Delapan belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Ia seusia anak remaja! Penantian pulih dari sakit selama kurun waktu delapan belas tahun tentu saja harus dengan perjuangan keras. Bayangkanlah Anda mengalami 18 tahun didera sakit yang berdampak fisik Anda sulit bergerak. Sangat mungkin Anda akan mengalami kecewa, apatis atau frustasi! Dalam kisah Injil hari ini, ada seorang perempuan sudah delapan belas tahun sakit sehingga punggungnya bungkuk oleh karena itu ia tidak lagi dapat berdiri tegak. Injil Lukas tidak menyebutkan apa nama penyakit yang diderita oleh perempuan itu. Namun, di sana menyebutkan penyebab dari sakitnya itu, yakni: “dirasuk roh”. Sebuah ungkapan lazim pada zaman Yesus bahwa sakit penyakit disebabkan oleh kuasa jahat yang merasuki tubuh seseorang. Ungkapan ini tidak hendak menyederhanakan bahwa semua sakit penyakit yang melemahkan tubuh manusia itu berasal dari roh jahat yang merasuki manusia. Namun, pada zaman itu – dengan pengetahuan medis terbatas – hendak menekankan bahwa pemulihan itu berkait erat dengan sebab musababnya penyakit seseorang. Ketika penyebabnya diketahui dan diatasi maka orang yang sakit itu dipulihkan. Injil juga hendak menegaskan bahwa kedatangan Yesus adalah untuk mengenyahkan kuasa-kuasa jahat yang mendera manusia. Sisi yang lain dapat kita lihat bahwa sakit dan penderitaan yang dialami manusia dapat dipakai Yesus sebagai metode untuk pengajaran.
Perempuan itu delapan belas tahun “dirasuk roh”, dalam bahasa Yunani memakai kata pneuma asthenia, “spirit of infirmity”, yang mengandung pengertian sebuah kuasa yang melemahkan dan mendatangkan penyakit sehingga menyebabkan penderita tidak bisa berdaya guna secara optimal. Roh atau kuasa jahat ini telah melemahkan perempuan itu selama delapan belas tahun yang membuatnya sama sekali tidak dapat berdiri dengan tegak. Tentu saja ia masih bisa beraktifitas, namun dalam keadaannya yang seperti itu, perempuan ini tidak bisa berkarya dengan leluasa. Benar, ada banyak juga orang dengan kondisi tubuh lebih baik, bisa berdiri tegak, berlari dan berpotensi besar. Namun, tidak dapat atau tidak mau berkarya dengan optimal.
Dalam kisah Injil Lukas 13:10-17 tidak tampak keinginan, apalagi iman dari sang perempuan ini untuk dipulihkan. Kita hanya bisa menduganya. Mungkin saja ia rindu sehat seperti kebanyakan orang, agar bisa beraktifitas dengan normal dan tidak menjadi bahan cibiran orang yang merasa terberkati. Atau mungkin saja ia sudah dirasuki roh itu sedemikian rupa sehingga kelemahan tubuhnya ia pakai untuk menarik simpati dan mendapatkan uang. Bisa juga ia telah apatis dan tidak mengharapkan apa-apa lagi.
Tidak diceritakan bahwa perempuan ini mendatangi dan memohon belas kasihan dari Yesus. Tidak! Ini bertentangan dengan adat dan tradisi Yudaisme. Sebab, di kalangan mereka, kaum perempuan hanya diperbolehkan turut serta dalam ibadat sebagai pengunjung kelas dua. Yesus yang diizinkan mengajar di sinagoge itu memanggil si perempuan bungkuk ini untuk tampil ke depan. Kita dapat membayangkan dengan cara-Nya seperti ini, Yesus sudah membuat terkejut para pengunjung rumah ibadat itu. Mereka melihat, cara Yesus memanggil perempuan itu ada batas yang dilanggar. Namun Yesus melanjutkan dengan kata-kata pemulihan, “Hai ibu, penyakitmu telah sembuh!”Sesudah perempuan itu disembuhkan, ia memuliakan Allah.
Penyembuhan yang dilakukan Yesus terhadap perempuan ini jelas memulihkan si penderita dan sekaligus merupakan cara atau metode Yesus dalam mengajar para pendengar-Nya. Di sinilah Yesus menerjemahkan kepedulian atau lebih tepatnya belarasa terhadap siapa pun dalam tindakan nyata. Tanpa diminta dan dalam situasi sensitive: ruang ibadah dan peraturan sabat yang begitu ketat Yesus menyatakan belarasa-Nya terhadap penderitaan anak manusia. Ruang ibadah yang seharusnya di situlah TUHAN Allah hadir, dirasakan kasih sayang-Nya ternyata telah menjadi kaku dan beku dengan sederet aturan. Hal yang sama terjadi juga dengan Sabat. Sabat di mana manusia dapat beristirahat dan memulihkan diri baik fisik dan spiritualitasnya ternyata telah begitu rupa membebani manusia.
Ironis, kegembiraan perempuan yang telah dibebaskan dari jerat kuasa roh yang membelenggu ternyata digugat oleh kepala rumah ibadat. Kepala rumah ibadat itu memang benar telah memberi izin kepada Yesus untuk mengajar dan berkhotbah tentang Kerajaan Allah. Namun, ketika Yesus membuktikan ajaran itu dengan perbuatan-Nya, yakni Kerajaan Allah itu menjadi realita, maka kepala rumah ibadat itu marah. Lalu, mengapa ia harus marah? Apakah karena pemulihan itu dilakukan pada hari Sabat? Atau ada yang lebih dari itu? Ia marah karena mencemaskan bahwa pengaruh Yesus kini benar-benar nyata terhadap umat yang menyaksikan pemulihan itu! Bagaimanapun juga, kepala rumah ibadah itu memakai Sabat sebagai pasal untuk mendakwa tindakan Yesus.
Kepala rumah ibadat itu menggunakan dalil Sabat untuk menghentikan pengaruh Yesus. Ia merasionalkan antara Sabat dengan delapan belas tahun sakit yang dialami si perempuan itu. Kepala rumah ibadat itu mencoba memainkan logika di balik hukum Sabat : Bukankah tidak menjadi masalah andaikan pemulihan itu ditunda satu hari lagi – asalkan bukan Sabat – toh, kenyataannya dia sudah dapat menahan penderitaannya itu selama delapan belas tahun. Itu kira-kira bahasa lugasnya. Jangan menodai Sabat!
Menanggapi hal ini, Yesus kira-kira berkata begini, “Hai orang-orang munafik, kamu sangat mengindahkan ketetapan Allah – dalam hal ini Sabat – tetapi itu hanya pura-pura. Coba lihat dengan kepentinganmu, umpamanya dengan hewan-hewan peliharaanmu. Bukankah kamu juga telah menetapkan berbagai aturan, sehingga kamu dapat melepaskan dan memeliharanya pada hari Sabat juga (dan buah kancing dapat dipasang dengan satu tangan, itu dibolehkan pada hari Sabat), mengapa itu dibolehkan? Sebab, hal-hal itu menyangkut kepentinganmu sendiri. Dan untuk itu, kamu menganggapnya lebih penting ketimbang nasib seorang anak manusia, sekalipun orang itu adalah keturunan Abraham! Tidakkah engkau melihat delapan belas tahun lamanya perempuan ini begitu menderita dan tidakkah engkau turut bersukacita ketika penderitaannya dibebaskan?”
Seolah-olah Yesus menegur, “di manakah nuranimu ketika melihat penderitaan orang lain? Di manakah hukum-hukum Allah itu yang dapat memulihkan?” Bagaimana reaksi orang-orang yang menentang Yesus? “…semua lawan-Nya merasa malu dan semua orang banyak bersukacita karena segala perkara mulia, yang telah dilakukan-Nya.” (Lukas 13:17). Dalam pemulihan di hari Sabat ini sesungguhnya bukan hanya perempuan yang delapan belas tahun menderita dipulihkan melainkan juga Yesus menegur orang-orang yang bungkuk hatinya atau bengkok pikirannya. Yesus mengajar mereka yang semula hanya pandai melakukan syareat agama dan gemar membangun kesalehan pribadi menuju kesalehan sosial.
Dalam rumah ibadat Yesus memulihkan, mengajar dan menegur. Gereja sebagai rumah ibadat hendaknya juga menyadari fungsinya. Memang, tidak ada salahnya jika gereja mempunyai deretan Panjang aturan, tata ibadah, dan pegangan ajaran. Bayangkan tanpa itu. Gereja akan menjadi kacau dan tidak jelas dengan apa yang diajarkan dan ke mana arah geraknya. Deretan aturan itu penting, ibadah formal itu baik, dan pegangan ajaran sangat diperlukan. Namun jelas, hal ini bukanlah segalanya. Deretan aturan dalam Tata Gereja, liturgi dalam ibadah dan pegangan ajaran adalah respons gereja terhadap firman Allah yang menolong memandu dan memudahkan kita untuk dapat menjalankan visi dan misi Allah kini dan di sini. Aturan dan ibadah formal seharusnya tidak membelenggu warga gereja.
Perjalanan gereja, khususnya GKI tentu saja dimulai dari sejarah Panjang para murid yang meneruskan ajaran dan iman kepada Yesus Kristus. Sangat mungkin gereja telah menjadi kaku – sama seperti sinagoge dan para pengurusnya seperti dalam kisah pemulihan pada hari Sabat itu. Gereja tidak lagi ramah terhadap mereka yang benar-benar haus akan kasih sayang Tuhan. Aturan dan Tata Gereja seolah menjadi pagar dan tidak ada lagi celah bagi mereka yang benar-benar rindu terhadap pemulihan Allah. Ingatlah, Yesus tidak segan-segan menegur kepala rumah ibadat, pastilah juga Yesus menegur, mengingatkan dan menghardik gereja-Nya yang menghambat orang berjumpa dengan-Nya. Dalam hal ini, dengan rendah hati – baik sebagai pribadi , maupun gereja – kita harus bersedia memperbaiki diri. Benar, bahwa dalam kisah pemulihan itu, si perempuan yang menderita tidak berdoa, berseru dan memohon agar dirinya diperhatikan Yesus. Namun, ketika Yesus memanggilnya untuk dipulihkan, ia datang dan bersedia dipulihkan. Gereja mestinya, mendengar panggilan-Nya, bersedia datang untuk dipulihkan!
Kurun waktu 31 tahun tentulah bukan perjalanan pendek dan sederhana. Hari ini menjadi momen penting untuk kita melihat kembali perjalanan kehidupan gereja kita. Seberapa jauh kita telah melakukan kehendak Allah: menjadi gereja yang “berdiri tegak” dengan segala talenta dan sumber daya yang selalu siap untuk menebarkan dan meneruskan cinta kasih Allah di dalam Kristus? Ataukah, kondisi kita tidak lagi berdiri tegak, oleh karena “roh” yang berkuasa di dalamnya bukan Roh Kristus, melainkan roh perpecahan, roh primordial, roh kesombongan, roh pementingan diri sendiri, roh gila hormat, roh iri hati, dan semacamnya. Inilah yang membuat gereja Tuhan terbelenggu. Nah, apakah kita bersedia dipulihkan?
Selamat merayakan ulang tahun GKI ke- 31, 26 Agustus 2019
Jakarta, 23 Agustus 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar