“Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” (Matius 5:20). Rumusan kalimat ini diucapkan Yesus untuk menegaskan bahwa manusia menjadi benar bila melaksanakan kehendak Allah secara lebih serius dari pada yang tampak dalam hidup orang-orang Farisi dan para ahli Taurat. Tidak cukup menuruti hukum secara lahiriah saja. Manusia harus berusaha sampai kepada “jiwa” dari hukum itu dan melaksanakannya dengan motivasi yang baik dan benar.
Bagi Yesus hidup beragama bukan dicirikan dengan “pakaian” luar baik berupa ritual, ucapan maupun jubah keagamaan. Bukan itu! Identitas sejati dari kehidupan beragama adalah tercermin dari apa yang difikirkan, diucapkan, dan dilakukan. Itulah integritas dan itulah cara hidup beragama dengan akal sehat!
Yesus menyatakan identitas yang melampaui identitas formal itu dengan “garam” dan “terang”. Murid-murid atau pengikut Yesus itu “garam” dan “terang” bagi dunia. Apa maksudnya? Apakah ke mana-mana orang Kristen harus membawa garam dan lampu? Tentu saja bukan begitu! Bykan juga mendorong setiap orang Kristen berpandangan “hitam-putih”. Dunia ini seakan-akan tempat yang hambar dan penuh dengan kegelapan sedangkan anak-anak Tuhan adalah para pembawa terang. Itukah yang hendak diajarkan Yesus?
Ajaran tentang identitas kristiani ini tidak terlepas dari pokok ajaran Yesus sebelumnya tentang sabda bahagia. Dalam rangkaian itu, ada tiga hal yang harus kita cermati. Pertama, pembicaraan mengenai garam dan terang dunia itu menyangkut diri para murid Yesus sendiri. Kedua, konteksnya adalah pengalaman orang yang merasa – dan faktanya begitu – dimusuhi karena melakukan kehendak Allah (Matius 5:10), dicela dan diperlakukan buruk oleh karena nama Yesus (Matius 5:11). Ketiga, walaupun dalam kondisi demikian, mereka diharapkan tetap bersuka cita dan bergembira (Matius 5:12), dalam bahasa kita sekarang, kondisi seperti itu tidak membuat mereka kehilangan harga diri! Dalam konteks inilah ajaran tentang garam dan terang tampil sebagai pengajaran mengenai kehidupan spiritualitas para murid. Mereka diminta agar tetap sebagai garam dan terang kendati pun mereka dimusuhi. Mereka diharapkan teguh, tidak terpengaruh dan goyah dalam pelbagai kesulitan. inilah yang bakal membuat mereka ikut disebut “berbahagia”.
Dalam masyarakat modern, berbagai tawaran menarik dipasarkan. Medsos dipenuhi berbagai iklan-iklan yang menebarkan kemudahan mencari keuntungan. Intrik politik yang nyata-nyata memperlihatkan banyak kepalsuan, dan segudang pembusukan nilai-nilai kemanusiaan akibat tindakan korup dan ketamakan, begitu dekat menyapa kita. Di hadapan semua itu, orang bisa saja ikut arus dan akhirnya tenggelam. Sering kita jumpai ada banyak orang yang memilih menentang semua pandangan dunia. Itu semua diangga tidak berguna! Itukah pengajaran yang disampaikan Yesus kepada para murid-Nya? Garam dan terang tidak selalu harus berkonfrontasi dengan dunia. Peran utamanya justru membuat dunia tak gampang membusuk dan malah semarak indah dilihat dan didiami, bukan mencurigai dan memusuhinya!
Para murid itu disebut Yesus, “Kamu adalah garam dunia” (Matius 5:13). Tidak disebutkan agar mereka “menjadi” garam. Yang dimaksud ialah agar mereka tetap sebagai garam. Perkaranya, bagaimana bila dayanya hilang dan jadi hambar? Hal ini bisa saja terjadi ketika para murid kehilangan identitasnya. Garam yang hambar tidak berguna selain dibuang dan diinjak-injak orang. Murid yang tidak bisa ikut membuat dunia ini awet dan enak untuk didiami dengan sendirinya tidak banyak berguna.
Para murid juga diibaratkan dengan “terang dunia” (Matius 5:13a). Para murid tidak bisa menutup-nutupi diri, tidak bisa bersembunyi. Cara hidup mereka pasti terlihat, tidak peduli apakah orang akan datang untuk berlindung atau malah sebagai sasaran kebencian. Hidup sebagai murid bukan hanya urusan kesalehan pribadi, melainkan hidup menerangi lingkungan. Lebih tajam lagi Yesus menghendaki mereka bersinar bagi semua orang sehingga perbuatan baik mereka dilihat dan orang-orang yang melihatnya akan memuliakan Bapa di Sorga (Matius 5:16).
Dalam kehidupan masyarakat majemuk, setiap orang tidak bisa hanya tinggal dalam kelompoknya sendiri. Mau tidak mau akan ikut berperan serta dalam lingkup-lingkup yang lebih luas. Dalam pergaulan yang lebih luas itu bisakah orang Kristen tetap punya identitas? Ya, sekali ditaburkan, garam memberi rasa pada masakan. Begitu juga dengan terang. Sekali menyala akan menerangi seluruh ruangan, tidak terbatas dalam satu sudut saja. Bila ada tempat yang tidak kena terang atau tidak tergarami, itu karena ada penghalang. Di sinilah jika setiap murid Kristus berfungsi dengan efektif maka penghalang-penghalang itu akan teratasi, sebab di setiap sudut garam itu memberikan pengaruhnya dan terang itu memancarkan sinarnya.
Hidup sebagai garan bukan berarti terjun mengasinkan orang-orang lain dengan cara menonjolkan ritual ibadah, pakaian keagamaan, serta rumusan-rumusan doktrin kepercayaan sendiri. Sifat garam itu meluas, tidak menciut. Ia memberi pengaruh justru tidak kasat mata. Tidak menonjolkan diri! Namun, kehadirannya punya daya dan pengaruh. Integritas dan otentisitas imannya membuat kehadirannya diperhitungkan dan berdampak. Demikian pula hidup sebagai terang, terang itu berpendar, berpusar ke luar, tidak berputar ke dalam. Maka itu, usaha menjadikan orang-orang lain sebagai orang Kristen sebanyak-banyaknya bukanlah tafsiran garam dan terang yang bisa dipertanggungjawabkan! Lalu bagaimana kita memahaminya?
Para murid diminta melakukan perbuatan yang bakal membuat orang lain memuliakan Bapa yang ada di Sorga. Maksuknya ialah agar perbuatan dan tingkah laku para murid itu menjadi bentuk kehadiran Bapa di dunia ini. Kehadiran seperti ini tidak dapat dipaksa-paksakan kepada orang banyak. Hanya bisa dipersaksikan. Paulus memberi contoh, “Hiduplah dengan penuh hikmat terhadap orang-orang luar, pergunakanlah waktu yang ada. Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu bagaimana kamu memberi jawab kepada setiap orang.” (Kolose 4:5,6).
Bagi Paulus, kata-kata bijak itu seperti makanan yang gurih diresapi garam. Paulus menolong kita mengerti bahwa garam itu membuat orang bisa membawakan diri, karena kita sadar bahwa pergaulan terjadi bukan hanya dengan kelompok sendiri. Kolose itu pada zaman Paulus adalah kota pusat industri dan perdagangan wol. Mirip seperti daerah industri Tangerang dan Bekasi yang menyerap tenaga kerja dari pelbagai daerah. Para manajer di Kolose banyak yang sudah menjadi pengikut Kristus, mereka itulah yang disurati oleh Paulus.
Garam dan terang, itulah kita! Jelas hidup dan pergaulan kita tidak terbatas dalam kelompok sendiri. Setiap hari kita selalu terhubung dengan pihak-pihak lain. Nah, apakah identitas garam dan terang itu nyata dalam kita berinteraksi dengan yang lain? Apakah status-status di media sosial kita mencerminkan itu? Memberi pengaruh-pengaruh yang baik sehingga menolong bumi yang bersama-sama kita diami ini terhindar dari kebusukan. Ataukah justru kita lebih banyak menyebarkan kebusukan-kebusukan sehingga bumi ini semakin bau busuk dan memanas? Tuhan melengkapi kita dengan akal budi dan hati, apakah setiap apa yang kita ucapkan dipikirkan lebih dahulu: ini kebohongan, fitnah, pembusukan ataukah sebuah kebajikan yang layak dinikmati orang lain?
Sebagai terang, tentu yang Yesus maksudkan bukan supaya kita pamer. Perbuatan baik itu bukan alat membangun citra diri. kalau ini terjadi, apa bedanya dengan perilaku kaum Farisi dan para ahli Taurat yang dikritik Yesus pada saat itu. Perbuatan baik yang kita lakukan bukan bertujuan membangun citra diri, melainkan menghadirkan cinta kasih Bapa, agar Bapa di Sorga terlihat hadir kini dan di sini. Ketika orang lain melihatnya, inilah terang itu. Kemudian orang akan melihat dan mengenal kita sebagai murid-murid Kristus yang rajin berbuat baik seperti apa yang dilakukan oleh Sang Guru. Itu bukan pencitraan tapi reputasi.
Citra diri berbeda dengan reputasi. Kita semua akan menjadi lelah dan mungkin juga frustasi kalau yang dikejar adalah bagaimana orang-orang di sekitar kita memandang kita sebagai orang baik. Namun, reputasi akan melekat dalam diri kita mana kala tujuan kita bukan pencitraan, melainkan dengan sukacita melakukan apa yang Tuhan inginkan. Itulah beragama dengan akal sehat!
Jakarta, 7 Februari 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar