Firman Yang Tidak Jauh
“Sebab perintah ini, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, tidaklah terlalu sukar bagimu dan tidak pula terlalu jauh… Tetapi firman ini sangat dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu, untuk dilakukan.”(Ulangan 30:11,14)
Pada awal tahun 1990an, terjadi kekerasan geng di Boyle Heights, sebelah timur Los Angeles. Tidak tanggung-tanggung, ada delapan geng yang sedang bertikai di sekitar paroki Dolores Mission Catholic Church. Setiap hari selalu ada korban jiwa dan luka-luka. Suatu hari ada sekolompok ibu-ibu sedang bersekutu bersama sambil membaca kisah Yesus berjalan di atas air. Kisah itu tercatat dalam Matius 14:22-33. Salah seorang ibu dari persekutuan itu terkesima dengan kisah ini. Mengapa? Ia menemukan ada kesamaan antara Matius 14 dengan realita yang sedang terjadi di sekitar mereka.
Ibu yang terkesima itu melihat konflik antar geng di Boyle Heights adalah badai yang terjadi di Danau Galilea; orang-orang yang ketakutan dan bersembunyi di rumah mereka adalah murid-murid yang bersembunyi dari badai itu; suara bising peluru yang dimuntahkan dari senjata-senjata api itu bagaikan petir yang menyambar dalam badai itu. Ya, kematian begitu dekat. Lalu, Yesus menampakkan diri dan mereka menaruh pengharapan akan keselamatan. Sebaliknya, Yesus berkata, “Keluarlah dari perahu…berjalanlah di atas air …. Masuklah dalam keributan yang sedang terjadi!
Malam itu juga, 70 orang perempuan melakukan peregrinación, yakni sebuah prosesi mengunjungi satu geng ke geng lainnya. Para perempuan ini datang membawa makanan, gitar, dan yang paling utama cinta kasih. Ketika mereka makan keripik dan minum cokes, mereka menyanyikan lagu-lagu lama dari Jalisco, Chiapas, dan Michoacán. Bagaimana dengan reaksi anggota-anggota geng yang dikunjungi oleh para perempuan itu? Bingung dan terkesima. Zona perang sejenak menjadi hening!
Kegiatan ini dilakukan oleh ibu-ibu itu bukan sekali dua kali. Tiap malam mereka berkunjung. Mereka telah mencegah perang tanpa memakai senjata atau kekerasan. Hukum balas dendam dan kekerasan telah ditentang dan diubah. Para ibu itu menamakan perjalanan mereka sebagai “perjalanan cinta”.
Ketika hubungan para perempuan dengan anggota geng yang bertikai itu mulai erat, anak-anak muda itu mulai terbuka. Keputusasaan karena tidak adanya lapangan pekerjaan; kemarahan terhadap tindakan-tindakan brutal polisi; kebencian terhadap kemiskinan, itulah yang kemudian terungkap ke permukaan. Tak pelak lagi, para perempuan ini menemukan akar dari permasalahan yang ada dalam kehidupan mereka. Selanjutnya, bersama-sama mereka, ibu-ibu ini memotori pembangunan sentra-sentra ekonomi kecil. Mereka membangun pabrik tortilla, toko roti, pusat penitipan anak, pelatihan pekerjaan, tempat pelatihan penyelesaian konflik, sekolah untuk belajar, kelompok lingkungan untuk mengawasi dan melaporkan polisi yang melakukan kekerasan, dan lain sebagainya.
Situasi kita memang tidak seperti di Boyle Heights pada tahun 1990an, di mana konflik antar geng sedang berkecamuk. Tidak ada yang mati dan terancam nyawanya setiap hari! Benar, namun bila kita melihat perkembangan era digital saat ini, bukankah kebencian, provokasi, konflik terus terjadi? Media-media sosial dipakai bukan lagi sebagai alat untuk menyambung tali silahturahmi yang efektif dan baik, melainkan untuk menebar kebencian. Pengelompokan terus terjadi dan mengkristal. Amatilah, akun-akun media sosial kita. Kita cenderung mengelompok dengan orang-orang yang “sejenis”: punya fanatisme yang sama! Di situ kita secara bebas memuntahkan segala macam perasaan kita – dan kalau perlu kita juga turut memaki-maki dengan kata-kata yang tidak elok.
Tidak Membalas Kebencian Dengan Kebencian
Kita larut dan menikmati kenyataan seperti ini: caci maki dibalas dengan caci maki; kebencian dibalas dengan kebencian, dan lupa bahwa mestinya kita hadir untuk membawa damai, seperti apa yang dilakukan oleh ibu-ibu paroki Dolores Mission Catholic Church. Kita menjadi serupa dengan dunia ini serta mengabaikan perkatan Yesus, “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikian kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di surga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang tidak benar.” (Matius 5:43-48).
Batasan kasih dan hak balas dendam dipelajari oleh orang Yahudi dari Kitab Imamat: “Jangan engkau menuntut balas, dan jangan menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. (Imamat 19:18). Mengasihi orang sebangsa adalah konsep yang umum, sama umumnya seperti memberi uang kepada anggota keluarga sendiri. Jika seseorang bukan orang sebangsa atau anggota keluarga, maka tidak ada kewajiban untuk mengasihi. Membenci musuh adalah sikap yang wajar. Konsep ini yang ada dalam pikiran para pendengar Khotbah Yesus di Bukit dan sangat mungkin menjadi konsep dalam pikiran kita juga! Bukankah kita juga sangat ramah terhadap “pihak” kita sendiri dan sebaliknya tidak ramah terhadap kelompok lain, apalagi orang-orang yang dianggap musuh?
Dalam konsep seperti itu, perkataan Yesus menjadi perkataan yang tidak masuk akal. Dia meminta orang-orang yang mendengar-Nya untuk mengasihi musuh. Apa artinya mengasihi seseorang? Bagi kebanyakan orang, kasih merupakan sebuah perasaan dari emosi manusia. Kata Yunani agapao (agape) mengacu bukan pada perasaan, melainkan lebih kepada sebuah tindakan. Mengasihi (agapao) berarti menginginkan kebaikan bagi orang lain. Dalam hal ini, kasih tidak identik dengan emosi, atau rasa suka. Kita menginginkan kasih kepada orang lain dan memperlihatkan keinginan tersebut dalam bentuk tindakan. Inilah poin pentingnya. Mengasihi musuh seolah menjadi tidak mungkin karena, saya tidak akan pernah dapat merasakan cinta kepada orang yang menyakiti saya. Yesus tidak meminta para murid untuk “merasakan” cinta, tetapi untuk melakukan tindakan kasih kepada semua orang, termasuk musuh sekalipun.
Mudah untuk kita mengasihi orang yang mencintai kita; bahkan pemungut cukai pun bisa. Tetapi sulit bagi kita untuk mereka yang menyakiti kita. Mudah bagi kita mendoakan orang yang kita kasihi, tetapi sulit jika mereka telah melukai hati kita. Akan tetapi, tindakan ini dapat dilakukan. Jika kita bisa, maka kita bertindak sama seperti Bapa di surga (Matius 5:44). Allah mengasihi musuh-Nya dengan memberi kebaikan bagi mereka. Ketika kita mengasihi musuh, maka kita telah bertindak sama seperti Bapa dan Yesus.
Kini, bisakah kita tidak hanya nyaman berada dalam kelompok sendiri? Lalu, dalam “kelompok kita” itu, kita bebas menyatakan apa saja perasaan kita termasuk kebencian dan permusuhan? Mestinya kita tidak hanya ramah pada kelompok sendiri, melainkan membangun jembatan, hubungan komunikasi yang baik dengan kelompok atau orang yang berbeda, bahkan orang atau kelompok yang dianggap saingan dan musuh kita. Gereja yang ramah ditandai oleh anggota-anggotanya yang tidak menyukai kebencian namun gemar menyebarkan cinta kasih-Nya bagi semua orang.
Situasi Kita Kini
Situasi kita memang tidak seperti di Boyle Heights pada tahun 1990-an. Namun, harus kita sadari pengelompokan komunitas-komunitas dalam masyarakat kian hari, kian mengkristal. Mirip “geng-geng” yang siap melibas siapa saja yang berbeda dengan kelompoknya. Dalam situasi seperti ini, apakah gereja hanya sibuk melayani dirinya sendiri? Ataukah kita menyadari bahwa badai sedang melanda Negara Kesatuan Republik Indonesia? Hal ini setidaknya ditandai dengan upaya-upaya menggugat Pancasila sebagai Dasar Negara untuk digantikan dengan azas-azas lain. Pelarangan-pelarangan ibadah dan perayaan-perayaannya seolah membenarkan sinyalemen ini. Setara Institut (Kompas, 7 Januari 2020) melaporkan “Ada 846 kejadian Pelanggaran Kebebasan Beragama di Era Jokowi”. Selama rentang waktu November 2014 hingga 2019 telah terjadi 846 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, dengan 1.060 tindakan. Ini berarti, terjadi rata-rata 14 peristiwa dengan 18 tindakan pelanggaran KKB setiap bulan sepanjang pemerintahan Presiden Jokowi, ungkap direktur Riset Setara Institut, Halili. Wilayah-wilayah mana sajakah yang paling banyak menyumbang KKB? Setara Institut menyebut, Jawa Barat menjadi provinsi dengan peristiwa pelanggaran kebebasan beragama tertinggi. Selama lima tahun terjadi 154 pelanggaran. Menyusul Provinsi DKI Jakarta dengan 114 peristiwa pelanggaran, Lalu Jawa Timur dengan 92 peristiwa dan Aceh 69 peristiwa, serta Jawa Tengah 59 peristiwa!
Badai itu begitu dekat dengan kita. Jawa Barat dan DKI Jakarta! Lalu apa kaitannya Firman yang kita pelajari dengan konteks yang sedang kita hadapi? Apakah ini bukan menjadi urusan kita? Bayangkan kalau ibu-ibu komunitas paroki Dolores Mission Catholic Church memilih diam, mengunci pintu dan hanya melakukan persekutuan di ruang tertutup, adakah perubahan terjadi di wilayah Timur Los Angeles itu? Tidak mungkin ada perubahan apalagi perbaikan! Begitu juga bila kita dan cara ibadah kita menutup rapat gedung-gedung gereja kita, lalu kita sibuk melindungi diri serta enggan mengambil risiko, selamanya firman yang dipercayakan kepada kita tidak akan bisa menenangkan badai, apalagi menaklukkannya!
Badai lain yang benar-benar badai adalah bencana. Bencana dapat menghampiri siapa pun dan di mana pun. Tentu saja dalam menghadapinya, tidak mungkin tidak bekerja sama dengan pihak-pihak lain. Di sinilah kita harus membangun hubungan yang baik dengan siapa pun untuk kepentingan kemanusiaan.
Dari Firman Menuju Realita
Sangat sederhana, seorang ibu sedang membaca Matius 14, lalu melihat bahwa badai yang sedang mengancam para murid Yesus itu identik dengan badai sosial yang sedang melanda wilayahnya. Nah, apakah teks-teks Alkitab yang kita baca menolong kita untuk menemukan relevansinya pada masa kini? Ataukah kita hanya menganggap bahwa teks-teks itu sekedar bagian dari masa lalu saja? Di sinilah kita memerlukan kajian-kajian hermeneutik yang baik dan kontekstual. Pembinaan-pembinaan yang kita lakukan tidak bisa lagi hanya bermuatan teologi yang mengawang-awang. Melainkan harus menjawab persoalan konkrit masa kini! Kesalehan yang dibangun tidak tepat lagi hanya fokus pada kesalehan pribadi dan mengabaikan kesalehan sosial.
Kajian-kajian teks Alkitab itu tidak hanya sekedar pemuasan kebutuhan kognitif kita atau bekal supaya dapat memenangkan perdebatan. Bukan itu! Melainkan, menjadi bagian yang utuh dalam kehidupan kita. Sehingga kita merasakan getaran kuasa Ilahi yang dapat mengubahkan itu. Pemahaman itu harus mengantar kita pada apa yang semestinya kita kerjakan. Bukan lagi memimpikan sorga di seberang sana. Melainkan, menghadirkan sorga kini dan di sini!
Sekali lagi, meminjam ibu-ibu di komunitas paroki Dolores Mission Catholic Church, mereka melakukan apa yang disebut peregrinación, yakni sebuah prosesi mengunjungi satu geng ke geng lainnya. Para perempuan ini datang membawa makanan, gitar, dan yang paling utama cinta kasih. Mereka melakukan apa yang sangat sederhana. Yang sehari-hari bisa dilakukan namun membawa misi yang begitu mulia. Tidakkah hal ini menginspirasi kita juga? Bagaimana dengan perkunjungan-perkunjungan kita? Adakah di sana tidak sekedar perlawatan rutinitas? Bukankah ini kesempatan buat kita untuk menyebarkan cinta kasih Allah? Menghadirkan kasih Allah yang menyapa makhluk-Nya!
Menghadapi begitu banyak tantangan atau badai, jelaslah tidak mungkin diatasi sendiri atau kelompok sendiri. Banyak pihak yang mempunyai keprihatinan sama dengan pelayanan-pelayanan yang kita lakukan. Kerja sama itu telah lama kita bangun dalam kerangka gerakan multikultur dan lintas agama, lintas iman. Kita bersyukur bahwa kerja sama itu tidak sekedar teori. Namun, telah menyentuh kebutuhan mendasar, antara lain: pengentasan kemiskinan dan penanggulangan bencana serta memperjuangkan kebebasan beragama dan beribadah. Tantangan ke depan adalah bagaimana kita juga dapat membangun komunikasi dengan pihak-pihak yang cenderung ekslusif. Karena ini merupakan tantangan, maka kita dituntut untuk semakin kreatif dan arif.
Realita Yang Disapa Firman
Mulailah dengan hal-hal sederhana. Keramahan merupakan jembatan yang berlaku di mana pun. Keramahan akan menolong untuk orang lain merasakan dicintai, dikasihi, dan bukan dipandang sebagai liyan. Keramahan bukan tujuan, namun cara kita membuka diri menjadi alat di tangan-Nya. Ingatlah ketika Tuhan Yesus menyapa kita. Ia menyamakan diri dengan kita, bahkan mengambil posisi yang lebih hina: hamba yang tersalib dengan cara paling hina!
Pertanyaannya sekarang, apakah dunia melihat kesaksian, pelayanan, dan persekutuan kita sebagai bentuk firman Allah yang menyapa dunia? Ataukah hanya sebagai kelompok agama ekslusif yang memperjuangan eksistensinya di tengah dunia ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar