak berhenti hanya pada kata-kata yang tertulis. Apa yang diajarkan-Nya adalah melampaui kata-kata hukum dan menemukan makna di balik kaidah hukum itu. Bagi Yesus, yang paling penting itu bukanlah sekedar memenuhi ketetapan-ketetapan hukum yang tertulis itu. Yang jauh lebih penting bagi-Nya adalah sikap dasar orang yang mau hidup dalam ketetapan Allah. Orang-orang seperti ini adalah mereka yang disebut orang-orang benar. Mereka dipanggil untuk menjadi sempurna sebagaimana Bapa di Surga adalah sempurna.

Yesus tidak mengganti apa yang tertulis dalam Taurat dan kitab para nabi. Namun dalam ajaran-Nya, Ia memberi orientasi baru pada ketaatan manusia terhadap hukum. Aturan-aturan tertulis dari hukum-hukum itu bukanlah tuntutan maksimal; seolah-olah sesudah orang memenuhinya maka selesailah sudah tugas dan tanggung jawabnya. Tidak! Bagi Yesus, hukum menjadi tuntutan minimal, tetapi lebih jauh, orang harus membangun sikap dan perilaku yang lebih dari apa yang minimal itu. 

Sekurangnya ada dua macam motivasi ketika seseorang menaati hukum. Pertama, dilandasi motivasi takut. Kebanyakan orang mengendarai kendaraannya dengan tertib oleh karena takut kena sangsi tilang. Kebanyakan pelajar mengerjakan tugas-tugasnya karena takut nilainya jelek dan tidak naik kelas. Kebanyakan karyawan mengerjakan tugasnya karena takut tidak naik gaji. Dan, kebanyakan kita beribadah oleh karena takut hukuman Tuhan serta takut tidak kebagian kavling di surga. Semua dikerjakan karena takut! 

Ada motivasi kedua, yang oleh Mahatma Gandhi disebut sebagai motivasi yang seribu kali lipat lebih ampuh. Motivasi itu adalah kasih! Jika seseorang mengasihi keluarga, sesamanya maka ia otomatis akan tertib dalam berlalu-lintas. Mengapa? Ya, jika dia melanggar tentu sangat berpotensi mencelakai diri sendiri dan pemakai jalan lainnya. Jika seorang pelajar mencintai pelajarannya, maka ia akan mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik dan otomatis nilainya juga pasti baik. Jika seorang karyawan mencintai pekerjaannya, maka ada atau tidak ada atasannya ia akan mengerjakan tugasnya dengan baik. Jika Anda dan saya benar-benar mengasihi Allah, maka kita akan mengerjakan hukum-hukum-Nya bukan dengan paksaan atau takut. Hukum-hukum itu adalah cara atau jalan untuk kita mengasihi-Nya maka kita akan mengerjakan-Nya melampaui apa yang tertulis itu!

Yesus menanggapi beberapa hukum populer yang berlaku dalam masyarakat pada masa itu. Ia menanggapi hukum “jangan membunuh” sejajar dengan kemarahan dan penghakiman terhadap orang lain. Yesus membahas hal yang lebih dalam lagi, yakni soal hati, sumber dari segala perbuatan manusia. Yesus berkata, “Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum.” Mengapa Yesus seolah membuat semakin sulit untuk melakukan hukum? Yesus mengerti isi hati manusia, maka yang menjadi perhatian Yesus adalah isi hati manusia itu, bukan semata perbuatannya. Hati yang penuh dengan kemarahan, penuh kebencian, adalah hati yang tidak jauh dari keinginan untuk membunuh. Sebenarnya, hati yang marah adalah hati yang membunuh. Yang kurang hanyalah tindakan pembunuhan itu sendiri. Seseorang yang marah akan menyakiti orang lain. Ketika Yesus memerintahkan agar para pendengar-Nya tidak dipenuhi oleh kemarahan, maka Yesus sedang menunjukkan kepada kita jalan menuju kehidupan yang indah itu.

“Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu. Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.” Kata Yunani untuk menginginkandalam teks ini adalah ephitumia. Kata ini mempunyai makna yang sangat spesifik. Kata ini tidak mengacu pada ketertarikan seksual secara umum, melainkan sikap yang dengan sengaja menjadikan orang lain sebagai obyek kesenangan pribadi. Ephitumia adalah ketertarikan yang dibuat dengan sengaja untuk menimbulkan gairah seksual hanya demi kenikmatan itu sendiri. Ephitumia berlawanan dengan cinta kasih! Jika ephitumia diartikan sebagai menjadikan orang lain sebagai obyek kesenangan maka ini bukan hanya terjadi pada pria yang memandang perempuan. Hal yang sama juga bisa terjadi; perempuan juga dapat menjadikan pria sebagai obyek dari kenikmatannya! 

Begitu pula dengan sumpah palsu. Sumpah palsu pada umumnya ketika seseorang sedang terdesak atau membela temannya dan menguntungkan dirinya sendiri. Kebohongan bukanlah soal ketepatan dari apa yang disampaikan seseorang, melainkan tentang motivasi dari hati. Yesus terus-menerus membahas soal hati, apa yang ada dalam hati seseorang, adalah sumber dari segala sesuatu yang tampak di luar. Standar kebenaran pada zaman Yesus sangat jelas: engkau dapat mengatakan dusta dan tidak disalahkan (sebelum terbongkar), tetapi jika engkau berdusta “di bawah sumpah”, maka engkau bersalah. Dalam hal ini Yesus berbeda. Ajaran Yesus melampaui konsep permukaan dengan konsep pribadi baru yang memiliki karakter baru. Bagi Yesus, baik di bawah sumpah atau tidak, mereka yang hidup dalam Kerajaan Allah harus mengatakan kebenaran!

Jakarta, 13 Februari 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar