Berkat sering dipahami sebagai sesuatu yang dipunyai seseorang, umpamanya harta benda dan kekayaan. Kalau kekayaan seseorang bertambah, kita sering mengatakan bahwa orang tersebut diberkati! Jika berkat itu dipahami dengan “mempunyai”, maka tidaklah mengherankan apabila banyak orang terus mencari dan mengumpulkan kekayaan untuk dirinya. Pemahaman ini menjadi sulit ketika berbagi dikategorikan sebagai berkat. Mengapa? Jelas, berbagi itu berarti mengeluarkan apa yang ada pada kita. Artinya, ada sesuatu yang kurang dari kepunyaan kita. Bagaimana mungkin keadaan berkurang itu disebut berkat?
Benarkah orang yang mempunyai dan terus mengumpulkan bagi dirinya harta kekayaan disebut berkat? Benarkah orang-orang yang memiliki mobil mewah, rumah mewah, barang-barang mewah, dan deposito uang dalam jumlah besar hidupnya diberkati, tentu saja dengan kriteria bahwa mereka dalam kehidupan berbahagia? Sebaliknya, apakah orang yang terus memberi sehingga hidupnya tidak tampak kaya dan mewah itu kurang diberkati?
Psikolog Norbert Schwarz, Daniel Kahneman, dan Jing Xu meneliti orang-orang yang mampu membeli barang-barang mewah, apakah otomatis memberikan kebahagiaan dalam kehidupan mereka? Mereka mengajukan pertanyaan seberapa puas ketika seseorang dapat membeli mobil mewah, rumah, flat, laptop, atau barang-barang mewah lainnya. Mereka membuat skala kebahagiaan 0 – 10. Angka “0” berarti tidak bahagia, sedangkan angka “10” menunjukkan keadaan amat sangat bahagia. Hasilnya? Semakin mewah mobilnya, semakin besar kepuasan yang didapat oleh si pemiliknya. Mobil BMW Seri 7 memberi kepuasan sekitar 50% lebih besar daripada Ford Escort. Polanya terlihat jelas, ketika seseorang menghabiskan banyak uang untuk kendaraan, mereka akan mendapatkan imbalan bagus dari investasi mereka dalam bentuk perasaan senang.
Sekarang para peneliti itu mengajukan pertanyaan yang sedikit berbeda dan membandingkannya dengan nilai mobil mereka: Seberapa bahagianya Anda dalam perjalanan terakhir dengan mobil Anda? Bagaimana hasilnya? Tidak ada hubungannya! Betapa pun mewah atau buruknya kendaraan, tingkat kebahagiaan pemiliknya sama-sama rendah.
Survei pertama mengungkapkan hubungan antara nilaifinansial mobil dan perasaan puas yang diberikan kepada pemiliknya – semakin mewah, semakin besar kepuasannya. Akan tetapi survei kedua tidak menunjukkan hubungan semacam itu – kendaraan mewah tidak membuat pengendaranya lebih bahagia. Koq bisa, bagaimana ini terjadi? Mudah: Pertanyaan pertama membuat Anda berpikir tentang mobil, sementara pertanyaan kedua membuat Anda memikirkan hal yang sama sekali berbeda – panggilan telpon di sepanjang perjalanan, situasi di kantor, kemacetan, pengendara tolol di depan Anda, dan lain-lain. Sederhananya, mobil membahagiakan Anda ketika Anda “memikirkannya”, bukan ketika Anda “mengendarainya”. Itu adalah dampak dari “ilusi fokus”. Tentu saja hal ini tidak hanya untuk mobil, namun untuk segala hal yang kita beli atau berusaha kita miliki!
Ilusi fokus adalah istilah yang dipakai oleh Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of The Good Life.Kita sering terjebak dalam perangkap ilusi fokus. Mengira bahwa kebahagiaan itu didapat dari memiliki barang-barang mewah. Namun, ternyata kalau kita mau jujur, apa yang kita inginkan, apa yang kita beli dan apa yang kita kumpulkan hanya memberi kebahagiaan sebentar saja. Sesudah itu, kebanyakan kita hidup dalam pola yang lama. Akhirnya, banyak barang yang kita beli menumpuk di gudang.
Kisah perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh (Lukas 12:13-21) menarik untuk kita simak. Barang kali si kaya yang dikisahkan dalam cerita ini menggambarkan orang yang terpapar dengan ilusi fokus. Tanahnya luas dan hasil panennya melimpah. Lalu, apa yang harus dilakukan sebab gudangnya tidak mampu lagi untuk menyimpan hasil panen itu? Kurang lebih itulah pertanyaan dalam hatinya. Sulit membayangkan, ia begitu berkelimpahan sementara bisa jadi orang-orang sekampungnya mengalami kekurangan.
“Inilah yang akan aku perbuat; aku akan merombak lumbung-lumbungku dan aku akan mendirikan yang lebih besar dan aku akan menyimpan di dalamnya segala gandum dan barang-barangku. Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!”(Lukas 13:18,19). Begitulah si orang kaya ini terjebak dalam ilusinya, bahwa kebahagiaan itu bersumber dari banyaknya hasil panen yang ditimbun dalam gudangnya.
Bukankah apa yang dilakukan oleh si kaya dalam perumpamaan Yesus merupakan cerminan gambaran kebanyakan orang? Bisa jadi Anda dan saya termasuk di dalamnya! Mengapa? Sebab, sering kali kita juga menaruh investasi kebahagiaan pada barang-barang yang kita miliki! Padahal, meminjam pendapat Rofl Dobelli, ada hal yang lebih bisa membahagiakan kita, yakni pengalaman! Kita dapat merasakan kebahagiaan apabila dengan harta kekayaan itu kita dapat mengalami fungsinya yang positif. Nah, apa fungsi positif dari harta kekayaan? Tentu saja harta kekayaan itu adalah alat! Alat untuk menolong dan bukan tujuan dari kebahagiaan! Kita akan jauh merasa dan mengalami kebahagiaan ketika harta kekayaan yang ada pada kita mampu menjadi alat untuk menolong sesama. Pengalaman berbagi itu akan jauh memberi kebahagiaan ketimbang menimbunnya. Bukankah dengan menimbun, kita juga harus repot. Membayar orang untuk menjaga kalau-kalau nanti ada pencuri yang membongkarnya. Belum lagi perasaan kuatir yang menghinggapi diri kita. Semakin besar kita menimbun harta kekayaan maka berbanding lurus dengan kekuatiran kita.
Yesus mengingatkan para murid dan pendengar-Nya untuk tidak gagal fokus. “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala macam ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidak bergantung pada kekayaannya itu.” (Lukas. 13:15). Jadi, fokus hidup kita bukanlah pada kekayaan – itu hanya ilusi – sehingga mengumpulkan sebanyak-banyaknya. Melainkan, berbagi cinta kasih Allah, termasuk harta kekayaan yang kita miliki. Ingatlah, fokus pada apa yang kita timbun di dunia ini adalah kesia-siaan. Inilah juga yang sering diingatkan oleh penulis Kitab Pengkhotbah bahwa kehidupan ini adalah kesia-siaan jika tidak dipergunakan dengan semestinya.
Berbagi adalah berkat ketika kita memahami bahwa harta kekayaan itu bukan sumber dan tujuan kebahagiaan. Apa yang kita punya sejatinya bukan milik kita. Namun, milik Tuhan yang dititipkan sementara kepada kita. Ketika milik Tuhan itu kita pergunakan untuk berbagi, di situlah kita punya pengalaman berharga. Pengalamanitu menolong kita untuk menjadi orang-orang yang berbahagia. Kebahagiaan itu bukan hanya milik orang yang kepada mereka kita berbagi. Namun, utamanya kita sendiri yang mengalami kebahagiaan itu. Nah, di sinilah kita merasakan bahwa berbagi itu adalah berkat! Dengan kata lain, bukan orang lain yang menerima bantuan kita yang pertama-tama mendapatkan berkat itu, melainkan diri kita sendiri. Ingat, kesenangan dan kebahagiaan yang langgeng itu bukan semata kita dapat membeli dan mengumpulkan benda-benda yang kita inginkan!
Cobalah saat ini kita mulai dengan memilah apa yang kita perlukan dan apa yang kita inginkan. Jangan terlalu banyak memanjakan keinginan kita. Sisihkan apa yang kita punya selain untuk tabungan juga untuk mereka yang membutuhkan. Rasakan sebuah kebahagiaan akan mengalir ketika Anda berbagi kepada mereka yang membutuhkan pertolongan Anda. Itulah berkat dalam berbagi!
Batu, 31 Juli 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar