Bagaimana rasanya memiliki teman Doraemon atau Jin dari lampu milik Aladin? Kita bisa minta macam-macam tinggal mengatakannya saja. Betapa bahagianya hidup ini! Ya, Doraemon dan Jin lampu Aladin tampaknya mewakili mimpi-mimpi indah sebagian besar orang. Bahagia diukur dari terpenuhinya segala hasrat yang diingini. Betulkah?
Ketika usianya masih belia dan pikirannya tertuju pada karier akademis, John Wesley mengajar di Oxford University. Suatu malam Wesley terlibat dalam percakapan kecil dengan seorang penjaga pintu perguruan tinggi itu. Penjaga pintu itu selalu memakai pakaian lusuh, cukup mewakili identitas bahwa ia seorang sederhana. Miskin! Namun, ketika orang berinteraksi dengannya akan menarik kesimpulan bahwa Si Penjaga pintu itu adalah seorang yang saleh.
Malam itu cuaca dingin menusuk tulang. Pakaian tipis dan usang yang membalut tubuh Si Penjaga pintu itu membuat Wesley tergugah dan mendesaknya untuk pulang supaya ia dapat memakai mantel.
“Saya berterima kasih kepada Tuhan atas satu-satunya mantel yang saya miliki,” jawab Penjaga pintu itu sambil menunjukkan pakaian usang yang ia kenakan. “Dan saya berterima kasih untuk air, satu-satunya minuman saya sepanjang hari ini.”
Penasaran dengan tanggapan ini, Wesley bertanya, “Apa lagi yang engkau syukuri?”
“Saya akan bersyukur kepada-Nya karena saya memiliki batu kering untuk membaringkan tubuh saya di atasnya.”
“Tolong lanjutkan!”, seru Wesley sambil menunjukkan wajah yang semakin keheranan.
“Saya berterima kasih kepada-Nya karena Dia telah memberi kehidupan dan mengizinkan saya beraktivitas seperti ini. Saya bersyukur oleh karena setiap hari hati saya terus tergugah untuk mengasihi Dia dan melayani-Nya.” Jawab Sang Penjaga Pintu itu.
Kembali ke kamarnya malam itu, Wesley menyadari bahwa ia begitu asing dengan perasaan syukur dan terima kasih yang keluar dari mulut Sang Penjaga Pintu. Kesiapan dan ketulusan Penjaga Pintu untuk mengucap syukur atas segala berkat-Nya, bahkan di tengah-tengah kondisinya yang teramat miskin. Ia mengungkapkan kesejatian dan kedalaman hubungan yang begitu dekat dengan Tuhannya. Saat itu, Wesley sadar ia tidak memiliki kebahagiaan seperti Si Penjaga Pintu itu, meski status sosial dan uang yang ia miliki jauh di atas Si Penjaga Pintu itu!
Benar, segala-galanya memerlukan uang. Namun, ukuran kebahagiaan bukan terletak pada seberapa banyak seseorang memiliki uang, kekayaan dan status sosial. Kebahagiaan bukan di tentukan oleh apa yang terlihat di luar. Melainkan, apa yang ada di kedalaman hati manusia.
Dalam khotbah-Nya di bukit, Yesus mengajarkan tentang kebahagiaan. Yesus tidak sedang membuai atau menina-bobokan para pendengar-Nya untuk melupakan realita kemiskinan, penderitaan dan aniaya yang sedang mereka alami dengan mimpi-mimpi surga. Tidak! Kebahagiaan yang diajarkan Yesus memang melambungkan harapan pendengar-Nya jauh ke depan. Namun, tidak meninggalkan realitas konteks yang sedang mereka hadapi sehari-hari.
Dalam Injil Matius 5:1-12a kita mendapati ada delapan ucapan bahagia yang ditujukan kepada semua orang (Matius 5:3-10), satu ucapan bahagia yang khusus ditujukan bagi para murid (Matius 5:11), lalu dilanjutkan dengan seruan agar mereka tetap bersuka cita (Matius 5:12a).
Tiga ucapan Bahagia (Matius 5:3-5) menegaskan bahwa orang dapat disebut berbahagia karena tumpuan harapan dalam hidupnya ialah Tuhan sendiri. “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah…” Kata “miskin” di sini ialah kebersahajaan batin, oleh karenanya diberi penjelasan, “…di hadapan Allah”. Kalimat penjelasan seperti ini tidak terdapat dalam Injil Lukas 6:20. Mengapa? Injil Lukas mau menekankan bahwa miskin yang dimaksudnya adalah orang yang benar-benar kekurangan secara material, mereka yang tidak bisa mencukupkan kebutuhan hidupnya.
“Makarios…!” Kata ini mengandung pengertian “benar-benar dalam keadaan baik” atau “mereka yang kepadanya diberikan segala sesuatu yang baik”, “mereka yang terberkati!”. Kata ini berbeda dengan happy (senang). Terberkati erat kaitannya dengan kehidupan spiritualitas dan relasi yang baik dengan Allah. Sedangkan “senang” mengacu pada kondisi emosional seseorang. Tidak mudah membedakan antara kehidupan yang terberkati dengan kehidupan yang menyenangkan. Lalu perbedaannya di mana? Orang yang terberkati, yang kepadanya diberikan segala sesuatu yang baik oleh Tuhan pasti akan mengalami kondisi berbahagia, walaupun ia tidak kaya secara materi atau ia hanya seorang miskin, rakyat jelata seperti Si Penjaga Pintu Oxford itu. Sebaliknya, ada banyak orang mengalami kesenangan dalam hidupnya, berlimpah hartanya dan kedudukannya sosialnya tinggi. Belum, tentu kesenangannya itu membuatnya benar-benar bahagia.
Pada pihak lain, banyak juga orang miskin tidak mengalami kebahagiaan. Alih-alih bersyukur, malah melakukan banyak tindakan kriminal. Sebaliknya, ada banyak juga orang kaya yang mengalami kebahagiaan dalam hidup mereka. Relasi mereka dengan Tuhan dan sesama sangat baik. Jadi, kunci kebahagiaan itu bukan terletak pada harta kekayaan atau status sosial, melainkan bagaimana seseorang itu hidup di hadapan Allah dan mempunyai relasi yang baik dengan-Nya. Hidup yang demikian dinamakan hidup dalam Kerajaan Allah. C.S. Lewis pernah menulis, “Allah tidak dapat memberikan kita kebahagiaan dan kedamaian jika kita terpisah dari diri-Nya, karena di luar Dia tidak ada kebahagiaan dan kedamaian. Semuanya itu tidak ada! Allah tidak sedang pelit dan menahan suka cita jika kita terpisah dari diri-Nya; sesungguhnya tidak ada kebahagiaan di laur Allah. Ketika kita mohon, ‘Ya Allah, berikanlah kebahagiaan dan kedamaian, tetapi izinkanlah juga aku hidup sesuai dengan yang aku inginkan’, Lalu Allah menjawab, ‘ Aku tidak dapat memberikan kedua hal itu. Kamu sedang meminta sesuatu yang tidak ada.’”
Sabda Bahagia dalam Injil menggambarkan apa yang nyata-nyata dialami dan terjadi di antara para pengikut Yesus, bukan mengajarkan hal-hal yang mesti dilakukan. dengan perkataan lain, Sabda Bahagia itu bersifat deskriptif, bukan preskriptif. Sabda bahagia bukanlah mantera untuk mengadakan segala sesuatu seperti berkat. Ia juga bukan rangkaian resep bahagia. Bukan!
Sabda bahagia menunjukkan apa yang terjadi bila orang berada dalam keadaan yang digambarkan di sana. Sabda Bahagia mau menyapa dan meneguhkan bahwa barang siapa tetap hidup dalam kerajaan Allah, kemiskinan, penderitaan, duka cita, teraniaya akan tetap mengalami kebahagiaan karena ia ada dalam relasi yang benar dengan Allah; berada dalam Kerajaan-Nya. Oleh karena ia ada dalam relasi yang benar dengan Allah, maka melakukan dan menjadi saksi Kerajaan Allah bukanlah syarat orang untuk menjadi bahagia, namun merupakan keniscayaan; buah dari hidup dalam Kerajaan Allah!
Jakarta, 31 Januari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar