Kamis, 20 Februari 2020

KEMULIAAN DALAM BINGKAI DERITA

PMP (30), salah seorang penumpang Wing Air serta merta membuka jendela darurat saat pesawat akan take-off di Bandara Sepinggan, Balikpapan (Minggu, 8/2/2020). Apa alasan PMP melakukan tindakan itu? “Dia bilang penasaran setelah mendengar arahan dari pramugari dan baca buku petunjuk. Setelah itu, dia langsung buka jendela itu,” ungkap Kapolresta Balikpapan, Kombes Turmudi kepada Kompas.com.

Dengan aksinya itu, tentu saja membuat seisi pesawat panik dan menggegerkan dunia penerbangan. Jadwal penerbangan jadi terlambat 3 jam, PMP diamankan dan akibat ulahnya itu ia di-blacklist oleh maskapai Wing Air dan terancam denda setengah milyar rupiah! 

Bisa saja ulah PMP hanya reaksi spontan dan berangkat dari keingintahuannya. Ia mendengar instruksi dan segera melakukannya. Sayang ia tidak menyimak instruksi awak kabin dengan lengkap. Apa yang terlewatkan dari informasi itu? Jendela darurat itu hanya boleh dibuka ketika pesawat dalam keadaan bahaya dan ada perintah dari sang pilot!

Apa yang terjadi dengan PMP sangat mungkin kita alami. Kita tergesa-gesa membuka perangkat elektronik atau gaway yang baru kita beli. Mengaktifkannya dengan menekan atau menyolokkan sumber daya pada perangkat tersebut, tanpa membaca buku panduan dengan cermat. Beruntung kalau tidak ada masalah. Namun, tidak sedikit barang-barang tersebut rusak atau tidak awet karena ada beberapa perlakuan yang tidak tepat. Padahal sudah diberi peringatan dalam buku panduan tersebut.

Yesus tampaknya tidak mau para murid-Nya tergesa-gesa dalam mengambil keputusan untuk mengikuti-Nya. Dalam beberapa hal, Ia mengajak para murid atau pengikut-Nya untuk berpikir dalam-dalam. Beriman itu tidak selalu bisa disamakan dengan “melompat dalam kegelapan”. Memang ungkapan itu digunakan untuk menegaskan “percaya saja, nanti dalam kegelapan itu ada yang merangkul”, namun iman tidaklah dimulai dari situ! Iman tidak mulai sebagai bonek – bocah nekat. Kepasrahan iman itu buah dari relasi kepada siapa kita mempercayakan diri, bukan titik tolak! Iman tumbuh dari kesadaran mengenai siapa dia yang patut menerima komitmen yang semakin besar dan demi maksud apa. Dalam hal ini kita bisa belajar dari peristiwa pemanggilan Abraham. Perintah Tuhan untuk pergi dari rumah nenek moyangnya, itu masuk akal bagi Abraham: ia akan menjadi bapak bangsa besar dan menjadi jalan berkat bagi semua orang. Begitulah juga komitmen mengikuti Yesus juga butuh dipertanggungjawabkan. Peristiwa transfigurasi, perubahan wujud Yesus atau Yesus menampakkan diri dalam kemuliaan di gunung itu menolong para murid dalam mengimani hidup mengikut Yesus.

Penampakan kemuliaan Yesus terjadi selang waktu yang cukup, yakni enam hari bagi ketiga murid (Petrus, Yakobus dan Yohanes) untuk memikirkan, mencerna dua hal berikut, yaitu: Pertama, pemberitahuan tentang kesengsaraan, kematian, dan kebangkitan Yesus (Matius 16:21) dan kedua, kata-kata Yesus mengenai pengorbanan dalam mengikuti-Nya (Matius 16:24-28, yakni : menyangkal diri, memikul salib, berani berkorban demi Dia, dan seterusnya). Tentu saja dalam kurun waktu itu (enam hari) mereka bertanya-tanya dalam hati, “Sepadankah pengorbanan dalam mengikuti guru yang toh sudah tahu bakal menderita dan mati seperti diungkapkan-Nya sendiri? Lagi pula, apa untungnya lebih besar dari pada ruginya?

Penampakan kemuliaan Yesus itu menolong mereka melihat bahwa itulah kemuliaan yang sesungguhnya setelah melewati penderitaan dan kematian. Itulah tubuh kebangkitan! Itulah sebabnya juga mengapa dalam tradisi gereja kita minggu Transfigurasi ditempatkan di awal masa rangkaian peristiwa Paskah, yakni sebelum Rabu Abu, Minggu-minggu Pra-Paskah dan Minggu Sengsara. Hal ini mau mengajak kita: kendati pun harus melalui jalan sengsara, lihatlah Yesus yang tidak hilang kemuliaan-Nya. Lihatlah tubuh kebangkitan itu adalah tubuh yang tampak dalam kemuliaan-Nya!

“Lalu Yesus berubah rupa di depan mata mereka; wajah-Nya bercahaya seperti matahari…” (Matius 17:2). Bercahaya seperti matahari berarti tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Menyilaukan! Di kaki Gunung Sinai dulu, umat Perjanjian Lama melihat kulit wajah Musa bercahaya dan karenanya mereka takut mendekat. Waktu itu, Musa yang baru saja berbicara dengan Tuhan, turun membawa dua loh batu berisi Hukum Tuhan. Perjumpaan dengan sabda Tuhan membuat wajah Musa bercahaya. Kali ini Yesus tampil sebagai Musa yang baru, yang membawa sabda Tuhan di dalam diri-Nya sendiri, di dalam seluruh kehidupan-Nya!

Melihat suasana kemuliaan yang begitu menyilaukan, Petrus – barang kali bisa disamakan dengan PMP yang spontan membukan jendela darurat – berkata: “Tuhan, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Jika Engkau mau, biarlah kudirikan di sini tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.”(Matius 17:4). Kita dapat menduga bahwa ungkapan spontan ini terkandung ketidaktahuan Petrus. Ia tidak tahu harus bersikap apa untuk menanggapi peristiwa itu. Atau bisa juga bahwa Petrus benar-benar menikmati kemuliaan itu dan ia ingin berlama-lama dalam peristiwa kemuliaan itu, sehingga masuk akal kalau kemah dijadikan sarana untuk menangkap kemuliaan itu lebih lama. 

Ternyata bukan begitu cara manusia menangkap kemuliaan itu! Kemuliaan yang terjadi pada Yesus di gunung pada saat itu adalah gambaran kemuliaan yang sesungguhnya nanti setelah pari purna menunaikan tugas-Nya. Kemuliaan itu ada dalam bingkai penderitaan yang sebentar akan dijalani-Nya. Suara langit menolong Petrus untuk mendengarkan apa yang dikatakan Yesus, “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia.” (Matius 17:5). Suara ini adalah suara kedua, yang pertama pada peristiwa baptisan Yesus di sungai Yordan oleh Yohanes Pembaptis. Melalui pernyataan ini Petrus dan teman-temannya diajak untuk mendengarkan apa yang diajarkan Yesus dan tentunya juga mengikuti apa yang diteladankan-Nya. 

Para murid diminta mempertimbangkan, mengendapkan dan memikirkan ulang apa yang diajarkan dan dilakukan Yesus. Peristiwa Yesus berubah rupa dalam kemuliaan menolong mereka untuk melihat visi ke depan. Kemuliaan itu yang bakal diperoleh para murid ketika mengikuti Yesus dengan setia. Kemuliaan itu diperoleh hanya dengan cara mendengarkan apa yang diajarkan Yesus. Ini seperti kemuliaan yang terjadi pada Yesus. Kemuliaan itu dianugerahkan ketika Yesus taat dan setia mendengarkan perintah Bapa.

Perintah untuk mendengarkan Dia menegaskan bahwa figur Yesus sebagai Guru dan menempatkan Petrus dan teman-temanhya – dalam konteks ini – sebagai murid. Murid diminta untuk dengan cermat mendengarkan Yesus yang mengajar. Dalam pengajaran-Nya, Yesus kerap kali menyatakan kehendak Allah bagi diri-Nya dan bagi para murid-Nya. Yesus berbicara mengenai derita dan kematian-Nya dan juga bicara mengenai kaidah-kaidah etik yang mesti dipegang oleh mereka yang mengikuti-Nya. Ajaran-ajaran etik Yesus tidak bisa dipisahkan dari pemahaman-Nya akan keharusan untuk menderita.

Melalui Minggu Transfigurasi kali ini kita diajak kembali memahami bahwa kesulitan, penderitaan bahkan kematian yang harus dialami oleh setiap pengikut Yesus, bukanlah sebuah tragedi atau malapetaka, melainkan sebuah jalan menuju kemuliaan. Benar, penderitaan dan kesulitan hidup tidak perlu kita cari-cari. Namun, andai kata hal itu menimpa kita maka lihatlah kembali pada Yesus. Ia tidak mengeluhkan penderitaan itu namun dipakai-Nya sebagai jalan berkat bagi orang lain dalam memancarkan cahaya kemuliaan Allah.

Yesus juga tidak selamanya memancarkan kemuliaan Allah seperti cahaya matahari. Dalam kesehariannya, justru Ia berlaku seperti manusia lazimnya. Ia larut dalam penderitaan manusia namun Ia tampil membawa solusi. Ia menghadirkan damai sejahtera bagi orang-orang yang tersisihkan dan dilebeli berdosa. Yesus tentu ingin meneruskan karya-Nya melalui para pengikut-Nya: melalui Anda dan saya. Jelas, bukan dengan cara-cara yang menyilaukan, spektakuler dan dasyat. Melainkan melalui olah tutur kata, perilaku dan perhatian yang menyapa dengan tulus dan ramah. Teruskanlah karya Yesus ini meski mungkin saja dengan begitu kita mengalami penderitaan. Namun, jangan kuatir, Tuhan menyertai dan memberimu kemuliaan!

Jakarta,  20 Februari 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar