Richard H. Thaler ekonom Amerika Serikat peraih Nobel dalam bidang ekonomi 2017 suatu waktu mengadakan penelitian di dalam kelasnya di Universitas Cornell. Mahasiswa di dalam kelasnya itu dibagi dua kelompok. Kepada kelompok pertama, Thaler membagikan cangkir-cangkir kopi. Satu cangkir untuk seorang mahasiswa. Cangkir-cangkir itu boleh mereka bawa pulang atau menjualnya dengan harga yang mereka tentukan sendiri. Dengan demikian Thaler membuat pasar untuk cangkir kopidi kelasnya. Ia berasumsi sekitar lima puluh persen dari mahasiswanya itu akan bersedia melakukan transaksi jual-beli cangkir. Namun, hasilnya di luar dugaan. Mengapa? Karena sebagian besar mahasiswa yang telah memiliki cangkir kopi dari sang dosen itu enggan menjualnya di bawah 5,25 dolar. Sedangkan mahasiswa yang tidak memiliki cangkir kopi tidak bersedia membayar di atas 2,25 dolar untuk satu cangkir.
Itulah yang oleh Rolf Dobelli disebut endowment effectatau “efek kemelekatan” atau “efek keengganan melepaskan”. Sesuatu yang kita rasa sudah menjadi milik kita, nilainya akan bertambah bukan saja secara emosional, tetapi juga harganya. Dengan demikian kita bisa mengerti mengapa ada banyak barang di rumah yang terus menerus kita koleksi. Dapat dikatakan bahwa kita lebih baik dalam mengumpulkan sesuatu ketimbang membagikannya.
Hebatnya,endownment effectbukan hanya terjadi pada barang yang kita miliki, melainkan rasa memiliki. Rumah lelang seperti milik Christie’s dan Sotheby’s berkembang karena pengaruh itu. Seseorang yang menawar sampai akhir pelelangan mendapatkan sensasi bahwa barang yang dilelang itu praktis sudah menjadi miliknya, sehingga meningkatkan nilainya. Calon pemilik tiba-tiba bersedia untuk membayar lebih banyak daripada yang direncanakan, dan mundur dari pelelangan dipandang sebagai kekalahan. Untuk menghindari efek kemelekatan itu, Dobelli menyimpulkan: Jangan berpegang kepada sesuatu. Anggap barang milik Anda itu sesuatu yang “alam semesta” atau Tuhan berikan untuk sementara kepada Anda. Ingatlah bahwa dalam sekejap Tuhan dapat mengambilnya kembali!
Endowment effectdapat menghalangi kita untuk melihat dan terlibat dalam Kerajaan Allah. Kemelekatan kita terhadap kepemilikan juga berdampak buruk bagi psikologis kita. Kita berpikir bahwa hanya dengan mempunyai dan menimbun harta kekayaan seseorang dihormati dan kelangsungan hidupnya terjamin. Sebaliknya, ketika tiada harta benda maka di situlah kita dilanda ketakutan. Ya, takut tidak dihormati, takut dilecehkan, dan takut kelangsungan hidup tidak terjamin. Dampak lebih lanjut dari ketakutan ini, seseorang akan melakukan apa saja untuk memperkaya diri. Termasuk dengan cara-cara tercela. Ia tidak lagi menganggap sesamanya manusia sebagai wujud dan gambar Allah yang harus disayangi.
Harta benda atau barang tertentu pada dasarnya tidak mempunyai kekuatan magis apa pun, apalagi memberi kekuasaan pada si pemiliknya. Sebaliknya, cara kita memandang “benda” akan sangat berpengaruh terhadap perilaku dan tindakan kita terhadap harta benda. Ketika hati kita sudah terpincut maka apa pun akan dilakukan untuk memperoleh dan mempertahankan “benda” itu! Hati kita sangat mungkin melekat pada harta benda. Di sinilah kita perlu mewaspadai. Yesus pernah mengingatkan “Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.”(Lukas 12:34)
Seolah-olah Yesus berkata kepada para murid-Nya, “Janganlah melekatkan hatimu kepada dunia ini, dan kepada segala sesuatu yang kamu miliki di dalamnya. Mengapa? Sebab, dengan demikian akan menutup hati kita terhadap hal yang lebih mulia, yakni: Kerajaan Allah. Kerajaan Allah lebih mulia oleh karena di dalamnya orang dapat menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Untuk masuk ke dalamnya orang harus melepaskan semua ikatan yang melekat pada dirinya.
“Juallah segala milikmu, dan berikanlah sedekah.”Maksudnya, jika hati kita melekat pada dunia dan apa yang kita miliki, maka akan sangat sulit untuk berbagi sedekah. Sebab cara berpikir dunia adalah: Ketika saya memberikan apa yang saya punya, maka pastilah milik saya akan berkurang. Lalu, bagaimana hidup saya selanjutnya? Apa jaminan saya hidup bahagia kalau harta terus berkurang atau bahkan habis?
Yesus mau para murid-Nya berpikir dalam kerangka Kerajaan Allah. Dalam konsep Kerajaan Allah, pastilah Allah sebagai Raja akan senantiasa memelihara, “Perhatikan burung-burung gagak yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mempunyai Gudang atau lumbung, namun demikian diberi makan oleh Allah. Betapa jauhnya kamu melebihi burung-burung itu!”(Lukas 12:24). Untuk masuk dan merasakan Kerajaan Allah, jelas membutuhkan iman. Iman yang benar-benar meyakini bahwa Allah menjamin kebutuhan setiap hamba-Nya. Iman yang demikian akan menolong kita mengenyahkan ketakutan menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi di hari esok.
“Kalau engkau ingin menolong mereka yang benar-benar membutuhkan, juallah harta milikmu, dan berikanlah itu kepada orang miskin. Juallah segala milikmu, jika hal itu hanya menghalangi engkau untuk melihat Kerajaan Allah dinyatakan!” Kalau kita memberi sedekah, dengan cara yang benar, maka apa yang diberikan sebagai sedekah itu telah dikeluarkan untuk suatu hal yang paling luhur, dan itu sungguh aman tersimpan, kita tidak perlu menguatirkannya. Arahkanlah hatimu kepada “dunia yang akan datang”, dan tetapkan harapan-harapanmu berdasarkan dunia itu. Buatlah pundi-pundi yang tidak dapat menjadi tua, dan yang tidak bisa menjadi kosong, yang isinya bukan dari emas, melainkan dari anugerah di dalam hati dan perbuatan-perbuatan baik dalam hidup. Inilah pundi-pundi yang akan bertahan lama. Inilah harta yang tidak akan habis. Sampai kapan pun kita memakainya, harta seperti ini sama sekali tidak akan berkurang. Tidak ada bahaya bahwa kita akan melihat bagian dasar pundi-pundi itu. Inilah harta yang tidak ada dalam bahaya akan dirampok, sebab tidak ada pencuri yang dapat mendekatinya. Apa yang tersimpan dalam Kerajaan Allah tidak mungkin dijamah oleh musuh. Inilah harta yang tidak akan pernah rusak untuk disimpan, apalagi berkurang karena digunakan. Ngengat tidak akan merusakkannya, seperti pakaian yang kita pakai sekarang.
Nah, dengan demikian tampaklah jelas bahwa Yesus menginginkan kita menyimpan “harta” di sorga jika hati kita di sana sementara kita berpijak di sini. Bagaimana mendapatkannya? Lukas 12:35 dan selanjutnya, Yesus menjelaskan hendaknya setiap orang berperilaku seperti hamba yang berjaga-jaga menantikan sang tuan pulan. Berjaga-jaga yang dimaksud justru melakukan segala macam pekerjaan yang ditugaskan kepadanya. Bekerja bukan hanya ketika sang tuan ada, melainkan dalam sepenuh waktu ada atau tidak ada tuannya, hamba yang baik akan melakukan tugasnya.
Mungkin saja sampai hari ini, kita sulit untuk melepaskan kemelekatan kita pada apa yang kita anggap sebagai milik kita. Kita masih kuatir dan takut bagaimana hidup ke depannya tanpa jaminan harta benda. Tentu saja, menabung dan menyiapkan hari esok agar lebih baik adalah suatu tindakan yang bijak. Yesus saya kira tidak sedang melarang setiap pengikutnya mencari nafkah, menabung dan menyiapkan hari esok. Namun, yang diingatkan Yesus adalah perkara hati kita. Hati yang bisa terpikat oleh hal-hal duniawi. Hati yang seharusnya hanya melekat kepada Allah saja agar dapat melakukan kehendak-Nya. Hati yang bisa terus memandang kebaikan Allah, melekat dan beriman kepada-Nya. Hati yang demikianlah yang dapat menyirnakan segala macam kekuatiran.
Karang Sembung, 9 Agustus 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar