Douglas MacArthur adalah panglima tertinggi Perang Dunia II. Ia lahir di Arkansas, Amerika Serikat. Bersama pasukannya, ia berhasil menaklukkan tentara Jepang. Ia dibesarkan oleh seorang ibu yang taat mengurus keluarga. MacArthur sejak kecil berambisi menjadi tentara. Ia bukan hanya berhasil mewujudkan keinginannya, bahkan dapat memenuhi impian ibundanya: menjadi tentara nomor satu Amerika.
Mary Hardy penuh keinginan kuat agar anak-anaknya dapat berhasil. Ia sendiri yang mengajari anak-anak membaca, menulis, dan matematika, serta berusaha menumbuhkan rasa tanggungjawab dan ambisi kepada mereka. “Lakukan pekerjaan dengan jujur, jangan berbohong, serta jangan banyak bicara dan jangan menyakiti orang lain demi menjaga martabat. Dan selalu utamakan tanah air!”
Mary Hardy mengganti lagu “Nina Bobo” dengan kisah-kisah heroik dan kehebatan sang kakek pada masa Perang Sipil. Ia menceritakan bahwa sebenarnya pada masa perang itu, ayah MacArthur dan Jenderal Lee, dengan Kakek, berdiri berseberangan, bertempur satu sama lain, tetapi itu tidak menjadi masalah bagi sang Ibu. Ia menekankan bahwa kedua kubu adalah benar, dan tidak perlu adanya perdebatan tentang itu, kedua belah pihak menjalankan tugas dengan baik, bertempur dengan keras. Dalam menceritakan kisah-kisah itu, tak lupa ibunda MacArthur menyisipkan doa dan harapannya, yaitu agar kelak anak-anaknya menjadi orang hebat. “Dewasa kelak, kau pasti menjadi orang besar!” Itulah kata-kata dari Sang Ibu yang selalu diingat MacArthur.
Ternyata cerita heroik, nilai-nilai kesatria, dan harapan melalui doa-doa Mary tidaklah sia-sia. MacArthur kecil bermimpi bahwa kelak ia akan menjadi orang hebat, dan mempunyai tanggungjawab besar di negara mana pun. Setiap patah kata dari Ibu menjadi hal penting yang menentukan hidup puteranya. Demi memenuhi harapan ibunya, MacArthur menempuh jalan militer. Pada tahun 1899, MacArthur masuk Akademi Militer West Point. Sesuai harapan ibunya, MacArthur menjadi tentara paling berbakat. Ia memperoleh 22 medali yang setengah di antaranya didapat karena telah menjadi pahlawan dari pertempuran dalam semua perang penting abad ke-20. Pada 1930, ia diangkat menjadi jenderal utama.
Kata-kata Mary Hardy tidak sekedar ucapan biasa, bukan pula nyanyian pengantar tidur atau informasi masa lalu yang diceritakan ulang. Tidak! Kata-kata itu bukan sekedar informasi, melainkan telah mentransformasi kehidupan MacArthur kecil hingga menjadi Jenderal Utama Amerika Serikat sepanjang masa!
“The Bible was not given for our information, but for our transformation.” Itulah kata penginjil asal Amerika Serikat, Dwight L. Moody (1837-1899). Alkitab atau Injil mestinya tidak hanya sekedar dipelajari, atau menjadi perbendaharaan nalar, sehingga mampu menjawab setiap perdebatan atau bahkan untuk menguji iman dan wawasan seseorang. Tidak! Melainkan, harus dapat mengubah setiap pembacanya ke arah yang lebih baik. Mestinya, setiap pembaca Injil - seperti MacArthur yang mendengarkan setiap patah kata dari sang ibu – menjadikan kata-kata atau firman itu mengubah kehidupannya. Sebab, tidak ada gunanya seseorang memperoleh begitu banyak informasi dari pembacaan dan penelaahan Alkitab kalau hal itu sama sekali tidak membangun kehidupannya menjadi lebih baik. Tidak ada gunanya dan hanya membuang waktu saja menjadi seorang Kristen apabila tidak ada yang berubah dalam dirinya. Dulu pendendam, pembenci, penyebar kabar bohong, tinggi hati, sombong, suka menyakiti orang lain, pelit, dan seterusnya. Sekarang, setelah bertahun-tahun tetap saja sama. Ini jelas tidak ada gunanya!
Sama seperti umat Allah di masa lalu. Mereka bangga sebagai umat pilihan. Taurat dan Hukum turunannya menjadi syareat rijid yang kaku. Hanya menjadi kebanggaan namun tidak mengubah karakter umat yang mempunyai kualifikasi iman mumpuni. Ironis, mereka enggan menegakkan keadilan, memelihara kebenaran. Sebaliknya, gemar menindas yang lemah, jauh dari kebenaran dan tidak jarang mengikuti ritual penyembahan berhala yang dilakukan bangsa asing di sekitar mereka. Yeremia adalah nabi yang berkali-kali menyampaikan peringatan dan berkali-kali pula ia harus menghadapi bahaya dan ancaman dari umat yang tidak mau mendengar suara TUHAN.
Bacaan Pertama hari ini, Yeremia 23:23-29 menegaskan tentang potret keadilan yang timpang akibat mendengarkan nabi-nabi palsu dari legitimasi mimpi-mimpi mereka. Janji-janji tentang selamat yang diucapkan nabi-nabi palsu ini tidak dapat dibandingkan dengan janji-janji dari Allah: seperti jerami tidak dapat dibandingkan dengan gandum. “Bukankah firman-Ku seperti api? Demikian firman TUHAN”(Yeremia 23:29). Apakah perkataan nabi-nabi palsu itu juga demikian? Apakah perkataan mereka berkuasa dan berhasil seperti firman Allah? Tidak! Perkataan mereka seperti ignis fatuus –“cahaya bintang yang menipu” yang menuntun orang ke jalan-jalan pinggiran dan tebing-tebing berbahaya.
Perhatikan ungkapan “firman-Ku seperti api”, dalam Perjanjian Lama hal ini tidak asing, kita bisa menemukan ungkapan sejenis, “Hukum Taurat adalah api yang menyala (Ulangan 33:2). Api merupakan lambang ketegasan, pemisah antara yang orisinal dan imitasi. Hal senada diungkapkan oleh Yesus, “Aku datang untuk melemparkan api ke bumi”(Lukas 12: 49). Api memberikan dampak-dampak yang berbeda, sesuai dengan apa yang dibakarnya. Api mengeraskan tanah liat, tetapi melelehkan lilin. Api menghabiskan sanga, tetapi memurnikan emas. Demikian pula firman Allah bagi sebagian orang menjadi bau kehidupan yang menghidupkan, bagi sebagian lagi menjadi bau kematian yang mematikan. Bagi sebagian orang firman itu dapat mentranformasi kehidupannya menjadi lebih baik, lebih mulia, dan membawa damai sejahtera. Namun, ada banyak orang yang hanya berhenti dalam kebanggaan bahwa ia telah mengetahuinya. Imannya tidak tumbuh, melainkan menjadi pribadi-pribadi munafik, yang tahu firman tetapi tidak bersedia melakukannya.
Firman Allah juga diumpamakan seperti palu yang menghancurkan bukit batu. Hati manusia yang bergeming ibarat gunung batu. Jika hati manusia tidak bisa meleleh oleh firman Allah sebagai api, ia akan diremukkan olehnya sebagai palu. Perlawanan apa pun terhadap firman akan diremukkan dan dihancurkan.
Tidak kurang dari tiga kali Allah mengingatkan umat yang membangkang terhadap firman-Nya. Mereka mengaku ada di pihak Allah, dan memakai nama-Nya, tetapi sebenarnya – dalam tingkah laku membuktikan – mereka menentang Allah. Bukankah umat zaman nowjuga sering seperti itu. Mengetahui banyak tentang seluk beluk firman, sering berkata-kata dengan mengutif firman bahkan tidak segan-sega menggunakan nama-Nya. Namun, kenyataan yang sebenarnya menunjukkan bahwa diri mereka jauh dari melakukan kehendak Allah. Hal ini bisa saja terjadi dengan diri kita : Rajin beribadah, melayani, dan fasih dalam menggunakan firman-Nya tetapi karakter manusia lama tetap bercokol dalam diri kita. Kita masih suka membanggakan dan menyombongkan diri, menceritakan kebusukan orang lain, menghakimi dan menghujat bahkan tamak dan mementingkan diri sendiri.
Ingatlah TUHAN yang akan menghakimi kita. Ia tahu apa yang sesungguhnya terjadi dalam diri kita. Apakah firman itu telah menjadi bulir-bulir gandum yang terus berkembang? Ataukah kita sebenarnya hanya jerami-jerami yang tidak berguna? Suatu saat “api Tuhan” itulah yang akan menguji siapa diri kita sebenarnya.
Jakarta, 15 Agustus 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar